Minggu, 18 Maret 2012

Tuhan Tidak Menghukum Jepang


Tuhan Tidak Menghukum Jepang
Tom Saptaatmaja, ALUMNUS SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
DAN SEKOLAH TINGGI FILSAFAT WIDYA SASANA MALANG
SUMBER : SINAR HARAPAN, 17 Maret 2012



Tak terasa telah genap setahun gempa bumi berkekuatan 8,9 skala Richter yang disusul tsunami telah meluluh-lantakkan Perfektur Miyabi, Jepang.Diperkirakan sekitar 20.000 orang meninggal dan hilang, tak terhitung yang luka-luka dan sebagian infrastruktur seperti jalan, jembatan, dan pelabuhan yang ikut hancur. Peristiwa amat memilukan itu terjadi pada Jumat, 11 Maret 2011.

Tsunami, yang tidak pernah diperhitungkan akan terjadi, juga merusak reaktor nuklir (PLTN) Fukushima sehingga meledak pada hari Senin (14/3/2011), yang menyebabkan 210.000 jiwa dievakuasi. Semakin lengkaplah penderitaan warga Jepang.

Amat menyentuh hati, bencana tsunami di Jepang mengundang solidaritas masyarakat dunia. Rasa kemanusiaan ternyata masih ada di tengah kompetisi antarnegara yang kian sengit, khususnya di sektor perdagangan. Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, mengirim sukarelawan atau memberi bantuan logistik.

Namun di sisi lain, tsunami di Jepang juga mengundang beragam komentar. Salah satu komentar yang amat menonjol dan disuarakan cukup banyak orang, khususnya di negeri kita, yaitu bahwa tsunami itu merupakan hukuman Tuhan atas Jepang.

Kiamat

Malah yang lebih menarik, selain penilaian Tuhan menghukum Jepang, ada cukup banyak orang yang yakin tsunami di Jepang sekaligus merupakan indikasi penting bakal terjadinya kiamat pada 2012.

Didukung kian maraknya film bernada apokalipsme (hari akhir), seperti 2012, The Road, Armageddon, The Day After Tomorrow, Legion, Avatar, dan The Book of Eli, keyakinan bahwa dunia tengah menuju kiamat seolah kian menemukan pembenarannya.

Bahkan, dengan nada agak arogan, orang-orang yang punya penilaian dunia sebentar lagi kiamat menilai Jepang memang layak dihukum karena mayoritas warganya tidak menyembah Tuhan, suka seks bebas seperti bintang porno Jepang Miyabi, dan menganut Shintoisme atau agama Shinto. Padahal di negeri ini, apa dan bagaimana agama Shinto masih sedikit sekali diketahui.

Sekadar informasi, Shinto adalah kata majemuk dari “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”. Jadi “Shinto” mempunyai arti “jalan roh”. Kata “To” berdekatan dengan kata “Tao” dalam taoisme yang berarti “jalan dewa”.

Kemungkinan shintoisme dipengaruhi agama Tao dan Buddha yang masuk ke Jepang lewat China. Agama Shinto merupakan perpaduan animisme dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Semua benda, baik yang hidup maupun yang mati, dianggap memiliki roh.

Di samping memercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, penganut Shinto juga memercayai adanya kekuatan gaib yang destruktif, yakni roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami.

Bagi penganut Shinto yang terbagi dalam puluhan sekte, tsunami selalu dipahami sebagai ulah Aragami. Boleh jadi Aragami marah karena ada perbuatan manusia atau ritual yang tidak dipenuhi.

Terlalu Dangkal

Dalam agama Kristen juga ada keyakinan seperti itu. Bencana alam yang menimbulkan kerusakan hebat seperti tsunami di Jepang selalu merupakan buah dari kejahatan yang dilakukan setan.

Samuele Bacchiocchi, PhD, pensiunan Profesor Teologi dan Sejarah Gereja dari Andrews University, secara tegas mengungkapkan, tidak mungkin Tuhan menghendaki kehancuran sekian banyak orang dalam sekejap mata. Yang bisa melakukan kengerian luar biasa seperti itu hanyalah setan atau kuasa kejahatan. Jadi pandangan Tuhan tega melakukan hukuman harus ditolak.

Meski kita bebas berkomentar atau memberi penilaian terhadap tsunami di Jepang, tetapi jika direnungkan lebih dalam, penilaian atau asumsi Tuhan menghukum Jepang lewat tsunami sebenarnya sangat dangkal. Terlalu menyederhanakan persoalan. Ini merupakan salah satu tafsir agama yang sangat banal.

Seolah orang yang punya anggapan ini sudah diangkat sebagai juru bicara Tuhan sendiri, sehingga seolah tahu dengan tepat dan pasti bahwa Tuhan menghukum Jepang dengan mendatangkan tsunami. Terkesan pula ada arogansi spiritual, seolah orang yang berkomentar atau beraganggapan demikian hidupnya lebih baik daripada para korban tsunami.

Yang Lebih Urgen

Soal apakah Tuhan memang benar-benar menghukum Jepang lewat tsunami mungkin lebih baik diserahkan pada Tuhan sendiri. Yang lebih mendesak bagi kita di Indonesia adalah belajar bagaimana memahami tsunami dengan segala karakter dan dampaknya.
Jika kita terus memandang segala persoalan hanya dari perspektif agama, bisa-bisa dari sisi ilmu pengetahuan kita makin ketinggalan. Apalagi, posisi geografi Jepang yang berada pada ring of fire (cincin api), sehingga rawan gempa dan tsunami. Demikian juga sebagian besar wilayan Indonesia, khususnya di pantai Barat Sumatera dan Jawa.

Sejak tsunami Aceh 2004, studi tentang tsunami memang mulai dilakukan secara lebih sistematis, khususnya di Jerman dan Jepang. Sayangnya dari 237 juta penduduk Indonesia, kita baru memiliki beberapa gelintir ahli tsunami.

Jangan lupa, beriman kepada Tuhan juga perlu disertai bernalar secara ilmiah. Bernalar secara ilmiah bukan berarti menyepelekan Tuhan. Dalam konteks inilah iptek, khususnya ilmu tentang tsunami, begitu urgen untuk kita pelajari secara lebih serius dan komprehensif.

Mungkin ada yang bertanya, apa perlunya belajar tsunami, kalau toh Jepang yang memiliki banyak ahli tsunami akhirnya juga diterjang tsunami? Bagaimanapun kita harus tetap mau belajar dari Jepang, khususnya dalam hal mitigasi atau langkah-langkah menghadapi tsunami.

Dalam analisis para pakar bencana, tsunami di Jepang setahun lalu sebenarnya bisa merenggut lebih banyak korban lagi. Namun antisipasi atau mitigasi yang dilakukan para ahli Jepang berperan besar dalam meminimalkan jumlah korban.

Memang setelah setahun tsunami, upaya pemulihan, khususnya berbagai infrastruktur, masih dinilai lamban dan masih banyak yang tinggal di kemah pengungsian.

Namun semangat ganbate atau pantang menyerah, membuat dampak tsunami Jepang bisa diminimalkan sehingga eskalasinya tidak meluas. Media Jepang juga berperan dalam menyebarkan kisah-kisah heroik setelah tsunami yang mampu memberi harapan bagi yang putus asa.

Kalimat pembangkit semangat terus disuarakan di koran, majalah, televisi, dan radio. Media terus berpesan, “Kita boleh kehilangan segalanya, tapi tidak boleh kehilangan semangat dan harapan. Hani-chan, ganbatte-ne (ayo berusaha yang terbaik), hani-chanmotto ganbare, berusahalah yang lebih keras lagi”.

Kita di Indonesia, dalam menyongsong hari-hari yang sulit, seperti kenaikan BBM awal April mendatang, jelas bisa belajar untuk tidak mudah menyerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar