Jumat, 03 Agustus 2012

Deklarasi Dini Capres


Deklarasi Dini Capres
Hajriyanto Y Thohari ; Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
SINDO, 03 Agustus 2012

Partai Golkar secara resmi telah mendeklarasikan Aburizal Bakrie (ARB), Ketua Umum DPP Partai Golkar, sebagai calon presiden dalam Pemilu Presiden 2014.

Ini berarti ARB merupakan capres pertama yang secara terbuka menyatakan keinginan dan kesiapannya lahirbatin untuk menjadi capres dalam Pemilu Presiden 2014. Patut dicatat bahwa deklarasi ini dilakukan saat belum ada satu pun tokoh lain memiliki keberanian untuk menyatakan kesiapannya secara resmi dan terbuka. Tidak ada yang salah, apalagi aneh,dengan deklarasi itu. Sebuah keinginan, apalagi keinginan untuk menjadi presiden, tidak ada salahnya dinyatakan secara terus terang dan diusahakan dengan sungguh-sungguh dengan strategi dan persiapan yang matang.

Justru aneh dan lucu jika seseorang berkeinginan untuk menjadi presiden, tetapi tidak berterus terang, “malu-malu kucing”, dan tidak berusaha dengan sungguh-sungguh.Lebih tidak elok lagi mereka yang sebenarnya beringinan kuat menjadi presiden, tetapi keinginannya itu disembunyikan dari publik untuk kemudian menunggu saatnya melalui cara mencuri di tikungan politik.

Memang ada beberapa kritik yang sinikal yang dialamatkan kepada ARB dan Golkar sebagai terlalu dini mendeklarasikan capresnya. Dikatakan bahwa Pemilu Presiden 2014 masih terlalu lama, sekitar dua tahun lagi. Pemilu legislatif saja,yang notabene merupakan prolog pemilu presiden, belum dipersiapkan dan diselenggarakan, lantas mengapa buru-buru mendeklarasikan capresnya? Katanya: ini mirip azan subuh yang dilakukan di tengah malam, atau malah ada juga yang mengatakannya sebagai sikap jumawa alias––dalam bahasa Jawa––andisiki kerso (mendahului kehendak Tuhan).

Bukankah Justru Positif? 

Tetapi, ada juga perspektif lain: justru deklarasi sedini mungkin ini secara politik positif. Pertama, menunjukkan ARB memahami betul landskap politik Indonesia. Indonesia adalah negara yang sangat luas dan besar. Mengutip Bernard H M Vleke dalam Nusantara: A History of Indonesia (1943), negara ini memanjang dari timur ke barat 5000 km, melebar dari utara ke selatan 2000 km, yang berarti luas wilayah ini mencapai 10 juta km persegi.

Ini berarti sama luasnya dengan Amerika Serikat minus negara bagian Alaska. Seorang capres Indonesia harus mengenal dengan baik negara kepulauan yang terdiri atas lebih 17.000 pulau yang dibagi menjadi 33 provinsi dan 497 kabupaten/kota. Untuk dapat mengelilingi wilayah seluas itu, seorang capres membutuhkan waktu yang lama. Kedua, penduduk negara ini mencapai 240 juta jiwa dengan jumlah pemilih hampir 180 juta.

Dengan jumlah ini, Indonesia itu negara dengan penduduk terbesar keempat dunia setelah RRC (1,4 miliar), India (1,2 miliar), dan Amerika serikat (309 juta), seorang capres Indonesia sebaiknya mengenal––dan dikenal–– dengan baik, luar-dalam, oleh seluruh warga negara Indonesia. Sangat meyakinkan dan sangat ideal seluruh rakyat sebaiknya mengenal bukan hanya sosok “luar”-nya, melainkan juga bisa mencandra “dalam” seorang capres.

Mengenal dan dikenal bangsanya ini penting sekali mengingat sebagai presiden dia berkewajiban “melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa...” (Pembukaan UUD 1945). Bagaimana seorang presiden akan melindungi, menyejahterakan, dan mencerdaskan bangsanya, jika dia tidak mengenal dan menghayati dengan baik “taksonomi” dan “anatomi” kehidupan serta masalah-masalah yang dihadapi bangsanya? Sangat meyakinkan, untuk sampai pada tahap— meminjam istilah dalam metodologi penelitian antropologi— rapport ini memerlukan waktu yang panjang.

Ketiga, dengan deklarasi dini, para pengamat politik— baik yang serius maupun yang sekadar kenes-kenesan—niscaya akan memiliki peluang panjang untuk melancarkan kritisismenya terhadap calon. Para pengamat politik dan aktivis ditantang untuk mencandra dan kalau perlu menelanjangi calon presidennya ini secara terbuka: mengkritik prestasinya, reputasinya, dan rekam jejaknya secara terbuka dan ilmiah.

Deklarasi dini mencerminkan sikap ksatria dan siap dikritik. Walhasil, deklarasi dini harus dilihat juga dari perspektif yang positif seperti itu. Bukankah dengan demikian ARB justru telah bertindak jantan dan ksatria dengan deklarasi ini? Ibarat buku yang terbuka, ARB tanpa tedeng aling-aling mempersilakan rakyat dan pengamat politik untuk menilai diri dan reputasinya.

Mana Capres Lain? 

Dalam konteks dan perspektif seperti ini, sebenarnya yang justru relevan untuk dipertanyakan adalah mengapa parpol-parpol yang lain belum mendeklarasikan capresnya dan atau mengapa tokoh-tokoh potensial lainnya––yang kita yakini cukup banyak—tidak kunjung menampakkan diri dan menyatakan keinginan serta kesiapannya untuk menjadi calon presiden Republik Indonesia yang notabene sangat besar dan luas, majemuk, dan kompleks dengan penduduk terbesar keempat dunia itu!

Deklarasi capres dalam waktu yang terlalu dekat dengan pemilu presiden berarti membatasi kesempatan rakyat untuk menilainya secara analitis dan komprehensif. Seorang tokoh yang tidak memiliki kemauan untuk menduduki jabatan politik yang bersifat publik, apalagi jabatan presiden, tidak relevan untuk dikritisi integritasnya, kredibilitasnya, dan rekam jejaknya. Semua aspek yang menyangkut kepribadiannya adalah wilayah privat yang mutlak harus dihormati.

Tetapi sekali seorang berkeinginan menduduki jabatan publik, publik berhak untuk menilai prestasi dan reputasinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,bahkan kadang-kadang kehidupan pribadinya yang paling privat sekalipun! Walhasil, tidak ragu lagi, tidak ada yang salah dengan deklarasi dini bagi seorang capres Indonesia. Presiden adalah calon pejabat publik yang sangat strategis dan menentukan kehidupan suatu bangsa.

Untuk jabatan sepenting dan strategis ini, sangatlah naif jika rakyat tidak diberi kesempatan yang cukup untuk menilai calon pemimpinnya sendiri itu. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dipublikasikan beberapa hari yang lalu menunjukkan bahwa rakyat menunggu munculnya calon-calon alternatif dari figur yang nama-namanya telah ada dan beredar sekarang ini.

Padahal nama yang beredar sekarang ini selain ARB belum ada satu pun yang menyatakan secara terbuka kesiapannya menjadi capres. Artinya, hanya atas dasar perkiraan dan gesturesaja nama-nama tersebut beredar di tengah-tengah masyarakat dan disebut sebagai capres secara sepihak. Padahal bisa jadi nama-nama tersebut tidak berkeinginan untuk menjadi calon presiden. Sebaliknya, bisa jadi nama-nama tokoh yang lain yang selama ini diam padahal sebetulnya memiliki keinginan yang meluap untuk menjadi capres belum dinilai dan dicandra oleh masyarakat karena masih menyembunyikan keinginannya.

Dalam kaitan ini, alangkah baiknya nama-nama yang merasa dirinya potensial dan mempunya keinginan kuat untuk menjadi capres segera melakukan deklarasi secara resmi dan terbuka. Setelah itu biarlah rakyat sebagai pemilik kedaulatan melakukan penilaiannya terhadap para capres itu dalam waktu yang cukup. Tidaklah elok seorang capres menunggu di tikungan. Manis, bukan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar