Kota
dan Jati Diri
Daniel A Bell dan Avner
de-Shalit, Guru Besar Etika dan
Falsafah Politik pada Tsinghua University, Beijing; Avner de-Shalit adalah
Dekan Ilmu Sosial pada Hebrew University, Yerusalem. Mereka berdua pengarang
buku The Spirit of Cities: Why the Identity of a City Matters in a Global
Age
Sumber
: KORAN TEMPO, 1 Maret 2012
Perkembangan apa yang menonjol di abad kita
sekarang ini? Bergantung pada waktunya. Tapi, jika dikaji menurut hitungan
abad, jelas urbanisasilah calon yang terkuat. Sekarang ini lebih dari separuh
umat manusia tinggal di kota, dibandingkan dengan kurang dari 3 persen pada
1800. Menjelang 2025, di Cina saja diperkirakan bakal ada 15 “mega-kota”,
masing-masing dihuni sekurang-kurangnya oleh 25 juta orang. Benarkah para
kritikus sosial yang khawatir atas menyebarnya kesepian kehidupan di kota-kota
besar?
Benar bahwa kota tidak memberikan rasa
bermasyarakat yang menjadi ciri kehidupan di desa dan kota kecil. Tapi suatu
bentuk masyarakat yang berbeda telah berkembang di kota-kota besar. Orang
sering berbangga akan kota-kota yang mereka huni dan berupaya mengembangkan
budaya khas mereka.
Kebanggaan seseorang akan kota yang mereka
huni punya sejarah yang panjang. Di dunia lama, warga Athena mengidentifikasi
diri mereka dengan etos demokratis kota mereka, sementara warga Sparta
berbangga akan reputasi kota yang mereka identifikasikan dengan disiplin dan
kekuatan militer. Sudah barang tentu kota-kota sekarang ini besar, beragam, dan
pluralistik. Maka, tampaknya aneh mengatakan bahwa kita sekarang punya etos
yang mencerminkan kehidupan kolektif warganya.
Namun berbeda dengan, katakan, Beijing dan
Yerusalem, yang memberi kesan bahwa kota memang punya etos demikian. Kedua kota
ini dirancang dengan inti kota yang dikelilingi oleh lingkaran-lingkaran yang
ekosentris. Tapi inti kota Yerusalem mengekspresikan nilai-nilai spiritual,
sementara inti kota Beijing mewakili kekuatan politik. Dan etos suatu kota
bukan hanya memberi bentuk pada pemimpin-pemimpinnya. Beijing juga menarik para
kritikus utama politik di Cina, sementara kritikus-kritikus sosial Kota
Yerusalem mengemukakan interpretasi agama yang menempatkan manusia, bukan obyek
mati, sebagai makhluk yang suci. Dalam kedua kasus, kendati ada bantahan
terhadap kaidah-kaidah tertentu ideologi mereka yang berkuasa, tidak banyak
yang menolak etos itu sendiri.
Atau, ambil saja Montreal sebagai contoh.
Warga kota itu harus mengarungi liku-liku linguistik di dalam kota tersebut.
Montreal merupakan contoh yang relatif berhasil sebagai suatu kota di mana
warga yang berbahasa Inggris dan mereka yang berbahasa Prancis betah hidup bersama.
Namun debat bahasa tetap mendominasi dunia politik--dan membangun etos warga
kota-warga kota tersebut.
Hong Kong merupakan kasus tersendiri, di mana
cara hidup kapitalis begitu sentral, sehingga hal itu dicantumkan dalam
undang-undang dasarnya. Namun kapitalisme gaya Hong Kong bukan semata-mata
bertumpu pada pengejaran materi. Ia diletakkan berdasarkan etika Konghucu yang
menomorsatukan kepedulian terhadap sesama, bukan mementingkan diri sendiri.
Itulah sebabnya, Hong Kong memiliki tingkat kedermawanan yang paling tinggi di
Asia Timur.
Paris, sebaliknya, punya etos romantis. Tapi
warga Paris menolak konsep cinta model Hollywood yang dangkal seperti kisah
yang berakhir dengan kehidupan yang bahagia selama-lamanya. Pandangan mereka
tentang cinta berpusat pada perlawanan mereka terhadap nilai-nilai yang
konservatif serta kehidupan borjuis yang sudah bisa diprediksi.
Sebenarnya, banyak kota punya identitas yang
dibanggakan warganya. Kebanggaan akan kota merupakan ciri utama identitas kita
sekarang ini. Ini penting karena kota dengan etos yang jelas bisa dengan lebih
kuat melawan kecenderungan keberagaman globalisasi. Memang merisaukan ketika
negara-negara mengumumkan ideal yang organik dan tidak berkesudahan, namun
menegaskan kekhususan suatu kota bisa menjadi pertanda yang sehat.
Kota-kota di Cina berupaya melawan
keseragaman melalui kampanye kembali kepada "semangat” yang unik kota-kota
itu. Harbin, misalnya, membanggakan sejarah toleransi dan keterbukaannya
terhadap orang-orang asing. Di situs Internet resminya, Tel Aviv mengemukakan,
antara lain, peran progresif kota itu sebagai pusat komunitas homoseksual di
dunia.
Kebanggaan kota juga mencegah timbulnya rasa
kebanggaan yang ekstrem. Sebagian besar masyarakat memerlukan identitas
komunitas, tapi mungkin lebih baik menemukan identitas itu pada kedekatan
seseorang kepada kota daripada kepada negara yang selalu terlibat dalam konflik
dengan negara-negara lain. Individu-individu yang memiliki rasa
berkewarganegaraan yang kuat bisa mengambil keputusan berdasarkan lebih
daripada sekadar patriotisme ketika itu menyangkut komitmen nasional.
Kota dengan etos yang kuat bisa juga mencapai
tujuan politik yang sulit dicapai pada tingkat nasional. Cina, Amerika Serikat,
dan bahkan Kanada mungkin perlu waktu bertahun-tahun untuk melaksanakan rencana
yang serius guna mengatasi perubahan iklim. Namun kota seperti Hangzhou,
Portland, dan Vancouver bangga akan etos “hijau” mereka, dan melangkah lebih
jauh melampaui kebutuhan nasional dalam upaya menjaga lingkungan.
Urbanisasi disalahkan atas berbagai penyakit
sosial sekarang ini, mulai kejahatan, ketidaksopanan, alienasi, sampai
ketidakpatuhan terhadap hukum. Tapi, dengan semangat dan identitasnya yang
unik, kota bisa, sebenarnya, membantu memberdayakan umat manusia menghadapi tantangan
paling sulit abad ke-21 ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar