Maulud Politik
Kenabian
|
KOMPAS,
23 Januari 2013
Dalam titik tertentu,
setiap nabi dihadirkan tidak hanya sebagai penanda perubahan rohaniah, tetapi
juga bersentuhan dengan persoalan politik praktis. Hal ini juga tak
terhindarkan dengan sosok Muhammad SAW, yang hari kelahirannya diperingati
umat Islam bertepatan dengan tanggal 24 Januari 2013/ 12 Rabiulawal 1434.
Muhammad
bukan hanya seorang Nabi, melainkan sekaligus politisi. Politik di sini tidak
sekadar berkaitan dengan hasrat kuasa, tetapi juga dalam makna yang lebih
luas—dalam tilikan Michel Foucault—berhubungan dengan institusi budaya,
sosial, agama, bahkan pengetahuan. Kekuasaan dalam arti vertikal (mandat
individual) dan horizontal-sosial (mandat sosial).
Dalam
praktiknya, hampir dipastikan tak ada orang yang terlepas dari politik dan
tak mungkin melepaskan diri dari politik. Watak manusia memang makhluk
politik, zoon politicon, yang senantiasa didiskusikan, baik menyangkut
perilaku maupun basis yang menjadi pijakannya. Sebut saja ada masanya ketika
politik itu dijangkarkan pada rasionalisme, individualisme, materialisme, dan
metafisika ketuhanan.
Semua
fundamen politik itu membayangkan sebuah hasrat tergelarnya kesejahteraan
umum dan terbangunnya keadaban publik. Aristoteles menyebutnya dengan tujuan
meraih kebaikan utama (highest good) atau ruang berkeadaban (al-madinah
al-fadhilah) dalam term Al-Farabi. Dalam nalar falsafah kita diwadahi spirit
Pancasila yang berporos pada semangat: ketuhanan, kemanusiaan, nasionalisme,
kerakyatan, dan keadilan sosial.
Tentu
saja politik yang diusung Muhammad SAW lebih mengarah pada politik berbasis
kekuatan nilai, yang dijangkarkan kepada tautan metafisik dengan segala
sanksi moral dan penghargaan transendental di belakangnya. Tak ubahnya tema
nilai yang diusung khas nabi-nabi Ibrani lainnya.
Demi
tersampaikannya nilai-nilai ini, Muhammad SAW bukan sekadar berbicara sebatas
wacana baik-buruk, sehat-sakit, indah-jelek, sederhana-bermegahan, melainkan
langsung menjadikan nilai itu sebagai bagian integral dari perilakunya.
Keteladanan
lebih dikedepankan ketimbang perbincangan. Falsafah politiknya bukan hanya
menjadi ”renungan”, melainkan sekaligus ”tindakan”; tidak sebatas ”wacana”,
tetapi juga ”aksi nyata”. Contoh konkret menjadi strategi utama dalam
menanamkan nilai-nilai politik itu dalam batang tubuh bermasyarakat.
Politik
simbolik-imajiner yang terumuskan dalam senarai firman Tuhan (musyawarah,
toleransi, lapang dada, keterbukaan, relasi antaragama, distribusi ekonomi,
keadilan, kejujuran, transparansi, amanah, kecerdasan nalar) diturunkan
menjadi ”yang riil” melalui langkah-langkah konkret yang tampak dan jelas.
Inilah
sisi kekuatan politik kenabian: politik karakter. Nilai-nilai kenabian
seperti ini, meminjam telaah Mohandas K Ganda, dapat menghindarkan tujuh dosa
sosial: politik nir-prinsip; kekayaan yang diraih tidak melalui kerja keras;
bisnis defisit moralitas; kebahagiaan yang kehilangan nurani; pendidikan yang
menanggalkan karakter; ilmu pengetahuan yang jauh dari humanitas; dan
peribadatan yang terjebak pada formalitas.
Dalam
melebarkan pengaruh politiknya, Nabi membangun basis dukungan yang solid
tanpa harus menafikan yang ”liyan”, seperti terbaca dalam Piagam Madinah yang
populer itu. Visi yang ditawarkannya berbasis pada upaya menanamkan kesadaran
ontologis (menyangkut tujuan hidup) sekaligus aksiologis (berhubungan dengan
peran dan posisi manusia).
Merenungkan
politik nilai yang diusung Muhammad SAW hari ini—seperti tergambarkan dalam
kitab-kitab ”kelahiran Nabi”, seperti Maulid Jawahir al-Nazm al-Badi’ Fi
Maulid al-Syafi’ karya Syeikh Yusuf al-Nabhani, Kitab al-Yumnu Wa al-Is’ad Bi
Maulid Khar al-’Ibad karya Ibn Ja’far al-Kattani, Itmam al-Ni’mah ’Ala
al-’Alam Bi Maulid Saiyidi Waladi Adam karya Ibn Hajar Al-Haitami, dan
al-Maulid al-Hana ditulis al-Hafiz al-Iraqi—bukan hanya perlu, melainkan satu
keniscayaan.
Relevansinya
itu terletak justru ketika kita hari ini lebih mengedepankan politik citra
ketimbang logika, eksploitasi bukan emansipasi, ingar-bingar oleh semangat
kebendaan bukan hikmat ketulusan, gaduh oleh politik perkauman yang serba
eksklusif-intoleran bukan siasat kesemestaan yang berangkat dari roh
kebersamaan.
Medan
kehidupan harus dikembalikan lagi kepada nilai-nilai keutamaan. Slavoj Zizek
(Robertus Robet, 2010) menyebutnya dengan ”yang politik” (politik penuh adab)
sebagai lawan dari ”politik” (ricuh, dagang sapi, tanpa prinsip,
transaksional, penuh cela, korup, munafik).
Meminjam
analisis Hannah Arendt, ”yang politik” menghajatkan pergulatan agar tak
hengkang dari percaturan sosial dan ruangnya keburu diisi oleh ”politik” yang
serba kotor. Pergulatan ini bukan hanya ikhtiar menghindar dari sekapan
keterasingan positif ala dialektika Hegel, keterasingan ekonomi serupa Marx
yang bersumber dari sentimen kapitalisme, ataupun keterasingan religius
berwujud wacana absolut keterlemparan kepada dosa. Namun, kita berkelit
dengan cermat dari ”keterasingan eksistensial” berupa abainya kita mewujudkan
keadaban publik dan politik penuh adab karena hilangnya kita sebagai pribadi
politik yang otonom, otentik, merdeka, dan independen sesuai dengan arus
khitahnya.
”Yang
politik” seharusnya jadi kiblat utama politik nasional dalam menghadapi
tahun-tahun politik menjelang 2014. Politik kenabian dalam titik tertentu
memberikan suplai berharga tentang ”yang politik” itu.
Maulid
adalah momen penting untuk menginjeksikan segenap nilai-nilai dalam sesuatu
yang banyak berpengaruh bagi kelangsungan hidup kita: politik! Tanpa
kesadaran ini, semua hanya sebatas menjadi sebuah upacara dan akhirnya
politik kembali menjadi muslihat yang licik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar