UU
dan Pengemplang Pajak
Sjahrial Ong, KETUA ASOSIASI PERUSAHAAN PENGELOLA
ALAT BERAT/
ALAT
KONSTRUKSI INDONESIA (APPAKSI)
SUMBER : REPUBLIKA, 15 Maret 2012
Para
pengusaha hakikatnya tidak keberatan membayar pajak sebagai upaya besar dalam
pembangunan nasional. Sepanjang yang dikenakan bukan pajak ganda atau tidak
jelas, yang justru bisa berdampak pada kerugian secara nasional pula.
Sejak
diundangkannya UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
pada 15 September 2009, sejumlah pemerintah daerah (pemda) kemudian menyusun
peraturan daerah (perda) sebagai landasan hukum untuk menarik pajak kendaraan
bermotor (PKB) terhadap alat-alat berat (A2B) dan alat-alat konstruksi (A2K).
Pengenaan pajak yang terkesan sebagai imbas dari masih adanya euforia otonomi daerah dalam satu dekade
belakangan ini.
Tak
salah memang karena perda yang disusun oleh pemerintah daerah benar adanya
mengacu pada Pasal 1 Ayat (13) UU Nomor 28 Tahun 2009 yang menjelaskan tentang
beragam jenis kendaraan dan fungsinya. Namun, sorotannya ada pada UU yang
menaungi perda. Sekadar perbandingan, di beberapa negara maju, seperti Amerika
Serikat, Jepang, Korea, dan Australia, tidak mengenakan PKB (road tax) bagi A2B. Logikanya, A2B di
dalam proyek tidak memakai jalan umum (off
road). Ada juga sejumlah negara yang menerapkan log book and registration plat terhadap off road equipment, semacam surat tanda nomor kendaraan (STNK) di
negara kita.
Berdasarkan
pemanfaatannya, ada A2B yang dikategorikan beroperasi dan memakai jalan umum,
semisal sebagian truk besar (kategori lima). Untuk kategori ini, wajib memakai
STNK dan dikenakan PKB. Namun, tidak semua truk besar beroperasi di jalan umum.
Pakar
konstruksi memiliki semacam kesepakatan yang berlaku di dunia internasional.
Secara umum, A2B dibagi atas beberapa kategori sesuai dengan sektor
pemakaiannya. Antara lain, A2B sebagai mining
equipment, forestry equipment, constructions equipment, dan lain-lain.
Lalu,
klasifikasi berdasarkan sifat pemakaiannya, A2B terkelompokkan menjadi dua. Pertama,
on road equipment (A2B yang dipakai
di jalan umum), seperti truck, wheel excavator, dan backhoe loader. Kedua, off
road equipment (A2B yang tidak dipakai di jalan umum), seperti buldozer, excavator, crane, genset, dan lain sebagainya.
Bicara
sejarah kehadiran alat berat di Indonesia, sejak awal pembangunan infrastruktur
di era Orde Baru (pertengahan 1970-an), pemerintah mengimpor hampir semua A2B
dalam bentuk completely built up
(CBU) di bawah pengawasan dan naungan Kementerian Perindustrian. Lahirlah
perusahaan-perusahaan nasional sebagai dealer ataupun agen penjualan untuk
menjaga ketertiban, khususnya menghindari persaingan tidak sehat atas purnajual
(after sales service).
Kementerian
Perindustrian lantas mengeluarkan peraturan berupa kewajiban produsen untuk
menunjuk agen tunggalnya yang bertanggung jawab penuh atas penjualan dan
pelayanan purnajual merk-merk yang diageni di Indonesia. Izin agen tunggal
diberikan untuk masa lima tahun dan tidak boleh secara sepihak memutuskan
hubungan kerja sama atau menunjuk agen tunggal baru, tanpa penyelesaian yang
adil.
Kementerian
Perindustrian juga membuat kriteria alat-alat berat, yaitu alat yang dapat
bergerak dan digerakkan sendiri oleh motor penggerak dengan kekuatan minimal
satu tenaga kuda (1HP). Pada saat itu, alat pertanian kecil, seperti hand
tractor, karena memiliki mesin 1HP , juga termasuk dalam kriteria pengawasan
Kementerian Perindustrian. Hingga saat ini, belum ada instansi dan asosiasi
selain Kementerian Perindustrian, yang membuat kriteria baru.
Terlepas
dari kontroversi hand tractor, secara umum saat itu, A2B sebagai alat produksi
(mesin) yang dipakai dalam proyek, tidak dikenakan PKB. Hanya A2B yang memakai
jalan umum, seperti truk, wajib memakai STNK dan dikenakan PKB-nya. Lantas
bagaimana dengan A2B di dalam dunia konstruksi?
Sekalipun memakai mesin penggerak (engine), A2B sebagai alat konstruksi tidak dapat dikategorikan kendaraan bermotor.
Sekalipun memakai mesin penggerak (engine), A2B sebagai alat konstruksi tidak dapat dikategorikan kendaraan bermotor.
Perlu
tinjauan lebih mendalam dalam menerapkan aturan pajak, yang alihalih malah bisa
membuka peluang bagi praktik tidak etis. Muncul pengemplang pajak, misalnya,
hanya karena mungkin ada saja oknum pengusaha yang enggan membayar pajak
sebagai dampak ketidaksepahaman tentang alat berat. Yang pasti, mengenakan PKB
terhadap seluruh A2B berpotensi menimbulkan biaya tambahan bagi pengusaha yang
pada akhirnya menjadi high cost economy
sehingga menghambat investasi pembangunan ekonomi.
Bagi
pengusaha besar atau multinasional, ada pilihan untuk tidak mengambil sebuah
proyek di daerah yang telah menurunkan UU Nomor 28 Tahun 2009 ke dalam
perda-perda. Toh, bagi mereka masih banyak lahan kerja di tempat lain. Tapi,
bagi pengusaha kecil, ketiadaan proyek adalah hal mustahil bagi kelangsungan
usaha mereka. Saat itulah celah-celah melanggar hukum mulai terkuak.
Pemerintah pusat dan daerah harusnya
memikirkan apa yang menjadi dampak jangka panjang atas pengenaan pajak terhadap
alat berat. Bukan sekadar tergoda terhadap peluang jangka pendek meningkatkan
pemasukan kas daerah dari pengenaan pajak. Bukan pula semata melihat A2B dan
A2K seperti ayam yang dapat diperas setiap hari agar telurnya keluar
terus-menerus. UU Nomor 28 Tahun 2009 pantas ditinjau ulang dengan lebih
memikirkan aspek dasar hukum, ekonomi, dan nilai-nilai kemajuan pembangunan
nasional jangka panjang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar