Jumat, 16 Maret 2012

Mazhab Ekonomi Widjojo Nitisastro

Mazhab Ekonomi Widjojo Nitisastro
Augustinus Simanjuntak, DOSEN PROGRAM MANAJEMEN BISNIS
FE UNIVERSITAS KRISTEN PETRA SURABAYA
SUMBER : JAWA POS, 14 Maret 2012



Salah seorang begawan ekonomi kita yang juga arsitek ekonomi Orde Baru, Widjojo Nitisatro, telah tutup usia (9/3). Guru Besar Fakultas Ekonomi UI itu meninggal pada usia 84 tahun. Banyak pemikiran ekonomi yang dicetuskan jebolan University of California at Berkeley Amerika Serikat (AS) tersebut. Pascapulang dari AS (1961) Widjojo memulai karirnya sebagai pengajar di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad) sebelum dipercaya sebagai ketua tim penasehat ekonomi Presiden Soeharto.

Pada 1971-1973, Widjojo pernah menjabat menteri negara perencanaan  pembangunan nasional, dan sejak 1973 sampai 1983 menjabat menteri ekonomi dan industri (ekuin) merangkap ketua Bappenas. Apa buah pemikiran yang penting dari Widjojo?  Yang jelas, pada 1966, Widjojo Nitisastro (waktu itu menjabat dekan FE Ekonomi UI) memelopori tekad untuk melaksanakan UUD 1945, terutama pasal 23 (tertib anggaran), pasal 27 (hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak), pasal 33 (ekonomi kekeluargaan), dan pasal 34 (hak-hak fakir miskin dan anak-anak terlantar).

Jadi, landasan Ketetapan MPRS No. 23 Tahun 1966 tentang Pembaruan Kebijaksanaaan Landasan Ekonomi dan Keuangan bisa dikatakan merupakan produk pemikiran Widjojo dan kawan-kawannya di UI.  Misalnya, menurut pasal 4 TAP MPR tersebut, landasan ideal sistem ekonomi Indonesia yang senantiasa harus tercermin dalam setiap kebijakan ekonomi ialah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Lalu, pasal 5 menyatakan hakikat landasan ideal itu adalah pembinaan sistem ekonomi terpimpin berdasar pancasila yang menjamin demokrasi ekonomi demi terciptanya masyarakat yang adil dan makmur yang diridai Tuhan.  Karena itu, menurut Widjojo, demokrasi ekonomi memiliki cirri-ciri positif, yaitu : pertama, disusun sebagai usaha pertama atas asas kekeluargaan sehingga tidak mengenal struktur pertentangan kelas.  Kedua, sumber-sumber kekayaan negara dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan lembaga perwakilan rakyat dan diawasi lembaga perwakilan rakyat pula.

Ketiga, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak dikuasai oleh negara. Keempat, warga negara diberi kebebasan dalam memilih pekerjaan dan diberi hak akan pekerjaan serta penghidupan yang layak. Kelima, hak milik perorangan diakui dan dimanfaatkan guna kesejahteraan masyarakat, namun tidak boleh dijadikan sebagai alat untuk mengeksploitasi sesama manusia.

Keenam, potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara dpat diperkembangkan sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.  Ketujuh, fakir miskin dan anak-anak terlantar berhak memperoleh jaminan sosial.  Selain itu, pemikiran Widjojo dalam TAP MPRS No. 23/1966 menegaskan: dalam demokrasi ekonomi tidak ada tempat bagi cirri-ciri negatif, yaitu : sistem free fight liberalism  yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia dan bangsa lain dan yang dalam sejarahnya telah menimbulkan kelemahan struktural dalam posisi Indonesia di ekonomi dunia.

Widjojo juga dengan tegas menolak sistem estatisme. Artinya, negara beserta aparatur ekonomi tidak boleh mendominasi penuh, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit ekonomi di luar sector negara. Dia juga menolak monopoli kegiatan ekonomi yang merugikan masyarakat. SIstem itulah yang disebut system ekonomi jalan tengah (mix economy). Dan, berdasar pasal 33 ayat (1) UUD 1945, ekonomi kita dibangun berdasar asas kekeluargaan atau ekonomi kolektivisme (Bung Hatta, 1946).

Widjojo pun sepakat kita bukan penganut ekonomi individualis ala ekonomi liberal, dan bukan pula ekonomi totaliter ala sosialis. Karena itu, Widjojo mendukung penuh eksistensi ekonomi UUD 1945. Pasal 33 ayat (2) UUD 1945, misalnya, mengatur supaya cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Secara a contrario, faktor produksi yang tidak cukup vital bagi publik boleh dikelola swasta dan diserahkan ke mekanisme pasar. 

Sayang, ide Widjojo itu ternyata tidak dijalankan oleh Orde Baru secara murni dan konsekuen.  Kegiatan ekonomi justru banyak yang salah arah dan diwarnai berbagai penyimpangan, terutama korupsi, monopoli, dan konglomerasi. Sejak Orde Baru, Indonesia justru mulai bergantung pada investasi asing dan utang luar negeri. Lihat saja, hingga akhir 1998, utang luar negeri (pemerintah dan swasta) mencapai USD 160 milar atau 60 persen dari produk domestic kita (World Development Report, 2000).   

Puncak kegagalam Orde Baru ialah saat terjadinya krisis moneter 1997 yang memaksa pemerintah menggelontor dana BLBI ratusan triliun rupiah ke bank-bank bermasalah tanpa jaminan pengembalian yang jelas. Bahkan, dana BLBI diduga banyak yang diselewengkan oknum elite politik yang bersekongkol dengan bankir nakal lewat mark up, manipulasi, dan kolusi (Baswir, 2004). Lalu, bagaimana implementasi ide Widjojo di era SBY-Boediono?  ●
   


Tidak ada komentar:

Posting Komentar