“Blusukan”
Mencari Sosok Pemimpin
Harjito ; Kandidat Doktor Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta,
Dosen
IKIP PGRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 15 Januari 2013
"Kepercayaan diri menjadi faktor
penting menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa-negara yang diperhitungkan"
RAKYAT Indonesia akan memilih
pemimpin negeri ini tahun 2014 dan rakyat Jateng akan memilih gubernur-wakil
gubernur pada 26 Mei 2013. Terkait dengan pesta demokrasi itu, banyak di
antara kita sejak lama mencari-cari sosok pemimpin yang dianggap paling
layak, bisa lebih menyejahterakan rakyat, dan menata lebih baik semua sendi
kehidupan.
Kita biasanya mendapatkan
kandidat melalui partai politik namun mendalihkan demi penyegaran kini
beberapa kelompok atau individu menawarkan figur alternatif. Tulisan
sederhana ini tidak mengupas kriteria muluk-muluk mengenai sosok pemimpin,
ataupun berangkat dari teori canggih tetapi mendasarkan pada tiga kejadian
nyata.
Pertama; fenomenoma kemenangan
Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2012. Kedua; pernikahan singkat Bupati
Garut Aceng HM Fikri yang diikuti perceraian dengan alasan dan cara yang tak
bisa diterima banyak pihak. Ketiga; kemunduran Andi Alifian Mallarangeng dari
jabatan Menpora, menyusul penetapan status tersangka terkait Hambalang.
Saat ini, Indonesia menghadapi
persoalan besar menyangkut kemerebakan korupsi. Sejumlah media menyebutkan
bahwa koruptor merampok uang rakyat Rp 39,3 triliun, dari tahun 2004 hingga
2011. Uang itu bisa untuk membangun 393 ribu unit rumah sederhana tapi layak
huni. Karena itu, pada masa mendatang kriteria utama bagi pemimpin adalah
komitmen nyata bermoral bersih.
Berangkat dari fenomena
Jokowi-Ahok, kemenangan keduanya dalam pilgub dan masa mengawali kepemimpinannya
setidak-tidaknya bisa memberi gambaran bahwa rakyat butuh sosok pemimpin yang
mau terjun langsung melihat dan menangani persoalan masyarakat. Rakyat tidak
mau menerima pemimpin yang sekadar mengandalkan pencitraan.
Pemimpin adalah mereka yang mau
blusukan, melihat langsung problem rakyat, bukan hanya memercayai laporan
”asal bapak senang”. Terkait Jokowi, publik bisa melihat selain menyapa
langsung rakyat, ia pun cepat menyelesaikan persoalan.
Berbeda dari Jokowi, Ahok
menghadirkan kesan galak. Namun kegalakan itu tertuju pada jajarannya supaya
lebih baik memberi layanan dan lebih ramah kepada rakyat. Video rapat Ahok
dengan jajaran DPU yang diunggah di Youtube ditonton lebih dari 1,4
juta orang. Wagub DKI Jakarta itu bahkan ”menantang” DPRD selalu menggelar
rapat secara terbuka supaya masyarakat bisa mengikuti dan kemudian mengawal
kebijakan atau kesepakatan yang ditelurkan dalam rapat.
Secara tidak langsung, Ahok
membuka tirai yang selama ini ditutup-tutupi sehingga kini menjadi
terang-benderang. Duet pemimpin Ibu Kota itu menghadirkan kesadaran baru
bahwa bukan rakyat yang melayani pemimpin melainkan pemimpinlah yang
seharusnya melayani.
Peristiwa yang patut menjadi
teladan berikutnya adalah kemunduran Andi dari jabatan Menpora. Benar
tidaknya sangkaan yang ditimpakan kepadanya, kita harus menunggu hasil akhir.
Tapi sikap kesatria yang diwujudkan dengan cepat mengundurkan diri dan
berjanji kooperatif menjalani proses hukum, patut mendapat apresiasi. Sekali
lagi, terlepas dari hasil akhir kasusnya, Andi menghadirkan kesadaran baru
dalam sikap politik kenegarawanan.
Adapun kasus Aceng mencerminkan
kriteria yang sepatutnya dihindari oleh pemimpin. Pilihan sikap dan cara
menyelesaikan persoalan pribadi, justru mengundang gelombang ketidakpuasan.
Kepercayaan Diri
Sebagai pejabat publik, seorang
pemimpin, entah presiden atau gubernur, seharusnya bersikap ramah, terutama
kepada rakyat kecil, karena merekalah yang menjadikan seseorang bisa jadi
pemimpin. Kita bisa mengatakan Ahok galak tapi sikap itu bukan terhadap wong
cilik melainkan guna melecut jajarannya supaya bisa lebih baik melayani hak
masyarakat. Adapun Aceng bukan saja tak ramah kepada rakyat kecil melainkan
juga ”tidak ramah” kepada perempuan, bahkan melecehkan.
Berkaca pada realitas
itu, kita bisa memformulasikan kriteria pemimpin yang didambakan, antara lain
bersih, transparan, cepat menyelesaikan persoalan, ramah kepada rakyat kecil
dan perempuan, dan berjiwa kesatria. Masyarakat bisa menambahkan kriteria itu
mendasarkan pada peristiwa faktual.
Hal penting dari fenomena
kepemimpinan Jokowi-Ahok dan kemunduran Andi adalah kemunculan kepercayaan
diri kita sebagai bangsa yang lagi digerus perilaku korup segelintir elite.
Kepercayaan diri menjadi faktor penting guna menumbuhkan kebanggaan sebagai
bangsa dan negara yang diperhitungkan di dunia.
Namun semua terpulang kembali
kepada rakyat yang memiliki hak memilih. Partai boleh dan bisa saja
memaksakan pemimpin sesuai keinginannya, entah itu hanya keinginan para elite
atau merepresentasikan keinginan mayoritas rakyat. Dalam pemilihan secara
langsung, rakyat berhak ”menghukum” melalui cara tidak memilih, atau
mendukung calon pemimpin yang mereka dambakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar