Selasa, 22 Januari 2013

Banjir dan Teologi Ekologis


Banjir dan Teologi Ekologis
Ali Rif’an ;  Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
SUARA KARYA, 22 Januari 2013


Sudah menjadi rahasia umum, setiap pegantian musim, selalu saja ada bencana yang menimpa bangsa ini. Setelah enam bulan lalu mengalami kekeringan, kini masyarakat kita tengah dilanda banjir. Kali ini, yang diprediksi paling parah dilanda banjir adalah Ibu Kota DKI Jakarta. Selain tanahnya yang gersang, sesuai hitungan kelender lima tahunan, banjir Jakarta tahun ini tepat tahun kelima dari banjir dahsyat yang pernah terjadi sebelumnya di tahun 2007 dan 2002.
Diperkirakan, fenomena banjir di Kota Jakarta hari-hari ini masih akan berlangsung hingga pertengahan Februari mendatang. Jakarta sebagai pusat ibu kota pun akan lumpuh, bahkan - jika tak ditangani secara serius - ada yang bilang akan tenggelam.
Sebagai orang beriman dan berakal sehat, kita melihat bahwa musibah banjir ini terjadi tentu tidak dengan sendirinya. Ada sebab musababnya atau kausalitas. Karena, sesungguhnya, berbagai kerusakan di seantero bumi adalah akibat ulah manusia. (Ar Ruum: 41) Dalam Al Qur'an dikatakan, "Janganlah merusak di muka bumi sesudah Allah memperbaikinya." (Al A'raf: 56)
Coba bayangkan, berdasarkan data Forest Watch Indonesia (2009), dalam kurun waktu 60 tahun terakhir, tutupan hutan di Indonesia berkurang 162 juta ha menjadi hanya 88,17 juta ha pada 2009 atau setara dengan sekitar 46,3 persen dari luas total daratan Indonesia. Berkurangnya kawasan hutan tersebut disebabkan kebanyakan beralih fungsi menjadi permukiman dan industri serta pembalakan liar yang marak. (Koten, 2013)
Ini menandakan, ayat-ayat Allah memang benar adanya. Siapa yang mengingkarinya, bisa dipastikan, mereka akan mendapatkan murka. Baik murka di dunia maupun murka di akhirat kelak.
Tiga Elemen
Untuk itu, mari kita tumbuhkan kesadaran bersama (kolektif) bahwa menjaga alam atau lingkungan adalah tugas kita semua, seluruh umat manusia. Dalam lingkup kecil, kesadaran ini bisa ditumbuhkan lewat lingkungan keluarga. Orangtua dalam mendidik anaknya perlu menanamkan untuk mencintai alam atau lingkungan dan tidak membuang sampah sembarangan sedari kecil. Ini penting karena keluarga merupakan lingkungan paling strategis untuk membina mental seorang anak.
Dalam lingkup agak luas, kesadaran ekologis ini juga bisa dilakukan pada lingkungan masyarakat. Para tokoh masyarakat/adat harus memberikan contoh atau teladan yang baik dalam menjaga dan memelihara alam dan lingkungan. Sebab, mereka itu ibarat cermin yang akan selalu dipakai berkaca bagi masya-rakat. Jika mereka memberikan cermin yang buruk, sudah barang tentu masya-rakat akan ikut menjadi buruk.
Dalam lingkup yang lebih luas, kesadaran ekologis juga sangat perlu dilakukan oleh negara yang dalam hal ini pemerintah-baik pemerintah pusat mapun daerah. Para pemimpin negeri ini harus benar-benar mengaplikasikan ekonomi hijau. Artinya, setiap pembangunan industri harus mempertimbangkan aspek ekologis. Pembangunan industri harus ramah terhadap lingkungan. Pemerintah pusat ataupun daerah tak boleh oleng dan membiarkan pembangunan industri secara membabi buta menebangi pohon dan membabat hutan.
Masalah Moral
Tentu saja, kesadaran akan menjaga alam dan meletarikan lingkungan ini tidak bisa hanya ditumbuhkan dari luar saja (yakni lingkungan keluarga, ma-syarakat, dan negara), tapi jauh lebih penting justru dari dalam. Dengan cara apa?
Salah satunya melalui jalur teologis. Agama (teologi) bisa membantu untuk menopang kesadaran peme-luknya akan pentingnya menjaga lingkungan, melalui mekanisme pembacaan teks agama atau tafsir yang pro lingkungan. Sebab, agama diasumsikan bisa memperkuat penyadaran masyarakat dengan jalan ideologi dogmatis.
Dalam hal ini, A Sony Keraf (2010) pernah mengatakan, masalah lingkungan sesungguhnya memiliki kaitan dengan masalah moral dan perilaku manusia. Dengan kata lain, krisis ekologi yang kita alami dewasa ini tak lepas dari persoalan moral-agama. Untuk itu, dibutuhkan sinergitas antara moral-agama dan lingkungan dalam upaya menjaga keutuhan alam semesta ini.
Teologi berbasis ekologis bisa digunakan sebagai salah satu alat (tools) untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan lingkungan. Konsep ini diarahkan pada pembangunan mental spiritual yang berbasis pada pelestarian alam. Artinya, orang yang mengaku beragama pasti cinta terhadap Tuhannya. Kecintaan terhadap Tuhan itu bisa dimanifestasikan dengan mencintai segala makhluk dan benda yang ada di bumi.
Teologi ekologis juga bisa dijadikan sebagai bentuk formula dari teologi konstruktif yang mengkaji tentang interaksi antara agama dan alam, terutama dalam menghadapi pemanasan global (global warming). Sebab, teologi ekologis mengandung prinsip-prinsip universal untuk kepentingan umat manusia di dalam menjaga dan merawat bumi yang menjadi tempat manusia berada.
Dengan teologi ekologis, diharapkan setiap dari kita mampu memahami secara menyeluruh tentang bagaimana seharusnya menempatkan posisi di alam (lingkungan), serta kaitannya berinteraksi dengan makhluk yang lain. Tentu saja, tujuan akhir dari itu semua adalah adanya suatu paradigma yang holistik dalam memandang, menjaga, sekaligus merawat alam (lingkungan). Supaya bencana banjir seperti yang kita alami saat ini tidak akan terjadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar