Rabu, 23 Januari 2013

Bersahabat dengan Banjir, Mungkinkah?


Bersahabat dengan Banjir, Mungkinkah?
Restu Gunawan ;  Sejarawan Banjir; Pegawai Ditjen Kebudayaan Kemendikbud
MEDIA INDONESIA, 23 Januari 2013



JAKARTA sebagai kawasan memang tidak pernah dilepaskan dari musibah banjir. Belanda yang menguasai Batavia (Jakarta) selama hampir 400 tahun bahkan tidak berhasil mengatasi banjir Jakarta. Padahal, jumlah penduduk Jakarta pada waktu itu (1930) masih di bawah 30 ribu jiwa dan kota hanya terpusat dari Menteng sampai Kota Lama Batavia (sekarang Beos). Dalam pengendalian banjir, Belanda lebih fokus pada pembangunan kanal. Kanal terakhir yang dibuat adalah Kanal Banjir Kalimalang dari Manggarai sampai Karet, yang saat ini lebih dikenal sebagai Kanal Banjir Barat.

Sebenarnya, menurut masterplan dari Belanda, masih akan dibangun kanal lagi, yaitu mulai sekitar Cawang atau Kalibata sampai ke Kali Angke (rencana 1923). Namun sampai Belanda meninggalkan Indonesia, rencana itu tidak pernah terwujud. Khusus untuk pengendalian banjir, Belanda selalu membutuhkan dana besar karena sebagian besar dana mereka untuk pembangunan kanal, pintu air, dan pembebasan lahan.

Pada masa Orde Baru, banyak hal sudah dilakukan untuk pengendalian banjir. Misalnya pembangunan Kanal Banjir Barat dari Karet sampai Kali Angke, tapi tidak bisa dilakukan karena biaya besar untuk pembebasan tanah dan konfl ik sosial yang tinggi. Kemudian pembangunan dialihkan untuk membuat Cengkareng Drain (1985), dilanjutkan dengan pembangunan sodetan Kali Sekretaris. Akan tetapi, kini banjir masih menjadi ancaman bagi Jakarta Barat.

Orde Baru juga sudah merencanakan pembuatan waduk besar untuk membendung Sungai Ciliwung di Depok (1990). Namun berdasarkan analisis dana dan pertimbangan kerentanan terhadap bencana, pembangunan itu diurungkan.

Kini hal yang sama juga akan dilakukan pemerintah. Dengan dana Rp2 triliun, satu program besar akan diwujudkan, yakni pembuatan sodetan ke Kanal Banjir Timur dengan alasan saat banjir 17 Januari 2013, kanal itu kosong airnya.

Rupanya pembangunan infrastruktur berupa kanal, deep tunnel, dan wacana waduk besar di Ciawi diintensifkan untuk dibahas. Khusus untuk wacana waduk besar di Ciawi, apakah kita lupa pada waktu musibah Situ Gintung? Infrastruktur yang kecil saja, ketika jebol, menghancurkan permukiman dan menyebabkan korban jiwa, lalu kita merencanakan waduk raksasa di Ciawi? Tentu diperlukan pertimbangan yang komprehensif.

Mengendalikan Banjir

Mengapa Belanda gagal mengatasi banjir Jakarta? Pertama, dalam pengendalian banjir Jakarta, Belanda salah memahami unsur geografis. Jakarta dianggap sama dengan Amsterdam. Padahal, dataran rendah Jakarta terbentuk dari sedimentasi Gunung Salak dan sekitarnya yang berlangsung ribuan tahun sehingga menghasilkan daratan yang sangat datar. Hal itu bisa dilihat dari kontur tanah Sarinah, Monas, sampai laut.

Belanda sebenarnya sudah punya pengalaman pahit dengan adanya kanal-kanal di Batavia. Perpindahan pusat ibu kota dari Batavia Bawah (kawasan Kota Tua) ke Weltevreden/Monas (1830-an) disebabkan sedimentasi yang sangat banyak. Akibatnya air tidak mengalir secara gravitasi dan menjadi sumber penyakit sehingga ibu kota Hindia Belanda harus dipindahkan ke sebelah selatan yang lebih sehat. Jadi pembangunan kanal disadari betul oleh Belanda sangat tidak tepat. Merawat sedimentasi di 13 sungai yang ada di Jakarta saja sebenarnya mereka tidak mampu, untuk apa menambah kanal lagi?

Kedua, dalam pengendalian sungai, Belanda terlena karena tidak memasukkan unsur budaya dan perilaku masyarakat Hindia Belanda yang sangat berbeda dengan perilaku bangsa Eropa. Batavia pada masa itu merupakan daerah yang sudah multietnik. Mereka datang dari berbagai daerah dengan budaya masing-masing. Orang yang terbiasa tinggal di pinggir-pinggir sungai dan laut pasti mempunyai perbedaan pandangan terhadap sungai dengan orang-orang dari daerah pedalaman. Jadi perilaku manusia sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengendalian banjir Jakarta.

Berdasarkan analisis sejarah itu, kita sebagai umat manusia mampu mengendalikan banjir di Jakarta? Ada beberapa level dalam pengendalian banjir.
Pertama, penataan kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Tanpa kerja sama antarkawasan, tidak mungkin banjir bisa diatasi. 

Pada 2007 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah membuat wacana tentang The Greater Jakarta yang hingga kini masih berhenti pada wacana, tidak ada tindak lanjutnya. Mestinya gagasan itu segera diimplementasikan dalam bentuk masterplan lebih menyeluruh dan tidak dikerjakan secara parsial. The Greater Jakarta yang cakupannya sampai Serang, Sukabumi, dan Cikampek terlalu luas.

Mungkin implementasinya bisa dilakukan secara bertahap, yaitu menata RT/RW dan tata guna tanah di Jabodetabek. Pembangunan yang terjadi di daerah-daerah luar Jakarta sampai Puncak luar biasa cepat sehingga mendesak daerah resapan air di daerah aliran sungai. Kondisi itu sangat mengkhawatirkan. Implementasi penataan kawasan tersebut harus ditangani pemerintah pusat karena melibatkan tiga provinsi.

Kedua, untuk mengatasi banjir dan genangan di permukiman warga, dalam waktu mendesak Pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus segera menerapkan masterplan penataan sungai yang sebenarnya sudah ada, dalam bentuk aksi yang jelas. 
Misalnya di 13 sungai dan kanal yang ada, hanya diperbolehkan pendirian bangunan berapa meter dan bentuk bangunan yang sesuai dengan aliran sungai seperti apa. Pemerintah harus membuat bentuk dan modelnya, dan masyarakat diberi subsidi untuk pembangunannya.

Masyarakat yang sudah telanjur tinggal di daerah tersebut tidak harus digusur begitu saja. Bangunan bisa mengadopsi model-model bangunan permukiman di pinggiran sungai di Sumatra dan Kalimantan, atau rumah-rumah tradisional Betawi yaitu rumah panggung. Jadi gerakan kebudayaan bagi warga yang tinggal di pinggiran sungai ialah ‘sungai sebagai sahabat dan banjir sebagai teman’ atau living harmony with water.

Ketiga, terkait dengan rencana Gubernur Jokowi bahwa setiap RT dan RW akan dibangun ruang hijau sebagai taman, itu perlu juga dikaitkan dengan pengendalian banjir dan persediaan air. Program tersebut perlu dikaitkan dengan zero water to river, artinya jangan ada setetes air pun yang mengalir ke sungai ketika hujan. 

Maksudnya, curah hujan yang jatuh di setiap RT/RW harus ditampung dalam sumur-sumur yang ukurannya disesuaikan dengan jumlah curah hujan yang ada di daerah tersebut. Ukuran sumur 200-400 meter persegi dengan kedalaman yang cukup dan di atasnya dibangun tamantaman hijau. Sumur itu dapat menjadi ‘tabungan air’ kala musim kemarau. Biaya untuk hal itu tentu jauh lebih murah dan bermanfaat lebih besar karena melibatkan banyak tenaga kerja. Selanjutnya proyek tersebut diperluas ke wilayah Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi.

Keempat, pada level masyarakat umum, perlu kampanye secara besar-besaran untuk mengubah paradigma masyarakat terhadap sungai. Kalau selama ini sungai dianggap sebagai ‘halaman belakang’ yang artinya sungai ialah tempat membuang sampah, membuang segala kotoran, harus diubah menjadi sungai sebagai ‘halaman depan’. Artinya, sungai adalah sumber kehidupan. Karena sebagai halaman depan, sungai harus sering ditengok melalui ajang budaya. Misalnya dibuat festival 13 sungai di Jakarta dan lombalomba perahu.

Kelima, pada level anak didik, sudah waktunya sosialisasi tentang kondisi geografis Jakarta yang datar dan rentan terhadap banjir dimasukkan ke materi pembelajaran. Nama-nama kampung di Jakarta seperti Rawa Buaya, Rawamangun, dan Bandengan sudah menunjukkan bahwa daerah tersebut adalah ‘rumah air’ pada waktu hujan. Kini rumah-rumah air tersebut sudah ditinggali manusia dengan diuruk sehingga ketika hujan, air tidak bisa pulang ke rumahnya. Akibatnya, ya, terjadi banjir. Sosialisasi sejak dini kepada siswa diharapkan dapat memberi pemahaman kepada generasi muda untuk menghargai sungai dan lingkungannya. ●

2 komentar:

  1. tingal kita pantau saja kedepannya lebih baik apa semakin menjadi

    terimakasih artikelnya bermanfaat

    BalasHapus
  2. Jakarta sedang dalam darurat banjir. Pasca banjir, wajib hukumnya bagi pemerintah untuk melakukan perbaikan-perbaikan dengan cepat atas fasilitas-fasilitas yang rusak. Hal tersebut memang tepat dalam konteks jangka pendek. Namun lebih tepat lagi jika Pemda DKI, juga Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia memikirkan secara jangka panjang bagaimana mencegah banjir yang selalu terjadi. Untuk itu perlu dipikirkan solusi penanganan banjir dengan memperhatikan semangat Reforma Agraria sesuai UUPA 1960. Perlu diketahui UUPA 1960 tidak hanya mengamanatkan redistribusi tanah demi keadilan rakyat, tapi juga membicarakan tentang tata guna tanah. UUPA mencantumkan tantang tanggung jawab untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup pada lahan agraria. Pasal 15 berbunyi: “memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah”. Sedangkan Pasal 6 menyebutkan bahwa “semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”. Pasal ini dapat ditafsirkan kehilangan kesuburan maupun hilangnya fungsi tanah dapat mengganggu aspek sosial masyarakat akibat aktifitas terhadap tanah tersebut. Jadi kalau kita sepakat bahwa banjir terjadi akibat adanya pelanggaran terhadap penggunaan pemanfaatan tanah, maka, dalam segala pembangunan atau penentuan kebijakan ke depannya, mulai saat ini reforma agraria dan UUPA 1960 harus segera diimplementasikan dengan sungguh-sungguh.....maaf bukan menggurui...sekedar berwacana saja...

    BalasHapus