Mazhab
Ekonomi Widjojo Nitisastro
Augustinus
Simanjuntak, DOSEN PROGRAM MANAJEMEN BISNIS
FE UNIVERSITAS KRISTEN PETRA
SURABAYA
SUMBER : JAWA POS, 14 Maret 2012
Salah seorang begawan ekonomi kita yang juga
arsitek ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisatro, telah tutup usia (9/3). Guru
Besar Fakultas Ekonomi UI itu meninggal pada usia 84 tahun. Banyak pemikiran
ekonomi yang dicetuskan jebolan University
of California at Berkeley Amerika Serikat (AS) tersebut. Pascapulang dari
AS (1961) Widjojo memulai karirnya sebagai pengajar di Sekolah Staf Komando
Angkatan Darat (Seskoad) sebelum dipercaya sebagai ketua tim penasehat ekonomi
Presiden Soeharto.
Pada 1971-1973, Widjojo pernah menjabat
menteri negara perencanaan pembangunan
nasional, dan sejak 1973 sampai 1983 menjabat menteri ekonomi dan industri
(ekuin) merangkap ketua Bappenas. Apa buah pemikiran yang penting dari
Widjojo? Yang jelas, pada 1966, Widjojo Nitisastro
(waktu itu menjabat dekan FE Ekonomi UI) memelopori tekad untuk melaksanakan
UUD 1945, terutama pasal 23 (tertib anggaran), pasal 27 (hak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak), pasal 33 (ekonomi kekeluargaan), dan pasal 34 (hak-hak
fakir miskin dan anak-anak terlantar).
Jadi, landasan Ketetapan MPRS No. 23 Tahun
1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaaan Landasan Ekonomi dan Keuangan bisa
dikatakan merupakan produk pemikiran Widjojo dan kawan-kawannya di UI. Misalnya, menurut pasal 4 TAP MPR tersebut,
landasan ideal sistem ekonomi Indonesia yang senantiasa harus tercermin dalam
setiap kebijakan ekonomi ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Lalu, pasal 5 menyatakan hakikat landasan
ideal itu adalah pembinaan sistem ekonomi terpimpin berdasar pancasila yang
menjamin demokrasi ekonomi demi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur yang
diridai Tuhan. Karena itu, menurut
Widjojo, demokrasi ekonomi memiliki cirri-ciri positif, yaitu : pertama,
disusun sebagai usaha pertama atas asas kekeluargaan sehingga tidak mengenal
struktur pertentangan kelas. Kedua,
sumber-sumber kekayaan negara dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan
lembaga perwakilan rakyat dan diawasi lembaga perwakilan rakyat pula.
Ketiga, cabang-cabang produksi yang penting
bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara.
Keempat, warga negara diberi kebebasan dalam memilih pekerjaan dan diberi hak
akan pekerjaan serta penghidupan yang layak. Kelima, hak milik perorangan
diakui dan dimanfaatkan guna kesejahteraan masyarakat, namun tidak boleh
dijadikan sebagai alat untuk mengeksploitasi sesama manusia.
Keenam, potensi, inisiatif, dan daya kreasi
setiap warga negara dpat diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang
tidak merugikan kepentingan umum.
Ketujuh, fakir miskin dan anak-anak terlantar berhak memperoleh jaminan
sosial. Selain itu, pemikiran Widjojo
dalam TAP MPRS No. 23/1966 menegaskan: dalam demokrasi ekonomi tidak ada tempat
bagi cirri-ciri negatif, yaitu : sistem free
fight liberalism yang menumbuhkan
eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain dan yang dalam sejarahnya telah
menimbulkan kelemahan struktural dalam posisi Indonesia di ekonomi dunia.
Widjojo juga dengan tegas menolak sistem
estatisme. Artinya, negara beserta aparatur ekonomi tidak boleh mendominasi
penuh, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di
luar sector negara. Dia juga menolak monopoli kegiatan ekonomi yang merugikan
masyarakat. SIstem itulah yang disebut system ekonomi jalan tengah (mix economy). Dan, berdasar pasal 33
ayat (1) UUD 1945, ekonomi kita dibangun berdasar asas kekeluargaan atau
ekonomi kolektivisme (Bung Hatta, 1946).
Widjojo pun sepakat kita bukan penganut
ekonomi individualis ala ekonomi liberal, dan bukan pula ekonomi totaliter ala sosialis.
Karena itu, Widjojo mendukung penuh
eksistensi ekonomi UUD 1945. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, misalnya, mengatur
supaya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat
hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Secara a contrario, faktor produksi yang tidak cukup vital bagi publik
boleh dikelola swasta dan diserahkan ke mekanisme pasar.
Sayang, ide Widjojo itu ternyata tidak
dijalankan oleh Orde Baru secara murni dan konsekuen. Kegiatan ekonomi justru banyak yang salah arah
dan diwarnai berbagai penyimpangan, terutama korupsi, monopoli, dan konglomerasi.
Sejak Orde Baru, Indonesia justru mulai bergantung pada investasi asing dan
utang luar negeri. Lihat saja, hingga akhir 1998, utang luar negeri (pemerintah
dan swasta) mencapai USD 160 milar atau 60 persen dari produk domestic kita (World Development Report, 2000).
Puncak kegagalam Orde Baru ialah saat
terjadinya krisis moneter 1997 yang memaksa pemerintah menggelontor dana BLBI
ratusan triliun rupiah ke bank-bank bermasalah tanpa jaminan pengembalian yang
jelas. Bahkan, dana BLBI diduga banyak yang diselewengkan oknum elite politik
yang bersekongkol dengan bankir nakal lewat mark
up, manipulasi, dan kolusi (Baswir,
2004). Lalu, bagaimana implementasi ide Widjojo di era SBY-Boediono? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar