Jumat, 02 Maret 2012

Kota dan Jati Diri

Kota dan Jati Diri
Daniel A Bell dan Avner de-Shalit, Guru Besar Etika dan Falsafah Politik pada Tsinghua University, Beijing; Avner de-Shalit adalah Dekan Ilmu Sosial pada Hebrew University, Yerusalem. Mereka berdua pengarang buku The Spirit of Cities: Why the Identity of a City Matters in a Global Age
Sumber : KORAN TEMPO, 1 Maret 2012



Perkembangan apa yang menonjol di abad kita sekarang ini? Bergantung pada waktunya. Tapi, jika dikaji menurut hitungan abad, jelas urbanisasilah calon yang terkuat. Sekarang ini lebih dari separuh umat manusia tinggal di kota, dibandingkan dengan kurang dari 3 persen pada 1800. Menjelang 2025, di Cina saja diperkirakan bakal ada 15 “mega-kota”, masing-masing dihuni sekurang-kurangnya oleh 25 juta orang. Benarkah para kritikus sosial yang khawatir atas menyebarnya kesepian kehidupan di kota-kota besar?
Benar bahwa kota tidak memberikan rasa bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan di desa dan kota kecil. Tapi suatu bentuk masyarakat yang berbeda telah berkembang di kota-kota besar. Orang sering berbangga akan kota-kota yang mereka huni dan berupaya mengembangkan budaya khas mereka.

Kebanggaan seseorang akan kota yang mereka huni punya sejarah yang panjang. Di dunia lama, warga Athena mengidentifikasi diri mereka dengan etos demokratis kota mereka, sementara warga Sparta berbangga akan reputasi kota yang mereka identifikasikan dengan disiplin dan kekuatan militer. Sudah barang tentu kota-kota sekarang ini besar, beragam, dan pluralistik. Maka, tampaknya aneh mengatakan bahwa kita sekarang punya etos yang mencerminkan kehidupan kolektif warganya.

Namun berbeda dengan, katakan, Beijing dan Yerusalem, yang memberi kesan bahwa kota memang punya etos demikian. Kedua kota ini dirancang dengan inti kota yang dikelilingi oleh lingkaran-lingkaran yang ekosentris. Tapi inti kota Yerusalem mengekspresikan nilai-nilai spiritual, sementara inti kota Beijing mewakili kekuatan politik. Dan etos suatu kota bukan hanya memberi bentuk pada pemimpin-pemimpinnya. Beijing juga menarik para kritikus utama politik di Cina, sementara kritikus-kritikus sosial Kota Yerusalem mengemukakan interpretasi agama yang menempatkan manusia, bukan obyek mati, sebagai makhluk yang suci. Dalam kedua kasus, kendati ada bantahan terhadap kaidah-kaidah tertentu ideologi mereka yang berkuasa, tidak banyak yang menolak etos itu sendiri.

Atau, ambil saja Montreal sebagai contoh. Warga kota itu harus mengarungi liku-liku linguistik di dalam kota tersebut. Montreal merupakan contoh yang relatif berhasil sebagai suatu kota di mana warga yang berbahasa Inggris dan mereka yang berbahasa Prancis betah hidup bersama. Namun debat bahasa tetap mendominasi dunia politik--dan membangun etos warga kota-warga kota tersebut.

Hong Kong merupakan kasus tersendiri, di mana cara hidup kapitalis begitu sentral, sehingga hal itu dicantumkan dalam undang-undang dasarnya. Namun kapitalisme gaya Hong Kong bukan semata-mata bertumpu pada pengejaran materi. Ia diletakkan berdasarkan etika Konghucu yang menomorsatukan kepedulian terhadap sesama, bukan mementingkan diri sendiri. Itulah sebabnya, Hong Kong memiliki tingkat kedermawanan yang paling tinggi di Asia Timur.

Paris, sebaliknya, punya etos romantis. Tapi warga Paris menolak konsep cinta model Hollywood yang dangkal seperti kisah yang berakhir dengan kehidupan yang bahagia selama-lamanya. Pandangan mereka tentang cinta berpusat pada perlawanan mereka terhadap nilai-nilai yang konservatif serta kehidupan borjuis yang sudah bisa diprediksi.

Sebenarnya, banyak kota punya identitas yang dibanggakan warganya. Kebanggaan akan kota merupakan ciri utama identitas kita sekarang ini. Ini penting karena kota dengan etos yang jelas bisa dengan lebih kuat melawan kecenderungan keberagaman globalisasi. Memang merisaukan ketika negara-negara mengumumkan ideal yang organik dan tidak berkesudahan, namun menegaskan kekhususan suatu kota bisa menjadi pertanda yang sehat.

Kota-kota di Cina berupaya melawan keseragaman melalui kampanye kembali kepada "semangat” yang unik kota-kota itu. Harbin, misalnya, membanggakan sejarah toleransi dan keterbukaannya terhadap orang-orang asing. Di situs Internet resminya, Tel Aviv mengemukakan, antara lain, peran progresif kota itu sebagai pusat komunitas homoseksual di dunia.

Kebanggaan kota juga mencegah timbulnya rasa kebanggaan yang ekstrem. Sebagian besar masyarakat memerlukan identitas komunitas, tapi mungkin lebih baik menemukan identitas itu pada kedekatan seseorang kepada kota daripada kepada negara yang selalu terlibat dalam konflik dengan negara-negara lain. Individu-individu yang memiliki rasa berkewarganegaraan yang kuat bisa mengambil keputusan berdasarkan lebih daripada sekadar patriotisme ketika itu menyangkut komitmen nasional.

Kota dengan etos yang kuat bisa juga mencapai tujuan politik yang sulit dicapai pada tingkat nasional. Cina, Amerika Serikat, dan bahkan Kanada mungkin perlu waktu bertahun-tahun untuk melaksanakan rencana yang serius guna mengatasi perubahan iklim. Namun kota seperti Hangzhou, Portland, dan Vancouver bangga akan etos “hijau” mereka, dan melangkah lebih jauh melampaui kebutuhan nasional dalam upaya menjaga lingkungan.

Urbanisasi disalahkan atas berbagai penyakit sosial sekarang ini, mulai kejahatan, ketidaksopanan, alienasi, sampai ketidakpatuhan terhadap hukum. Tapi, dengan semangat dan identitasnya yang unik, kota bisa, sebenarnya, membantu memberdayakan umat manusia menghadapi tantangan paling sulit abad ke-21 ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar