Sabtu, 24 Maret 2012

Tragedi Sumpah


Tragedi Sumpah
  Indra Tranggono, Pemerhati Kebudayaan
SUMBER : KOMPAS, 24 Maret 2012



Geram dikaitkan dengan kasus dugaan korupsi kompleks olahraga Hambalang, Anas Urbaningrum berani bersumpah ”siap digantung di Monas jika dirinya terbukti menerima serupiah pun”. M Nazaruddin, sang pendakwa Anas, balik menantang Ketua Umum Partai Demokrat itu untuk sumpah pocong.

Publik tak tahu siapa berkata benar dan siapa berbohong di balik perseteruan antara Nazaruddin dan Anas. Publik pun tidak tahu apakah mereka yang semula karib di Partai Demokrat itu sedang memperjuangkan kebenaran atau pembenaran.
Maka, ketika dua politikus muda itu bersikukuh untuk bersumpah, publik hanya bisa menebak-nebak jawabannya. Mungkin, dua orang itu benar-benar sedang mempertaruhkan eksistensi dan integritas mereka atau sedang membela diri di depan khalayak. Bukankah sumpah merupakan jalan etik/moral yang berdimensi spiritual-sosial dan mengandung risiko kutukan bagi pelanggarnya?

Ada bermacam-macam sumpah. Misalnya, sumpah kesetiaan, yang dilakukan untuk meneguhkan komitmen nilai seseorang atas peran dan aktualisasinya. Di dalam sumpah ini terkandung cita-cita dan perjuangan besar untuk menciptakan perubahan menuju pencapaian nilai yang tinggi, baik secara personal maupun sosial. Sumpah Palapa oleh Patih Gadjah Mada (1336) dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan contoh sumpah kesetiaan sosial yang inspiratif, melegenda, dan menyejarah.

Ada juga sumpah peneguhan kebenaran, kejujuran, dan keadilan. Ini dilakukan ketika terjadi perselisihan antarindividu atau antarkelompok dalam suatu perkara yang membutuhkan keputusan adil soal salah dan benar. Baik peradilan modern maupun peradilan tradisi-adat sama-sama mengorientasikan sumpah semacam itu pada nilai-nilai ketuhanan/transendental.

Masih ada sumpah retoris. Ini biasa terjadi dalam kehidupan riil masyarakat saat kata ”sumpah” sering diucapkan untuk meyakinkan kebenaran tindakan seseorang di tengah komunitasnya. Tujuannya tak lain untuk mendapatkan kepercayaan atau legitimasi moral.

Masyarakat Hipokrit

Gudang sejarah bangsa ini telah penuh sesak berisi ”rongsokan” sumpah yang terbukti palsu. Ini menunjukkan masyarakat kita cenderung hipokrit. Nilai-nilai kemuliaan hanya menjelma menjadi kata atau wacana, sedangkan tindakan yang dilakukan justru menabrak nilai-nilai yang terucap. Hiprokrisi menjadi topeng atas tindakan permisif karena masyarakat cenderung ingin mendapatkan semuanya tanpa memedulikan etik-moral.

Masyarakat kita terpompa untuk mencapai kamukten (kejayaan material dan kehormatan sosial), tetapi melalui jalan gelap. Maka, hasil yang dicapai bisa sangat absurd: kejayaan berlumur kehinaan. Masyarakat lupa bahwa moralitas berorientasi pada kebenaran. Hukum yang berlaku adalah hitam-putih. Namun, masyarakat cenderung meletakkan kebenaran dalam zona abu-abu, tempat rasionalisasi berkecambah dan berkilah.

Dalam masyarakat kita yang hipokrit ini ada satire yang menarik untuk direnungkan, yakni setelah Sumpah Palapa Maha Patih Gadjah Mada dan Sumpah Pemuda tidak ada lagi sumpah sejati. Sumpah-sumpah lain yang bersifat sosiologis-politis tak lebih daripada retorika kepalsuan.

Mau bukti? Lihat tragedi sumpah jabatan publik berbagai level. Para pejabat yang sebelumnya bersumpah untuk mengabdi bangsa-negara itu banyak yang justru menikam lambung Ibu Pertiwi dengan belati-belati korupsi, baik korupsi material maupun korupsi konstitusional.

Begitu pula sumpah para pemimpin lembaga tinggi negara yang nyaris tak bergema dalam tindakan. Narasi-narasi sakral sumpah telah diubah oleh para pelaku menjadi akar-akar parasit yang mengisap pohon besar bangsa-negara. Akibatnya, negara-bangsa kurus kering dan meranggas, tetapi tumbuhan parasitnya subur dan gemuk.

Pengkhianatan

Para penyelenggara negara bermental parasit tidak menumbuhkan negara-bangsa ini menjadi besar dan berbuah. Ini jauh dari prinsip nilai hamemayu hayuning negara, bangsa, lan manungsa (memperindah/menyejahterakan negara, bangsa, dan manusia). Nilai yang berlaku justru adalah hamemayu hayuning weteng sariro (menyuburkan ketamakan untuk mengenyangkan perut sendiri).

Berbagai pengkhianatan dan pengingkaran telah menjadikan sumpah mengalami degradasi nilai. Sumpah hanya berhenti sebagai abab atau hawa mulut yang gampang menguap. Sumpah hanya dibutuhkan ketika seseorang ingin dianggap bermartabat, berintegritas, dan berkomitmen, tetapi tidak dalam substansi tindakan.

Jadi, jangan heran apabila publik tertawa geli melihat dan mendengar para elite ramai-ramai bersumpah: topeng-topeng kepalsuan sedang disembunyikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar