Tuhan
Tidak Menghukum Jepang
Tom
Saptaatmaja, ALUMNUS SEMINARI ST VINCENT DE PAUL
DAN SEKOLAH TINGGI FILSAFAT
WIDYA SASANA MALANG
SUMBER : SINAR HARAPAN, 17 Maret 2012
Tak terasa telah genap setahun gempa bumi
berkekuatan 8,9 skala Richter yang disusul tsunami telah meluluh-lantakkan
Perfektur Miyabi, Jepang.Diperkirakan sekitar 20.000 orang meninggal
dan hilang, tak terhitung yang luka-luka dan sebagian infrastruktur seperti
jalan, jembatan, dan pelabuhan yang ikut hancur. Peristiwa amat memilukan itu
terjadi pada Jumat, 11 Maret 2011.
Tsunami, yang tidak pernah diperhitungkan
akan terjadi, juga merusak reaktor nuklir (PLTN) Fukushima sehingga meledak
pada hari Senin (14/3/2011), yang menyebabkan 210.000 jiwa dievakuasi. Semakin
lengkaplah penderitaan warga Jepang.
Amat menyentuh hati, bencana tsunami di
Jepang mengundang solidaritas masyarakat dunia. Rasa kemanusiaan ternyata masih
ada di tengah kompetisi antarnegara yang kian sengit, khususnya di sektor
perdagangan. Masyarakat dunia, termasuk Indonesia, mengirim sukarelawan atau
memberi bantuan logistik.
Namun di sisi lain, tsunami di Jepang juga
mengundang beragam komentar. Salah satu komentar yang amat menonjol dan
disuarakan cukup banyak orang, khususnya di negeri kita, yaitu bahwa tsunami
itu merupakan hukuman Tuhan atas Jepang.
Kiamat
Malah yang lebih menarik, selain penilaian
Tuhan menghukum Jepang, ada cukup banyak orang yang yakin tsunami di Jepang
sekaligus merupakan indikasi penting bakal terjadinya kiamat pada 2012.
Didukung kian maraknya film bernada
apokalipsme (hari akhir), seperti 2012, The Road, Armageddon, The Day After
Tomorrow, Legion, Avatar, dan The Book of Eli, keyakinan bahwa dunia
tengah menuju kiamat seolah kian menemukan pembenarannya.
Bahkan, dengan nada agak arogan, orang-orang
yang punya penilaian dunia sebentar lagi kiamat menilai Jepang memang layak
dihukum karena mayoritas warganya tidak menyembah Tuhan, suka seks bebas
seperti bintang porno Jepang Miyabi, dan menganut Shintoisme atau agama Shinto.
Padahal di negeri ini, apa dan bagaimana agama Shinto masih sedikit sekali
diketahui.
Sekadar informasi, Shinto adalah kata majemuk
dari “Shin” dan “To”. Arti kata “Shin” adalah “roh” dan “To” adalah “jalan”.
Jadi “Shinto” mempunyai arti “jalan roh”. Kata “To” berdekatan dengan kata
“Tao” dalam taoisme yang berarti “jalan dewa”.
Kemungkinan shintoisme dipengaruhi agama Tao
dan Buddha yang masuk ke Jepang lewat China. Agama Shinto merupakan perpaduan
animisme dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Semua benda, baik yang
hidup maupun yang mati, dianggap memiliki roh.
Di samping memercayai adanya dewa-dewa yang
memberi kesejahteraan hidup, penganut Shinto juga memercayai adanya kekuatan
gaib yang destruktif, yakni roh-roh jahat yang disebut dengan Aragami.
Bagi penganut Shinto yang terbagi dalam
puluhan sekte, tsunami selalu dipahami sebagai ulah Aragami. Boleh jadi Aragami
marah karena ada perbuatan manusia atau ritual yang tidak dipenuhi.
Terlalu Dangkal
Dalam agama Kristen juga ada keyakinan
seperti itu. Bencana alam yang menimbulkan kerusakan hebat seperti tsunami di
Jepang selalu merupakan buah dari kejahatan yang dilakukan setan.
Samuele Bacchiocchi, PhD, pensiunan Profesor
Teologi dan Sejarah Gereja dari Andrews University, secara tegas mengungkapkan,
tidak mungkin Tuhan menghendaki kehancuran sekian banyak orang dalam sekejap
mata. Yang bisa melakukan kengerian luar biasa seperti itu hanyalah setan atau
kuasa kejahatan. Jadi pandangan Tuhan tega melakukan hukuman harus ditolak.
Meski kita bebas berkomentar atau memberi
penilaian terhadap tsunami di Jepang, tetapi jika direnungkan lebih dalam,
penilaian atau asumsi Tuhan menghukum Jepang lewat tsunami sebenarnya sangat
dangkal. Terlalu menyederhanakan persoalan. Ini merupakan salah satu tafsir
agama yang sangat banal.
Seolah orang yang punya anggapan ini sudah
diangkat sebagai juru bicara Tuhan sendiri, sehingga seolah tahu dengan tepat
dan pasti bahwa Tuhan menghukum Jepang dengan mendatangkan tsunami. Terkesan
pula ada arogansi spiritual, seolah orang yang berkomentar atau beraganggapan
demikian hidupnya lebih baik daripada para korban tsunami.
Yang Lebih Urgen
Soal apakah Tuhan memang benar-benar
menghukum Jepang lewat tsunami mungkin lebih baik diserahkan pada Tuhan
sendiri. Yang lebih mendesak bagi kita di Indonesia adalah belajar bagaimana
memahami tsunami dengan segala karakter dan dampaknya.
Jika kita terus memandang segala persoalan
hanya dari perspektif agama, bisa-bisa dari sisi ilmu pengetahuan kita makin
ketinggalan. Apalagi, posisi geografi Jepang yang berada pada ring of fire (cincin
api), sehingga rawan gempa dan tsunami. Demikian juga sebagian besar wilayan
Indonesia, khususnya di pantai Barat Sumatera dan Jawa.
Sejak tsunami Aceh 2004, studi tentang
tsunami memang mulai dilakukan secara lebih sistematis, khususnya di Jerman dan
Jepang. Sayangnya dari 237 juta penduduk Indonesia, kita baru memiliki beberapa
gelintir ahli tsunami.
Jangan lupa, beriman kepada Tuhan juga perlu
disertai bernalar secara ilmiah. Bernalar secara ilmiah bukan berarti
menyepelekan Tuhan. Dalam konteks inilah iptek, khususnya ilmu tentang tsunami,
begitu urgen untuk kita pelajari secara lebih serius dan komprehensif.
Mungkin ada yang bertanya, apa perlunya
belajar tsunami, kalau toh Jepang yang memiliki banyak ahli tsunami
akhirnya juga diterjang tsunami? Bagaimanapun kita harus tetap mau belajar dari
Jepang, khususnya dalam hal mitigasi atau langkah-langkah menghadapi tsunami.
Dalam analisis para pakar bencana, tsunami di
Jepang setahun lalu sebenarnya bisa merenggut lebih banyak korban lagi. Namun
antisipasi atau mitigasi yang dilakukan para ahli Jepang berperan besar dalam
meminimalkan jumlah korban.
Memang setelah setahun tsunami, upaya
pemulihan, khususnya berbagai infrastruktur, masih dinilai lamban dan masih
banyak yang tinggal di kemah pengungsian.
Namun semangat ganbate atau pantang
menyerah, membuat dampak tsunami Jepang bisa diminimalkan sehingga eskalasinya
tidak meluas. Media Jepang juga berperan dalam menyebarkan kisah-kisah heroik
setelah tsunami yang mampu memberi harapan bagi yang putus asa.
Kalimat pembangkit semangat terus disuarakan
di koran, majalah, televisi, dan radio. Media terus berpesan, “Kita boleh
kehilangan segalanya, tapi tidak boleh kehilangan semangat dan harapan. Hani-chan,
ganbatte-ne (ayo berusaha yang terbaik), hani-chan… motto ganbare,
berusahalah yang lebih keras lagi”.
Kita di Indonesia, dalam menyongsong
hari-hari yang sulit, seperti kenaikan BBM awal April mendatang, jelas bisa
belajar untuk tidak mudah menyerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar