Rabu, 23 Januari 2013

Maulid dan Paradoks Keberagamaan


Maulid dan Paradoks Keberagamaan
Asep Salahudin ;  Esais dan Dekan di IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya
MEDIA INDONESIA, 23 Januari 2013



TANGGAL 24 Januari 2013 bertepatan dengan Maulid 1434 H dan umat Islam menyambutnya dengan merayakan hari kelahiran Nabi mereka. Dalam momentum itu, sesungguhnya hal mendesak untuk direnungkan justru wajah agama yang dibawa Nabi suci itu sendiri yang acap kali mewajahkan rupa paradoksal.

Agama hadir dalam panggung kehidupan manusia dengan wajah mendua. Di satu sisi mengajarkan kedamaian, di sisi lain tidak sedikit kekerasan digelar dengan berjubahkan agama. Agama menanamkan ajaran ihwal pentingnya membangun solidaritas kemanusiaan dan mengedepankan kerja sama, tapi faktanya ada banyak peperangan yang berlatar belakang keyakinan agama.

Karen Armstrong dalam Berperang demi Tuhan (2001) mencatat semua agama pernah mengalami peperangan yang mengatasnamakan Tuhan (agama). Hal itu salah satunya dipicu hasrat agama yang senantiasa memaksakan hal yang sakral dalam medan politik dan negara yang profan.

Bom bunuh diri yang menewaskan banyak orang di Bali dan Hotel JW Marriot; kekerasan di Poso, teror 11 September 2001 di Amerika Serikat; kekerasan kelompok ekstremis Yahudi Israel pimpinan Rabi Mei Kahane atas warga Palestina; kekerasan rezim Taliban di Afghanistan terhadap warganya sendiri yang berbeda haluan pemahaman terhadap teks-teks keagamaan; yang terakhir di awal 2013 Densus 88 Antiteror kembali menembak mati lima terduga teroris di Bima dan Dompu, dan masih banyak lainnya. Semua itu deretan contoh mengerikan yang meneguhkan kesimpulan wajah paradoks agama.
Akar Kekerasan
Dalam bukunya, When Religion Becomes Evil (2002) yang diterjemahkan menjadi Kala Agama Jadi Bencana (2003), Charles Kimball mengemukakan lima sebab yang bisa mengubah agama menjadi bencana. Yaitu, klaim kebenaran mutlak, ketundukan buta, ingin mengembalikan masa keemasan, membenarkan segala cara, dan menyatakan perang suci.

Filsuf Jean Paul Sartre dengan menukik sampai pada sebuah kesimpulan bahwa akar dari meruyaknya kekerasan ialah hasrat manusia untuk menjadi Tuhan, untuk mendapatkan ketaatan-ketaatan mutlak dan pujian jemaah, atas nama manusia yang telah menjadi ‘tuhan’ dan menafsirkan realitas sesuai dengan keinginannya. Tidak ada perang yang paling mengerikan kecuali atas nama Tuhan (agama).

Tentu ‘tuhan’ di sini tidak harus bernama agama. Namun dalam konteks mutakhir, dapat berubah wujud menjadi kuasa, organisasi massa, sains, teknologi, politik, kebudayaan, dan negara yang membuat manusia rela mati menjadi ’martir’ tanpa mempertimbangkan lagi akal sehat.

Dalam aras kekuasaan sekarang, negara dibangun di atas hikayat ‘ideologi citra’ yang membuat sekian ‘masalah’ menjadi ‘martir’ karena tidak diselesaikan dengan sungguhsungguh.

Teladan Nabi

Memperingati maulid Nabi, bagi saya, hakikatnya ialah upaya gerak kembali menghadirkan agama dalam fitrahnya, yaitu sebagai keyakinan yang memberikan inspirasi bagi tegak lurusnya kehidupan dengan rasa damai.

Autentisitas agama harus diacukan tolok ukurnya kepada sejauh mana agama itu memberikan kontribusi nyata bagi upaya membangun kemanusiaan yang berharkat tanpa melihat perbedaan ras, etnik, dan pilihan keyakinan. Agama menjadi `ideologi kritik' setiap perilaku menyimpang yang berpotensi menyeret muruah kemanusiaan pada titik nadir.

Agama seperti itulah yang 1.400 tahun lampau digemakan sang Nabi. Bahkan agama yang diusungnya sendiri dinamai tidak dinisbatkan kepada asal usul leluhurnya atau tempat kelahirannya, tapi justru pada substansi agama itu sendiri: Islam, yang berarti kepasrahan hanya kepada Tuhan.

Kepasrahan yang mengandaikan terpenuhi seluruh derivasinya: kesediaan untuk menebarkan keselamatan (selamat satu kata dengan salam dan Islam) kepada semesta. Kata sang Nabi, “Sebarkan keselamatan di antara kalian.“ Pasrah kepada Tuhan dan menciptakan keselamatan kepada semesta ialah dua domain yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Serupa satu keping mata uang dengan dua sisi.
Klaim keislaman seseorang harus ditilik tidak hanya dari kesediaan membangun hubungan saleh dengan Tuhan, tetapi juga bagi ikhtiar bagaimana berkah bahasa langit itu dapat menjadi payung yang meneduhkan bumi manusia.

“Tebarkanlah cinta di bumi, engkau akan meraih cinta dari langit,“ demikian peringatan indah dari Muhammad SAW.

Atau dalam firman Tuhan, “Bahwa hamba-hamba Tuhan yang Mahapengasih adalah mereka yang berjalan di muka bumi dengan rendah hati. Apabila mereka diprovokasi untuk melakukan kekerasan, mereka menjawab bahwa kami adalah pencinta kedamaian.“

Muhammad SAW mafhum betul, keragaman bukan sekadar fakta sosial yang tidak dapat dihindarkan, melainkan juga secara teologis mendapat basis apresiasi positif. Hal itu terlacak dalam Piagam Madinah yang menjadi payung konstitusional bagi masyarakat Madinah yang heterogen dan plural.

Dalam ajaran yang diusungnya diteguhkan, multikulturalisme bukan kutukan, melainkan ketentuan Tuhan yang harus dikelola dengan benar agar mendatangkan faedah, bukan sebaliknya menjadi pemantik bagi mencuatnya bencana. “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senan tiasa berselisih pendapat (QS Hûd [11]: 11).“ “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kalian satu umat saja, tetapi Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk siapa yang dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu kerjakan (QS Al-Nahl [16]: 93).“

Dari pesan maulid seperti itu, akhirnya agama akan muncul dengan panji utamanya, yakni `cinta', mendatangkan `rahmat' bagi semesta. Bukankah cinta ialah substansi setiap agama. Cinta merupakan dermaga tempat seluruh haluan kepercayaan mendarat ke arahnya.

Kata Ibnu Arabi, “Agama itu adalah cinta!“ Dalam tafsir Erich Fromm bahwa cinta dikatakan benar manakala melibatkan empat unsur utama: pertama, perhatian (care); kedua, tanggung jawab (responsibility); ketiga, menghargai (respect); dan keempat, ditopang dengan pengetahuan (knowledge).

Itulah pesan substansial upacara maulid Nabi. Jika tidak seperti itu, agama akan tetap berada dalam jalur ambiguitasnya dan upacara akhirnya hanya sebatas rutinitas yang tidak memiliki dampak apaapa dalam pengalaman sejarah keseharian. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar