Rabu, 16 Januari 2013

“Blusukan” Mencari Sosok Pemimpin


“Blusukan” Mencari Sosok Pemimpin
Harjito ;  Kandidat Doktor Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta,
Dosen IKIP PGRI Semarang
SUARA MERDEKA, 15 Januari 2013



"Kepercayaan diri menjadi faktor penting menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa-negara yang diperhitungkan"

RAKYAT Indonesia akan memilih pemimpin negeri ini tahun 2014 dan rakyat Jateng akan memilih gubernur-wakil gubernur pada 26 Mei 2013. Terkait dengan pesta demokrasi itu, banyak di antara kita sejak lama mencari-cari sosok pemimpin yang dianggap paling layak, bisa lebih menyejahterakan rakyat, dan menata lebih baik semua sendi kehidupan.

Kita biasanya mendapatkan kandidat melalui partai politik namun mendalihkan demi penyegaran kini beberapa kelompok atau individu menawarkan figur alternatif. Tulisan sederhana ini tidak mengupas kriteria muluk-muluk mengenai sosok pemimpin, ataupun berangkat dari teori canggih tetapi mendasarkan pada tiga kejadian nyata.

Pertama; fenomenoma kemenangan Jokowi-Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2012. Kedua; pernikahan singkat Bupati Garut Aceng HM Fikri yang diikuti perceraian dengan alasan dan cara yang tak bisa diterima banyak pihak. Ketiga; kemunduran Andi Alifian Mallarangeng dari jabatan Menpora, menyusul penetapan status tersangka terkait Hambalang.

Saat ini, Indonesia menghadapi persoalan besar menyangkut kemerebakan korupsi. Sejumlah media menyebutkan bahwa koruptor merampok uang rakyat Rp 39,3 triliun, dari tahun 2004 hingga 2011. Uang itu bisa untuk membangun 393 ribu unit rumah sederhana tapi layak huni. Karena itu, pada masa mendatang kriteria utama bagi pemimpin adalah komitmen nyata bermoral bersih.

Berangkat dari fenomena Jokowi-Ahok, kemenangan keduanya dalam pilgub dan masa mengawali kepemimpinannya setidak-tidaknya bisa memberi gambaran bahwa rakyat butuh sosok pemimpin yang mau terjun langsung melihat dan menangani persoalan masyarakat. Rakyat tidak mau menerima pemimpin yang sekadar mengandalkan pencitraan.

Pemimpin adalah mereka yang mau blusukan, melihat langsung problem rakyat, bukan hanya memercayai laporan ”asal bapak senang”. Terkait Jokowi, publik bisa melihat selain menyapa langsung rakyat, ia pun cepat menyelesaikan persoalan.

Berbeda dari Jokowi, Ahok menghadirkan kesan galak. Namun kegalakan itu tertuju pada jajarannya supaya lebih baik memberi layanan dan lebih ramah kepada rakyat. Video rapat Ahok dengan jajaran DPU yang  diunggah di Youtube ditonton lebih dari 1,4 juta orang. Wagub DKI Jakarta itu bahkan ”menantang” DPRD selalu menggelar rapat secara terbuka supaya masyarakat bisa mengikuti dan kemudian mengawal kebijakan atau kesepakatan yang ditelurkan dalam rapat.

Secara tidak langsung, Ahok membuka tirai yang selama ini ditutup-tutupi sehingga kini menjadi terang-benderang. Duet pemimpin Ibu Kota itu menghadirkan kesadaran baru bahwa bukan rakyat yang melayani pemimpin melainkan pemimpinlah yang seharusnya melayani.

Peristiwa yang patut menjadi teladan berikutnya adalah kemunduran Andi dari jabatan Menpora. Benar tidaknya sangkaan yang ditimpakan kepadanya, kita harus menunggu hasil akhir. Tapi sikap kesatria yang diwujudkan dengan cepat mengundurkan diri dan berjanji kooperatif menjalani proses hukum, patut mendapat apresiasi. Sekali lagi, terlepas dari hasil akhir kasusnya, Andi menghadirkan kesadaran baru dalam sikap politik kenegarawanan.

Adapun kasus Aceng mencerminkan kriteria yang sepatutnya dihindari oleh pemimpin. Pilihan sikap dan cara menyelesaikan persoalan pribadi, justru mengundang gelombang ketidakpuasan.

Kepercayaan Diri

Sebagai pejabat publik, seorang pemimpin, entah presiden atau gubernur, seharusnya bersikap ramah, terutama kepada rakyat kecil, karena merekalah yang menjadikan seseorang bisa jadi pemimpin. Kita bisa mengatakan Ahok galak tapi sikap itu bukan terhadap wong cilik melainkan guna melecut jajarannya supaya bisa lebih baik melayani hak masyarakat. Adapun Aceng bukan saja tak ramah kepada rakyat kecil melainkan juga ”tidak ramah” kepada perempuan, bahkan melecehkan. 

Berkaca pada realitas itu, kita bisa memformulasikan kriteria pemimpin yang didambakan, antara lain bersih, transparan, cepat menyelesaikan persoalan, ramah kepada rakyat kecil dan perempuan, dan berjiwa kesatria. Masyarakat bisa menambahkan kriteria itu mendasarkan pada peristiwa faktual.    

Hal penting dari fenomena kepemimpinan Jokowi-Ahok dan kemunduran Andi adalah kemunculan kepercayaan diri kita sebagai bangsa yang lagi digerus perilaku korup segelintir elite. Kepercayaan diri menjadi faktor penting guna menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa dan negara yang diperhitungkan di dunia.

Namun semua terpulang kembali kepada rakyat yang memiliki hak memilih. Partai boleh dan bisa saja memaksakan pemimpin sesuai keinginannya, entah itu hanya keinginan para elite atau merepresentasikan keinginan mayoritas rakyat. Dalam pemilihan secara langsung, rakyat berhak ”menghukum” melalui cara tidak memilih, atau mendukung calon pemimpin yang mereka dambakan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar