Jumat, 16 Maret 2012

UU dan Pengemplang Pajak


UU dan Pengemplang Pajak
Sjahrial Ong, KETUA ASOSIASI PERUSAHAAN PENGELOLA ALAT BERAT/
ALAT KONSTRUKSI INDONESIA (APPAKSI)
SUMBER : REPUBLIKA, 15 Maret 2012



Para pengusaha hakikatnya tidak keberatan membayar pajak sebagai upaya besar dalam pembangunan nasional. Sepanjang yang dikenakan bukan pajak ganda atau tidak jelas, yang justru bisa berdampak pada kerugian secara nasional pula.

Sejak diundangkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah pada 15 September 2009, sejumlah pemerintah daerah (pemda) kemudian menyusun peraturan daerah (perda) sebagai landasan hukum untuk menarik pajak kendaraan bermotor (PKB) terhadap alat-alat berat (A2B) dan alat-alat konstruksi (A2K). Pengenaan pajak yang terkesan sebagai imbas dari masih adanya euforia otonomi daerah dalam satu dekade belakangan ini.

Tak salah memang karena perda yang disusun oleh pemerintah daerah benar adanya mengacu pada Pasal 1 Ayat (13) UU Nomor 28 Tahun 2009 yang menjelaskan tentang beragam jenis kendaraan dan fungsinya. Namun, sorotannya ada pada UU yang menaungi perda. Sekadar perbandingan, di beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, Jepang, Korea, dan Australia, tidak mengenakan PKB (road tax) bagi A2B. Logikanya, A2B di dalam proyek tidak memakai jalan umum (off road). Ada juga sejumlah negara yang menerapkan log book and registration plat terhadap off road equipment, semacam surat tanda nomor kendaraan (STNK) di negara kita.

Berdasarkan pemanfaatannya, ada A2B yang dikategorikan beroperasi dan memakai jalan umum, semisal sebagian truk besar (kategori lima). Untuk kategori ini, wajib memakai STNK dan dikenakan PKB. Namun, tidak semua truk besar beroperasi di jalan umum.

Pakar konstruksi memiliki semacam kesepakatan yang berlaku di dunia internasional. Secara umum, A2B dibagi atas beberapa kategori sesuai dengan sektor pemakaiannya. Antara lain, A2B sebagai mining equipment, forestry equipment, constructions equipment, dan lain-lain.

Lalu, klasifikasi berdasarkan sifat pemakaiannya, A2B terkelompokkan menjadi dua. Pertama, on road equipment (A2B yang dipakai di jalan umum), seperti truck, wheel excavator, dan backhoe loader. Kedua, off road equipment (A2B yang tidak dipakai di jalan umum), seperti buldozer, excavator, crane, genset, dan lain sebagainya.

Bicara sejarah kehadiran alat berat di Indonesia, sejak awal pembangunan infrastruktur di era Orde Baru (pertengahan 1970-an), pemerintah mengimpor hampir semua A2B dalam bentuk completely built up (CBU) di bawah pengawasan dan naungan Kementerian Perindustrian. Lahirlah perusahaan-perusahaan nasional sebagai dealer ataupun agen penjualan untuk menjaga ketertiban, khususnya menghindari persaingan tidak sehat atas purnajual (after sales service).

Kementerian Perindustrian lantas mengeluarkan peraturan berupa kewajiban produsen untuk menunjuk agen tunggalnya yang bertanggung jawab penuh atas penjualan dan pelayanan purnajual merk-merk yang diageni di Indonesia. Izin agen tunggal diberikan untuk masa lima tahun dan tidak boleh secara sepihak memutuskan hubungan kerja sama atau menunjuk agen tunggal baru, tanpa penyelesaian yang adil.

Kementerian Perindustrian juga membuat kriteria alat-alat berat, yaitu alat yang dapat bergerak dan digerakkan sendiri oleh motor penggerak dengan kekuatan minimal satu tenaga kuda (1HP). Pada saat itu, alat pertanian kecil, seperti hand tractor, karena memiliki mesin 1HP , juga termasuk dalam kriteria pengawasan Kementerian Perindustrian. Hingga saat ini, belum ada instansi dan asosiasi selain Kementerian Perindustrian, yang membuat kriteria baru.

Terlepas dari kontroversi hand tractor, secara umum saat itu, A2B sebagai alat produksi (mesin) yang dipakai dalam proyek, tidak dikenakan PKB. Hanya A2B yang memakai jalan umum, seperti truk, wajib memakai STNK dan dikenakan PKB-nya. Lantas bagaimana dengan A2B di dalam dunia konstruksi?
Sekalipun memakai mesin penggerak (engine), A2B sebagai alat konstruksi tidak dapat dikategorikan kendaraan bermotor.

Perlu tinjauan lebih mendalam dalam menerapkan aturan pajak, yang alihalih malah bisa membuka peluang bagi praktik tidak etis. Muncul pengemplang pajak, misalnya, hanya karena mungkin ada saja oknum pengusaha yang enggan membayar pajak sebagai dampak ketidaksepahaman tentang alat berat. Yang pasti, mengenakan PKB terhadap seluruh A2B berpotensi menimbulkan biaya tambahan bagi pengusaha yang pada akhirnya menjadi high cost economy sehingga menghambat investasi pembangunan ekonomi.

Bagi pengusaha besar atau multinasional, ada pilihan untuk tidak mengambil sebuah proyek di daerah yang telah menurunkan UU Nomor 28 Tahun 2009 ke dalam perda-perda. Toh, bagi mereka masih banyak lahan kerja di tempat lain. Tapi, bagi pengusaha kecil, ketiadaan proyek adalah hal mustahil bagi kelangsungan usaha mereka. Saat itulah celah-celah melanggar hukum mulai terkuak.

Pemerintah pusat dan daerah harusnya memikirkan apa yang menjadi dampak jangka panjang atas pengenaan pajak terhadap alat berat. Bukan sekadar tergoda terhadap peluang jangka pendek meningkatkan pemasukan kas daerah dari pengenaan pajak. Bukan pula semata melihat A2B dan A2K seperti ayam yang dapat diperas setiap hari agar telurnya keluar terus-menerus. UU Nomor 28 Tahun 2009 pantas ditinjau ulang dengan lebih memikirkan aspek dasar hukum, ekonomi, dan nilai-nilai kemajuan pembangunan nasional jangka panjang. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar