BBM
dan Kebijakan Paradoks
Fathorrahman Hasbul, PENELITI PADA MEDIA LITERACY CIRCLE
(MLC)
PRODI
ILMU KOMUNIKASI UIN YOGYAKARTA
SUMBER : REPUBLIKA, 15 Maret 2012
Masyarakat
Indonesia kini dirudung mendung. Keresahan, gelisah, bahkan frustasi menjadi gambarannyata
yang tampak dalam wajah-wajah mereka. Setelah publik jenuh dengan aksi “gila“
para pejabat kita yang selalu berbohong, korupsi, dan sejenisnya, kini mereka
`dicekik' oleh rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM
merupakan ancaman nyata bagi kehidupan mereka. Setidaknya kenaikan harga BBM
tersebut akan berimplikasi pada naiknya kebutuhan hidup mereka sehari-hari.
Hajat hidup akan mengalami fluktuasi. Bagi masyarakat kelas bawah, mereka harus
siap menanggung penderitaan panjang yang lebih kompleks.
Isu
kenaikan BBM merupakan isu paling strategis kedua setelah isu Nazaruddin.
Sebagai kasus tingkat tinggi, jelas pembentukan opini publik akan tinggi pula.
Opini publik kini telah digiring pada satu persepsi yang buruk terhadap pemerintah.
Bisa jadi, tingkat opini tersebut pada titik tertentu akan berujung pada hasrat
klaim kegagalan bahkan pelengseran pemerintahan yang dinilai tidak akomodatif.
Entah
frame apa yang berada dalam imaji
para elite kita. Meskipun kenaikan BBM bukanlah sesuatu yang baru, isu tersebut
cukup memberikan keresahan berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Pada
tahap ini, penting untuk mengkaji persoalan tersebut secara lebih spesifik.
Pada pemerintahan SBY jilid 1, kenaikan BBM didukung dengan prestasi pemerintah
yang luar biasa. Reformasi birokrasi sedikit terwujud, konflik berujung pada
rekonsiliasi. Namun kini, kenaikan BBM ternyata berbanding lurus dengan krisis
multidimensi di pelbagai sektor.
Yang
tampak kemudian, pemerintah seakan-akan fakum dan terpaku dengan gelombang
harga minyak mentah di pasar internasional yang menembus level 105 dolar AS per
barel. Dalam perspektif Makmur Keliat (2012), alasan pemerintah memiliki
implikasi jangka pendek. Pertama, ia lebih dimaksudkan untuk mengamankan
realisasi APBN 2012, khususnya besaran alokasi anggaran untuk subsidi energi
yang jumlahnya diperkirakan Rp 123,59 triliun.
Kedua,
bukan yang pertama kali harga pasar internasional yang biasnya dipandang
sebagai harga paling efisien telah mengakibatkan tekanan bagi perubahan
terhadap penetapan harga BBM di pasar domistik. Sehingga, cukup jelas bahwa
kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM tidak pernah dimaksudkan untuk
mengubah secara subtansial gambaran struktural perekonomian nasional, tetapi
lebih menekankan pada upaya mengamankan APBN.
Kebijakan Paradoks
Dalam
kajian komunikologi, kebijakan (policy)
merupakan sentrum komunikasi. Komunikasi dengan tingkat kualitas tinggi. Namun,
dalam pola tersebut, sebagai bagian unsur komunikasi, misinterpretation,
misunderstanding, dan sejenisnya merupakan realitas yang lumrah adanya.
Kebijakan bisa efektif, diterima, atau sebaliknya tergantung dari sejauh mana
alasan dan pemahaman komunikator (baca: pemerintah) tentang suatu hal dan
bagaimana seorang komunikator mampu menyampaikan itu semua secara tepat.
Pada
tahap ini, ada determinasi kebijakan yang cenderung pincang. Banarkah alasan
kenaikan BBM tepat dinegasikan dengan harga minyak dunia atau serapan aspirasi
dari masyarakat Indonesia? Tanggung jawab pemerintah adalah mendorong
kesejahteraan, mengurangi angka kemiskinan, dan pengangguran. Jika problem ini
dibiarkan bertubitubi, secara langsung maupun tidak, negara telah melakukan
hegemoni atas negaranya sendiri. Pemerintah tidak bisa menjadi aparatus paling
depan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.
Menurut
hemat penulis, titik pusat dari kebijakan tersebut bertumpu pada kepentingan
sepihak. Dalam teknik kebijakan, tindakan pemerintah bisa dianalisis dengan
teori glittering generality. Teori ini menegaskan tentang penggunaan gagasan
yang baik dan dipakai untuk membuat sesuatu dapat diterima dan menyetujui
sesuatu itu tanpa memeriksa bukti-bukti. Lagi-lagi pemerintah selalu terkesan
tergesa-gesa.
Pemerintah
mencoba mendorong alasan kenaikan minyak berdasarkan kebutuhan, tetapi justru
kuat adanya indikasi bahwa pemerintah bertekad mengamankan APBN dan mengabaikan
aspirasi rakyat. Pemerintah tidak pernah mencoba mengakomodasi kepentingan
mereka secara utuh. Memang ada alasan lain yang sengaja dimainkan oleh
pemerintah di tengah-tengah kenaikan harga BBM seperti bantuan langsung
sementara (BLSM). Tetapi, lagi-lagi bantuan tersebut akan mendorong terus laju
korupsi di tingkat pusat hingga daerah. Bahkan, diskriminasi pengalokasian dan
tidak tepat sasaran juga menjadi ancaman yang berbahaya.
Pandangan
semacam ini mencoba menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan keputusan dan
kebijkan yang kurang tepat. Di tengah ancaman krisis multidimensi yang
berkepanjangan, masih saja pemerintah melakukan keputusankeputusan yang tidak
pro terhadap rakyat. Anehnya, meskipun mendapatkan kritik tajam dari pelbagi
pihak, keputusan tersebut tetap dilakukan.
Kebijakan
paradoks (policy) juga tampak dari
sulitnya pemerintah mempertimbangkan kemungkinan alternatif yang lebih memeliki
posisi tawar. Dalam teori card stacking
sebagaimana perspektif McLuhan (1956), setiap kebijakan meliputi pemanfaatan
fakta bahkan juga kebohong, yang dikemas dengan pernyataan logis atau tidak
logis untuk memberikan kasus terbaik atau terburuk pada sebuah gagasan, program,
atau kepentingan.
Secara sederhana, teori ini memilih argumen
atau bukti yang mendukung sebuah posisi dan mengabaikan hal lain yang tidak
mendukung posisi tersebut.
Kebijakan pemerintah selama ini menegaskan satu segmentasi yang absolut.
Kebijakan itu lahir tanpa penyerapan aspirasi dan pencarian solusi alternatif sehingga yang tampak kemudian bukan lagi sikap kebangsaan, tetapi nepotisme. Sehingga, kenaikan BBM merupakan pengingkaran besar-besaran terhidap cita-cita keadilan dan kesejahteraan bangsa yang menjadi cita-cita bersama. ●
Kebijakan pemerintah selama ini menegaskan satu segmentasi yang absolut.
Kebijakan itu lahir tanpa penyerapan aspirasi dan pencarian solusi alternatif sehingga yang tampak kemudian bukan lagi sikap kebangsaan, tetapi nepotisme. Sehingga, kenaikan BBM merupakan pengingkaran besar-besaran terhidap cita-cita keadilan dan kesejahteraan bangsa yang menjadi cita-cita bersama. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar