Yang
Mulia Bisa Stress Juga
Reza Indragiri Amriel, DOSEN
PSIKOLOGI FORENSIK UNIVERSITAS BINA NUSANTARA
Sumber
: KORAN TEMPO, 1 Maret 2012
Dinilai kapabilitasnya tidak memadai untuk
memimpin persidangan sekelas perkara Wisma Atlet, sejumlah kalangan mengharapkan
mundurnya Darmawati Ningsih dari posisi ketua majelis hakim. Pada dasarnya
tuntutan ini beralasan karena publik berasumsi, dengan kompleksitas masalahnya
yang begitu tinggi, kasus Wisma Atlet seharusnya ditangani oleh hakim-hakim
kelas Hercules. Lengkap dari sisi kompetensi keras (pengetahuan dan
keterampilan), kompetensi lunak (sikap memimpin persidangan), dan ketaatan pada
kaidah-kaidah profesi.
Masyarakat, terlebih yang awam, cenderung
memandang hakim sebagai sosok omnipotent. Dengan--anggapan--kemampuan
kerjanya yang luar biasa itulah, hakim dituntut secara ideal dapat mengungkap
kebenaran demi kebenaran dalam persidangan yang dipandunya, sekaligus membuka
pintu-pintu kebenaran yang relevan bagi persidangan-persidangan terkait
lainnya.
Agar dapat memenuhi gambaran ideal itu,
khalayak lagi-lagi beranggapan hakim pasti mampu mengolah seluruh informasi dan
bukti secara komprehensif dan koheren. Terlepas apakah kasus yang disidangkan
tergolong sederhana atau rumit semacam Wisma Atlet.
Dari perspektif psikologis, citra hakim yang
digambarkan sedemikian ideal sesungguhnya merupakan utopia. Pada kenyataannya,
setidaknya terdapat tiga nature pekerjaan hakim yang menjadikan profesi
ini luar biasa berat. Yaitu, hakim harus berhadapan dengan timbunan informasi,
sementara alokasi waktu yang tersedia hanya singkat, dan kapasitas mental
individu hakim pun mempunyai keterbatasan untuk mengelola ketidakseimbangan
antara informasi dan pengetahuan tersebut.
Studi-studi empiris juga menunjukkan betapa
hakim rentan mengalami stres. Sumbernya bervariasi, seperti yang sebagian di
antaranya dicantumkan di bawah ini.
Berkaitan langsung dengan proses persidangan,
relevan dengan konteks kasus semacam Wisma Atlet, rangkaian persidangan yang
memakan waktu panjang lagi membosankan dapat memunculkan stres berupa, antara
lain, kelebihan beban kognitif (cognitive overload). Ketika berimbas ke
ranah emosi, hakim dapat kehilangan sensitivitasnya. Daya kritis menurun,
digantikan oleh pola kerja yang serba normatif dan prosedural. Untuk perkara
yang keruwetannya amat tinggi seperti kasus Wisma Atlet, pola kerja semacam itu
tentu akan mempertontonkan hakim laiknya individu yang naif.
Secara manusiawi, sebagian hakim yang menjadi
subyek penelitian mengakui bahwa mereka bisa terbebani oleh figur yang menjadi
terdakwa. Namun, riset menemukan, ada lebih banyak lagi hakim yang mengakui
bahwa mereka dibuat stres oleh karakteristik pihak-pihak terkait secara
keseluruhan, tidak semata-mata oleh terdakwa. Berhadapan dengan saksi-saksi
berprofil tinggi, misalnya, hakim bisa mengalami perasaan tertekan.
Liputan media, bahkan keberadaan kamera di
ruang persidangan, turut menciptakan suasana “sedang diawasi”, sehingga
berisiko mempertinggi kadar stres sang pengadil. Bisa dibayangkan, semakin
tinggi bobot kasus, semakin besar pula ekspektasi publik akan putusan yang adil
dan memuaskan, betapapun--di mata khalayak--itu sangat subyektif sifatnya.
Selain itu, ada penyebab stres yang
berhubungan tidak langsung dengan persidangan itu sendiri. Masalah-masalah
keluarga si hakim dan konstelasi politik di luar arena persidangan, misalnya.
Temuan-temuan di atas kebanyakan berasal dari penelitian terhadap hakim-hakim
Amerika. Berbeda dengan di Indonesia, di mana format hakim adalah panel
(majelis), hakim di Negeri Abang Sam bekerja di atas singgasana tunggal.
Bekerja dalam format panel tidak serta-merta
membuat kerja hakim, terutama ketua majelis hakim, menjadi lebih mudah.
Memperhatikan dinamika yang dapat berlangsung di antara sesama anggota majelis,
friksi justru rawan menjadi sumber stres susulan. Bahkan manakala jenis kelamin
dimasukkan ke penelitian, terungkap bahwa hakim-hakim perempuan lebih rentan
terhadap stres ketimbang kolega mereka yang laki-laki.
Mencantumkan satu per satu faktor-faktor
ekstrayudisial yang dapat mempengaruhi kerja hakim, seperti di atas, saya tidak
berpretensi menyatakan bahwa ketua majelis hakim persidangan M. Nazaruddin
niscaya mengalami stres sehingga tak mampu menjalankan tugas secara “militan”.
Justru, dalam skala luas, saya ingin
mengajukan pertanyaan ke seluruh sarjana hukum. Mengapa, dengan limpahan
dinamika psikologis yang sangat mengganggu itu, tetap saja orang
berbondong-bondong ingin berprofesi sebagai "yang mulia hakim"? *
Mencantumkan satu per satu faktor-faktor
ekstrayudisial yang dapat mempengaruhi kerja hakim, seperti di atas, saya tidak
berpretensi menyatakan bahwa ketua majelis hakim persidangan M. Nazaruddin
niscaya mengalami stres sehingga tak mampu menjalankan tugas secara “militan”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar