Kamis, 15 Maret 2012

Tragisme Masuk PTN Jalur Undangan


Tragisme Masuk PTN Jalur Undangan
Tasroh, DOSEN DI BEBERAPA PTS DI PURWOKERTO,
ALUMNUS RITSUMEIKAN ASIA PACIFIC UNIVERSITY, JEPANG   
SUMBER : SINAR HARAPAN, 14 Maret 2012



Kesepakatan forum rektor se-Indonesia dengan pihak pemerintah-Kementerian Pendidikan Nasional- Dikti akhirnya memutuskan bahwa mulai 2013 nanti, seleksi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) akan didominasi oleh model seleksi jalur undangan; yaitu seleksi tanpa ujian tulis seperti halnya SNMPTN yang telah berpuluh tahun dijadikan model seleksi paling objektif-paling demokratis.

Keputusan forum rektor dan pemerintah itu amat tragis karena seperti laporan banyak pihak, bahkan laporan panitia penyelenggara ujian masuk PTN lewat jalur undangan tahun 2012, diketahui terdapat 832 sekolah seluruh Indonesia yang terbukti tak jujur, membohongi panitia seleksi dengan mengirimkan data prestasi siswa yang diundang secara “bodong”.

Sekolah-sekolah yang tidak jujur itu ternyata bukan sekolah “ecek-ecek” karena diketahui sekolah tersebut banyak yang dikenal prestisius alias favorit di daerahnya. Sekolah-sekolah tersebut kini sedang diproses untuk menerima sanksi hukum berupa black list dari daftar sekolah yang akan diundang untuk mengikuti seleksi masuk PTN (Kompas, 8/3/2012).

Fakta ini sebenarnya bukanlah pemandangan baru. Sekolah-sekolah di Indonesia pascakebijakan otonomi pendidikan sejak 1990-an, sudah beralih kiblat dari kiblat non-profitable motif kepada material-economic motif.

Untuk dan atas penumpukan modal dan kapitalisme, sekolah-sekolah sudah bertindak bohong, tidak jujur dalam menampilkan kinerja pendidikan kelembagaannya yang tercermin dari tradisi tidak jujur dalam mengevaluasi dan menilai anak didiknya di sekolahnya.

Mengapa mereka tak jujur? Tradisi kapitalisme sempit yang sedang menggerogoti ideologi pendidikan di Tanah Air itu bukan tanpa alasan.

Darmaningytas, pakar pendidikan dari Surabaya (2012) menyebutkan bahwa sekolah melakukan kebohongan karena kepentingan bisnis sekolah itu sendiri di mana manajemen sekolah telah menarik aneka pungutan (baik resmi atau ilegal) kepada siswa/orang tua siswa tanpa kenal ruang dan waktu dengan aneka motif dan modus.

Untuk dan atas nama pengurangan subsidi (entah apa yang dimaksud ini—red), banyak sekolah tetap bermain kucing-kucingan untuk tetap menarik pungutan, meskipun dilarang keras oleh pemerintah.

Sebagai “balas jasa” atas loyalitas siswa/orang tua siswa mau mengikuti aneka pungutan yang melanggar aturan itulah, manajemen sekolah merasa “wajib” membuat cerita dan narasi tentang prestasi anak didik dengan lebih “megah”, melampaui fakta sesungguhnya.
Salah satunya dengan menyajikan nilai rapor dan nilai ulangan yang “mengkilap” agar dicitrakan guru dan sekolahnya “maju” dan “berprestasi”. Sandiwara baru ini bukan sekadar untuk membangun “citra” hebat sekolah dan para gurunya, tetapi juga menolong siswa di masa depan.

Tragisnya, kebiasaan baru sekolah ini tak pernah dibaca oleh para pengambil kebijakan ujian masuk PTN, terbukti pemerintah dan forum rektor se-Indonesia justru melegalkan ujian masuk PTN lewat jalur undangan tanpa ujian tulis nasional yang serentak seperti masa sebelumnya. Jadi, sempurnalah kebohongan sistemik itu akan secara resmi diakui negara sebagai basis seleksi kader pemimpin bangsa. Inilah tragisme itu berawal!

Uji Coba Dulu

Entah apa yang ada dalam “otak” para pengambil kebijakan pendidikan tinggi di Indonesia, ketika akhirnya mengambil “jalan pintas” untuk memenuhi hajatan seleksi nasional masuk PTN. Padahal, biasanya, sebuah kebijakan nasional, semestinya melalui tahapan ketat “uji coba” dahulu sebelum benar-benar diterapkan secara nasional.

Uji coba sebuah kebijakan, menurut pakar kebijakan publik, J Bloomfield dalam Trial-Error Public Policy (2010), bertujuan visioner yaitu (1) menguji nilai kebenaran sosial-budaya dan akademik suatu kebijakan, (2) membandingkan output di antara kebijakan sebelumnya (benchmarking), (3) mencegah terjadinya error berlebihan yang akan berdampak sistemik, dan (4) media feedback untuk perbaikan kebijakan berikutnya.

Tragisme ujian masuk PTN lewat jalur non-ujian tulis dengan undangan belaka baru muncul akhir-akhir ini dan tak ada yang pernah memperdebatkan sebelumnya apalagi melalui “uji publik”.

Tak ada angin-tak ada hujan, para pengambil kebijakan pendidikan nasional-tinggi seperti sedang mabuk langsung akan menerapkan model seleksi nasional tanpa ujian tulis, hanya menjadikan nilai rapor dan prestasi anak di sekolah sebagai keputusan akhir.

Padahal, sudah jamak diketahui, kejujuran sekolah kini sedang berada pada titik kronis mengikuti sirnanya kejujuran dalam adab dan budaya pendidikan di Tanah Air secara keseluruhan.

Model masa depan SDM seperti apa yang hendak dibangun kampus jika jalur undangan justru yang dijadikan standar nasional? Ini menandakan bahwa kampus mulai tercemar dengan paham pragmatisme sempit di mana tak mau repot-repot bekerja keras menyeleksi calon pemimpin bangsa lewat jalur yang lebih cerdas ujian tulis nasional.

Padahal, publik sudah amat meyakini bahwa ujian tulis nasional (semacam SNMPT) yang selama ini dijadikan standar utama masuk PTN telah teruji sebagai model masuk PTN yang terstandar. Hal ini bisa terlihat dari nilai-nilai transparansi, kejujuran, keadilan dan demokrasi yang amat klop dengan pembangunan pendidikan modern di masa depan.

Jalur ujian tulis nasional selama ini juga terbukti “cerdas” memetakan dan memilah calon pemimpin masa depan bangsa dari kampus serta objektif mendedah kemampuan calon mahasiswa lewat kompetisi berskala masif.

Pemerintah semestinya “cerdas” membaca tanda-tanda zaman ke depan, di mana kompetisi intelektual-oral akan menentukan masa depan generasi bangsa ini.

Semestinya justru masuk PTN kian diperketat dan melalui jalur highest competition, bukan malah hanya karena alasan ‘mensinergikan’ pendidikan menengah dan tinggi dalam satu wadah jalur undangan.

Padahal, seiring dengan tingginya kompetisi antarlulusan kampus di level global, apalagi terkait dengan kebijakan Kemenakertrans bahwa ke depan pemimpin perusahaan global di Indonesia harus merekrut SDM lokal-nasional Indonesia maka meninggalkan model seleksi nasional ujian tulis jelas sebuah tragisme gaya baru yang harus ditolak! 

Bagaimana mau memotret potensi dan prestasi calon mahasiswa dari sekolah, jika sistem pendidikan menengah sedang sakit kronis gemar “ngibul”.

Karena itulah, hemat penulis, jalur tanpa ujian tulis, jalur undangan justru harus diuji coba secara masif dalam beberapa periode dahulu sehingga tidak memberikan pemahaman keliru terhadap masa depan siswa/sekolah itu sendiri.

Artinya, kampus dan pemerintah tetap harus memberikan pilihan lain terhadap berbagai model seleksi yang selama ini berkembang di kampus dan tak membiarkan satu kebijakan mutlak harus seragam dijalankan secara nasional. Jangan sampai hanya karena sekolah kilap dan mentereng, otomatis mutu pembelajaran terbaik atau sebaliknya, sekolah kumuh luput dari seleksi.

Untuk mencegah tragisme berlanjut itu, pemerintah dan kampus juga harus lebih cerdas membentuk tim terintegrasi lintas sekolah-kampus untuk menguji level kejujuran data yang dimiliki sekolah.

Tanpa uji kejujuran sekolah demikian, akan banyak korban siswa yang terjadi sekaligus stigma-stigma buruk tentang sekolah yang terus dibiarkan. Ini artinya tragisme sistem baru jalur undangan justru kian memperburuk sistem pendidikan nasional yang kian babak belur ini. Kasihan calon mahasiswa kita! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar