Tragisme
Masuk PTN Jalur Undangan
Tasroh, DOSEN
DI BEBERAPA PTS DI PURWOKERTO,
ALUMNUS RITSUMEIKAN ASIA PACIFIC UNIVERSITY,
JEPANG
SUMBER : SINAR HARAPAN, 14 Maret 2012
Kesepakatan forum rektor se-Indonesia dengan
pihak pemerintah-Kementerian Pendidikan Nasional- Dikti akhirnya memutuskan
bahwa mulai 2013 nanti, seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) akan
didominasi oleh model seleksi jalur undangan; yaitu seleksi tanpa ujian tulis
seperti halnya SNMPTN yang telah berpuluh tahun dijadikan model seleksi paling
objektif-paling demokratis.
Keputusan forum rektor dan pemerintah itu
amat tragis karena seperti laporan banyak pihak, bahkan laporan panitia
penyelenggara ujian masuk PTN lewat jalur undangan tahun 2012, diketahui
terdapat 832 sekolah seluruh Indonesia yang terbukti tak jujur, membohongi
panitia seleksi dengan mengirimkan data prestasi siswa yang diundang secara
“bodong”.
Sekolah-sekolah yang tidak jujur itu ternyata
bukan sekolah “ecek-ecek” karena diketahui sekolah tersebut banyak yang dikenal
prestisius alias favorit di daerahnya. Sekolah-sekolah tersebut kini sedang
diproses untuk menerima sanksi hukum berupa black list dari daftar
sekolah yang akan diundang untuk mengikuti seleksi masuk PTN (Kompas,
8/3/2012).
Fakta ini sebenarnya bukanlah pemandangan
baru. Sekolah-sekolah di Indonesia pascakebijakan otonomi pendidikan sejak
1990-an, sudah beralih kiblat dari kiblat non-profitable motif kepada material-economic
motif.
Untuk dan atas penumpukan modal dan
kapitalisme, sekolah-sekolah sudah bertindak bohong, tidak jujur dalam
menampilkan kinerja pendidikan kelembagaannya yang tercermin dari tradisi tidak
jujur dalam mengevaluasi dan menilai anak didiknya di sekolahnya.
Mengapa mereka tak jujur? Tradisi kapitalisme
sempit yang sedang menggerogoti ideologi pendidikan di Tanah Air itu bukan
tanpa alasan.
Darmaningytas, pakar pendidikan dari Surabaya
(2012) menyebutkan bahwa sekolah melakukan kebohongan karena kepentingan bisnis
sekolah itu sendiri di mana manajemen sekolah telah menarik aneka pungutan
(baik resmi atau ilegal) kepada siswa/orang tua siswa tanpa kenal ruang dan
waktu dengan aneka motif dan modus.
Untuk dan atas nama pengurangan subsidi
(entah apa yang dimaksud ini—red), banyak sekolah tetap bermain
kucing-kucingan untuk tetap menarik pungutan, meskipun dilarang keras oleh
pemerintah.
Sebagai “balas jasa” atas loyalitas
siswa/orang tua siswa mau mengikuti aneka pungutan yang melanggar aturan
itulah, manajemen sekolah merasa “wajib” membuat cerita dan narasi tentang
prestasi anak didik dengan lebih “megah”, melampaui fakta sesungguhnya.
Salah satunya dengan menyajikan nilai rapor
dan nilai ulangan yang “mengkilap” agar dicitrakan guru dan sekolahnya “maju”
dan “berprestasi”. Sandiwara baru ini bukan sekadar untuk membangun “citra”
hebat sekolah dan para gurunya, tetapi juga menolong siswa di masa depan.
Tragisnya, kebiasaan baru sekolah ini tak
pernah dibaca oleh para pengambil kebijakan ujian masuk PTN, terbukti
pemerintah dan forum rektor se-Indonesia justru melegalkan ujian masuk PTN
lewat jalur undangan tanpa ujian tulis nasional yang serentak seperti masa
sebelumnya. Jadi, sempurnalah kebohongan sistemik itu akan secara resmi
diakui negara sebagai basis seleksi kader pemimpin bangsa. Inilah tragisme itu
berawal!
Uji Coba Dulu
Entah apa yang ada dalam “otak” para
pengambil kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, ketika akhirnya mengambil
“jalan pintas” untuk memenuhi hajatan seleksi nasional masuk PTN. Padahal,
biasanya, sebuah kebijakan nasional, semestinya melalui tahapan ketat “uji
coba” dahulu sebelum benar-benar diterapkan secara nasional.
Uji coba sebuah kebijakan, menurut pakar
kebijakan publik, J Bloomfield dalam Trial-Error Public Policy (2010),
bertujuan visioner yaitu (1) menguji nilai kebenaran sosial-budaya dan akademik
suatu kebijakan, (2) membandingkan output di antara kebijakan sebelumnya
(benchmarking), (3) mencegah terjadinya error berlebihan yang
akan berdampak sistemik, dan (4) media feedback untuk perbaikan
kebijakan berikutnya.
Tragisme ujian masuk PTN lewat jalur
non-ujian tulis dengan undangan belaka baru muncul akhir-akhir ini dan tak ada
yang pernah memperdebatkan sebelumnya apalagi melalui “uji publik”.
Tak ada angin-tak ada hujan, para pengambil
kebijakan pendidikan nasional-tinggi seperti sedang mabuk langsung akan
menerapkan model seleksi nasional tanpa ujian tulis, hanya menjadikan nilai
rapor dan prestasi anak di sekolah sebagai keputusan akhir.
Padahal, sudah jamak diketahui, kejujuran
sekolah kini sedang berada pada titik kronis mengikuti sirnanya kejujuran dalam
adab dan budaya pendidikan di Tanah Air secara keseluruhan.
Model masa depan SDM seperti apa yang hendak
dibangun kampus jika jalur undangan justru yang dijadikan standar nasional? Ini
menandakan bahwa kampus mulai tercemar dengan paham pragmatisme sempit di mana
tak mau repot-repot bekerja keras menyeleksi calon pemimpin bangsa lewat jalur
yang lebih cerdas ujian tulis nasional.
Padahal, publik sudah amat meyakini bahwa
ujian tulis nasional (semacam SNMPT) yang selama ini dijadikan standar utama
masuk PTN telah teruji sebagai model masuk PTN yang terstandar. Hal ini bisa
terlihat dari nilai-nilai transparansi, kejujuran, keadilan dan demokrasi yang
amat klop dengan pembangunan pendidikan modern di masa depan.
Jalur ujian tulis nasional selama ini juga
terbukti “cerdas” memetakan dan memilah calon pemimpin masa depan bangsa dari
kampus serta objektif mendedah kemampuan calon mahasiswa lewat kompetisi
berskala masif.
Pemerintah semestinya “cerdas” membaca
tanda-tanda zaman ke depan, di mana kompetisi intelektual-oral akan menentukan
masa depan generasi bangsa ini.
Semestinya justru masuk PTN kian diperketat
dan melalui jalur highest competition, bukan malah hanya karena alasan
‘mensinergikan’ pendidikan menengah dan tinggi dalam satu wadah jalur undangan.
Padahal, seiring dengan tingginya kompetisi
antarlulusan kampus di level global, apalagi terkait dengan kebijakan
Kemenakertrans bahwa ke depan pemimpin perusahaan global di Indonesia harus
merekrut SDM lokal-nasional Indonesia maka meninggalkan model seleksi nasional
ujian tulis jelas sebuah tragisme gaya baru yang harus ditolak!
Bagaimana mau
memotret potensi dan prestasi calon mahasiswa dari sekolah, jika sistem
pendidikan menengah sedang sakit kronis gemar “ngibul”.
Karena itulah, hemat penulis, jalur tanpa
ujian tulis, jalur undangan justru harus diuji coba secara masif dalam beberapa
periode dahulu sehingga tidak memberikan pemahaman keliru terhadap masa depan
siswa/sekolah itu sendiri.
Artinya, kampus dan pemerintah tetap harus
memberikan pilihan lain terhadap berbagai model seleksi yang selama ini
berkembang di kampus dan tak membiarkan satu kebijakan mutlak harus seragam
dijalankan secara nasional. Jangan sampai hanya karena sekolah kilap dan
mentereng, otomatis mutu pembelajaran terbaik atau sebaliknya, sekolah kumuh
luput dari seleksi.
Untuk mencegah tragisme berlanjut itu,
pemerintah dan kampus juga harus lebih cerdas membentuk tim terintegrasi lintas
sekolah-kampus untuk menguji level kejujuran data yang dimiliki sekolah.
Tanpa uji kejujuran sekolah demikian, akan
banyak korban siswa yang terjadi sekaligus stigma-stigma buruk tentang sekolah
yang terus dibiarkan. Ini artinya tragisme sistem baru jalur undangan justru
kian memperburuk sistem pendidikan nasional yang kian babak belur ini. Kasihan
calon mahasiswa kita! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar