Jumat, 16 Maret 2012

BBM dan Kebijakan Paradoks


BBM dan Kebijakan Paradoks
Fathorrahman Hasbul, PENELITI PADA MEDIA LITERACY CIRCLE (MLC)
PRODI ILMU KOMUNIKASI UIN YOGYAKARTA
SUMBER : REPUBLIKA, 15 Maret 2012



Masyarakat Indonesia kini dirudung mendung. Keresahan, gelisah, bahkan frustasi menjadi gambarannyata yang tampak dalam wajah-wajah mereka. Setelah publik jenuh dengan aksi “gila“ para pejabat kita yang selalu berbohong, korupsi, dan sejenisnya, kini mereka `dicekik' oleh rencana kenaikan bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan harga BBM merupakan ancaman nyata bagi kehidupan mereka. Setidaknya kenaikan harga BBM tersebut akan berimplikasi pada naiknya kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Hajat hidup akan mengalami fluktuasi. Bagi masyarakat kelas bawah, mereka harus siap menanggung penderitaan panjang yang lebih kompleks.

Isu kenaikan BBM merupakan isu paling strategis kedua setelah isu Nazaruddin. Sebagai kasus tingkat tinggi, jelas pembentukan opini publik akan tinggi pula. Opini publik kini telah digiring pada satu persepsi yang buruk terhadap pemerintah. Bisa jadi, tingkat opini tersebut pada titik tertentu akan berujung pada hasrat klaim kegagalan bahkan pelengseran pemerintahan yang dinilai tidak akomodatif.

Entah frame apa yang berada dalam imaji para elite kita. Meskipun kenaikan BBM bukanlah sesuatu yang baru, isu tersebut cukup memberikan keresahan berkepanjangan di tengah-tengah masyarakat. Pada tahap ini, penting untuk mengkaji persoalan tersebut secara lebih spesifik. Pada pemerintahan SBY jilid 1, kenaikan BBM didukung dengan prestasi pemerintah yang luar biasa. Reformasi birokrasi sedikit terwujud, konflik berujung pada rekonsiliasi. Namun kini, kenaikan BBM ternyata berbanding lurus dengan krisis multidimensi di pelbagai sektor.

Yang tampak kemudian, pemerintah seakan-akan fakum dan terpaku dengan gelombang harga minyak mentah di pasar internasional yang menembus level 105 dolar AS per barel. Dalam perspektif Makmur Keliat (2012), alasan pemerintah memiliki implikasi jangka pendek. Pertama, ia lebih dimaksudkan untuk mengamankan realisasi APBN 2012, khususnya besaran alokasi anggaran untuk subsidi energi yang jumlahnya diperkirakan Rp 123,59 triliun.

Kedua, bukan yang pertama kali harga pasar internasional yang biasnya dipandang sebagai harga paling efisien telah mengakibatkan tekanan bagi perubahan terhadap penetapan harga BBM di pasar domistik. Sehingga, cukup jelas bahwa kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM tidak pernah dimaksudkan untuk mengubah secara subtansial gambaran struktural perekonomian nasional, tetapi lebih menekankan pada upaya mengamankan APBN.

Kebijakan Paradoks

Dalam kajian komunikologi, kebijakan (policy) merupakan sentrum komunikasi. Komunikasi dengan tingkat kualitas tinggi. Namun, dalam pola tersebut, sebagai bagian unsur komunikasi, misinterpretation, misunderstanding, dan sejenisnya merupakan realitas yang lumrah adanya. Kebijakan bisa efektif, diterima, atau sebaliknya tergantung dari sejauh mana alasan dan pemahaman komunikator (baca: pemerintah) tentang suatu hal dan bagaimana seorang komunikator mampu menyampaikan itu semua secara tepat.

Pada tahap ini, ada determinasi kebijakan yang cenderung pincang. Banarkah alasan kenaikan BBM tepat dinegasikan dengan harga minyak dunia atau serapan aspirasi dari masyarakat Indonesia? Tanggung jawab pemerintah adalah mendorong kesejahteraan, mengurangi angka kemiskinan, dan pengangguran. Jika problem ini dibiarkan bertubitubi, secara langsung maupun tidak, negara telah melakukan hegemoni atas negaranya sendiri. Pemerintah tidak bisa menjadi aparatus paling depan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Menurut hemat penulis, titik pusat dari kebijakan tersebut bertumpu pada kepentingan sepihak. Dalam teknik kebijakan, tindakan pemerintah bisa dianalisis dengan teori glittering generality. Teori ini menegaskan tentang penggunaan gagasan yang baik dan dipakai untuk membuat sesuatu dapat diterima dan menyetujui sesuatu itu tanpa memeriksa bukti-bukti. Lagi-lagi pemerintah selalu terkesan tergesa-gesa.

Pemerintah mencoba mendorong alasan kenaikan minyak berdasarkan kebutuhan, tetapi justru kuat adanya indikasi bahwa pemerintah bertekad mengamankan APBN dan mengabaikan aspirasi rakyat. Pemerintah tidak pernah mencoba mengakomodasi kepentingan mereka secara utuh. Memang ada alasan lain yang sengaja dimainkan oleh pemerintah di tengah-tengah kenaikan harga BBM seperti bantuan langsung sementara (BLSM). Tetapi, lagi-lagi bantuan tersebut akan mendorong terus laju korupsi di tingkat pusat hingga daerah. Bahkan, diskriminasi pengalokasian dan tidak tepat sasaran juga menjadi ancaman yang berbahaya.

Pandangan semacam ini mencoba menegaskan bahwa pemerintah telah melakukan keputusan dan kebijkan yang kurang tepat. Di tengah ancaman krisis multidimensi yang berkepanjangan, masih saja pemerintah melakukan keputusankeputusan yang tidak pro terhadap rakyat. Anehnya, meskipun mendapatkan kritik tajam dari pelbagi pihak, keputusan tersebut tetap dilakukan.

Kebijakan paradoks (policy) juga tampak dari sulitnya pemerintah mempertimbangkan kemungkinan alternatif yang lebih memeliki posisi tawar. Dalam teori card stacking sebagaimana perspektif McLuhan (1956), setiap kebijakan meliputi pemanfaatan fakta bahkan juga kebohong, yang dikemas dengan pernyataan logis atau tidak logis untuk memberikan kasus terbaik atau terburuk pada sebuah gagasan, program, atau kepentingan.

Secara sederhana, teori ini memilih argumen atau bukti yang mendukung sebuah posisi dan mengabaikan hal lain yang tidak mendukung posisi tersebut.
Kebijakan pemerintah selama ini menegaskan satu segmentasi yang absolut.
Kebijakan itu lahir tanpa penyerapan aspirasi dan pencarian solusi alternatif sehingga yang tampak kemudian bukan lagi sikap kebangsaan, tetapi nepotisme. Sehingga, kenaikan BBM merupakan pengingkaran besar-besaran terhidap cita-cita keadilan dan kesejahteraan bangsa yang menjadi cita-cita bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar