Do No Harm dan
Kebebasan
Jennie
S. Bev, PENULIS,
PENGAJAR, DAN PENGUSAHA YANG BERMUKIM DI CALIFORNIA
SUMBER : JARINGNEWS.COM, 17 Maret 2012
“Standar-standar ganda yang diciptakan oleh
dogma-dogma kadaluwarsa sudah saatnya direvisi.”
CALIFORNIA, Jaringnews.com - Ujian dari suatu konsep, teori atau filosofi adalah waktu dan fungsi. Mudah untuk berkata-kata, namun waktu yang akan membuktikan kesahihan suatu kata-kata. Mudah untuk menyatakan bahwa sesuatu berfungsi, namun ketika lebih banyak unsur mencelakakan, mencederai, mengganggu kelancaran, dan menambah beban negatif, maka fungsi yang diharapkan hanyalah suatu ide yang dituju, bukan fakta.
Demikian pula halnya dengan konsep moralitas yang berdasarkan standar-standar tertentu, termasuk dari dogma-dogma religi dan hukum-hukum normatif. John Stuart Mill, filsuf dari Inggris Raya yang sangat berpengaruh di abad ke-19, dikenal dengan filsafat utilitarianisme-nya, yang bisa diterapkan dalam hampir segala segi kehidupan, termasuk sosial, politik, ekonomi, dan hubungan-hubungan interpersonal dan intrapersonal. Intinya adalah 'do no harm to others'. Apabila seseorang melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang dianggap 'menyimpang' dari norma-norma umum dan dogma-dogma, anggota masyarakat lainnya tidak berhak untuk menghukum secara yuridis maupun sosial sepanjang ia tidak merugikan anggota masyarakat lainnya.
Dalam ilmu psikologi, seseorang dianggap 'abnormal' apabila memenuhi kriteria 4D, yaitu deviance (penyimpangan), distress (gangguan), dysfunction (ketidakmampuan berfungsi), dan danger (bahaya). Walaupun seorang psikoterapis mendiagnosa seseorang mempunyai 'abnormalitas', ini bukanlah lampu hijau untuk memvonis 'kelemahan-kelemahan' seseorang. Dalam keilmuan yang bebas nilai, 'abnormalitas' hanya merupakan justifikasi untuk melakukan terapi dengan persetujuan yang bersangkutan. Dan, 'abnormalitas' bisa ditemui di setiap orang tanpa kecuali, namun dalam kadar yang berbeda.
Ini sejalan dengan ide Mill, dimana 'penyimpangan' perilaku seseorang sepanjang tidak bersinggungan langsung dengan orang lain secara 'mencelakakan', maka anggota masyarakat tidak berhak untuk menghukum, menghakimi, maupun mengucilkannya. Sebagai contoh, Mill tidak menganggap perbuatan bunuh diri adalah suatu perbuatan yang mengganggu dan patut dicela, karena ini tidak mencelakakan orang lain, hanya terhadap diri sendiri.
Dalam pengalaman-pengalaman pribadi saya di mancanegara, masyarakat di negara-negara barat cenderung lebih mengutamakan utilitarianisme dan liberalisme ala Mill daripada keyakinan buta akan dogma-dogma. Namun tentu saja kadar kecenderungan ini berbeda-beda intensitasnya tergantung berbagai faktor, seperti fundamental religiositas dan tingkat intelektualitas. Di kalangan Kristen fundamentalis, misalnya, dogma sangat diperhatikan dan 'kebebasan' terbatasi oleh yang diberlakukan.
Standar-standar ganda yang diciptakan oleh dogma-dogma kadaluwarsa sudah saatnya direvisi. Karena pada dasarnya setiap dogma bersumber dari pikiran, dan hanya dengan pikiran yang sudah diselaraskan dengan kemajuan zamanlah yang patut untuk dijadikan standar. Beberapa prinsip yang tidak terbantahkan patut dijadikan points of reference: waktu berjalan maju bukan mundur, setiap perbuatan lokal mempunyai dampak internasional dan sebaliknya, dan manfaat (utility) bagi orang banyak baik dengan memberikan kegunaan langsung maupun tanpa mencelakakan (do no harm) terhadap orang lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar