Sabtu, 24 Maret 2012

Penggelembungan Harga Sukhoi

Penggelembungan Harga Sukhoi
  Handrini Ardiyanti, Sekretaris Tim Penelitian Industri Pertahanan dan Keamanan, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR
SUMBER : KOMPAS, 24 Maret 2012



Desas-desus dugaan penggelembungan anggaran dalam pembelian enam pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK2 dari Rusia menyeruak. Muncul sangkaan telah terjadi penyimpangan pembelian Sukhoi yang harganya digelembungkan dari 55 juta dollar AS per unit pada 2010 menjadi 83 juta dollar AS per unit pada 2011.

Lebih jauh Indonesia Corruption Watch (ICW) mensinyalir terdapat pelibatan pihak ketiga dalam pembelian enam pesawat tempur Sukhoi jenis SU-30 MK2 dari Rusia JSC Rosoboronexport Rusia yang diageni PT Trimarga Rekatama.

Akibatnya, harga per unit Sukhoi melambung dari 55 juta dollar AS pada 2010 menjadi 83 juta dollar AS pada 2011. Dari skema pembiayaan dengan kredit ekspor, menurut ICW, agen mendapatkan fee 15-20 persen dari harga barang sehingga potensi kerugian negara lebih dari Rp 1 triliun.

Wilayah Tertutup

Korup di area tertutup bidang pertahanan telah menjadi momok lama setiap negara. Dugaan itu sah-sah saja sebab pengadaan barang dan jasa yang berlangsung secara terbuka saja bisa diakal-akali, bagaimana dengan pembelian barang berteknologi super yang notabene berada di wilayah yang terlindung oleh pengecualian dalam UU Keterbukaan Informasi Publik?

Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dokumen yang memuat tentang strategi intelijen, operasi, teknik, dan taktik yang berkaitan dengan penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengakhiran atau evaluasi merupakan salah satu dari sekian banyak informasi yang dikecualikan.

Demikian juga tentang jumlah, komposisi, disposisi atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya merupakan hal yang kerahasiaannya dilindungi berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik.

Namun, bagaimana upaya pencegahan terjadinya korupsi di area tertutup seperti dalam kasus pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) tersebut? Tentunya kebijakan itu tidak cukup hanya sampai pada tataran instruksi presiden atau sebatas MOU atau kesepakatan bersama antara Kementerian Pertahanan dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang ditandatangani November 2010 lalu.

Besarnya kemauan politik dari pemerintah untuk memajukan industri pertahanan nasional dengan mengalokasikan 50 persen dari total anggaran pertahanan sebesar Rp 64,4 triliun untuk alutsista harus diikuti dengan upaya penciptaan sebuah sistem pencegahan dini terhadap tindak pidana korupsi di bidang pertahanan. Sistem pencegahan dini tindak pidana korupsi tersebut harus diadopsi secara komprehensif dan tegas dalam sebuah peraturan perundang-undangan.

Dalam tataran praktik, Menteri Pertahanan melalui Keputusan Nomor KEP/07/M/I/2011 tentang pembentukan tim Konsultasi Pencegahan Penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa (KP3B) Kementerian Pertahanan dan TNI yang dikeluarkan pada 6 Januari 2011 berupaya mengawasi pengadaan barang dan jasa, mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi kegiatan. Akan tetapi, bagaimanakah tingkat efektivitas dari kinerja tim yang berada di bawah sebuah kementerian jika pengadaan barang dan jasa yang diawasinya melibatkan sejumlah jabatan yang berada satu tingkat yang sama atau bahkan di atasnya?

Untuk itu, perlu diciptakan sebuah mekanisme pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan industri pertahanan dan keamanan yang komprehensif dan sistemis. Di AS, misalnya, diterapkan kebijakan Local Commanders Open Door Policy, Commanding General Open Door Policy, Whistle Blowers Act, Hot Lines: Commanding General Hot-Line, Military Police Hot-line, Criminal Investigative Detachment Hot-line, dan the DOD Hot-line, serta NCO Support Channel.

Bagaimana dengan Indonesia? Meski Indonesia telah memiliki UU Perlindungan Saksi dan Korban, tingkat efektivitas dari pelaksanaan UU tersebut masih menjadi pertanyaan. Lantas dapatkah keberadaan tim-tim di bawah sebuah kementerian cukup menjadi senjata ampuh untuk tindak pidana korupsi di bidang pertahanan?

Keberadaan KPK merupakan institusi yang bersifat reaktif, bukan preventif. Karena itu, pengaturan tentang Komite Kebijakan Industri Pertahanan dan Keamanan (KKIP) yang bertugas mengoordinasikan perumusan, pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan nasional industri pertahanan dan keamanan dalam RUU tentang Industri Pertahanan dan Keamanan perlu dirumuskan secara komprehensif dan tegas sehingga mampu menciptakan sebuah sistem pengawasan yang melekat di bidang pertahanan dan keamanan.

Terpusat

Namun, sayangnya pengaturan KKIP dalam RUU tersebut bersifat terpusat. Struktur KKIP diketuai oleh wakil presiden dan wakilnya adalah menteri yang membidangi urusan pertahanan.

Keanggotaan utama KKIP terdiri dari menteri yang membidangi urusan badan usaha milik negara; menteri yang membidangi urusan perindustrian; menteri yang membidangi urusan riset dan teknologi; menteri yang membidangi urusan pendidikan; menteri yang membidangi urusan komunikasi dan informatika; menteri yang membidangi urusan keuangan; menteri yang membidangi urusan perencanaan pembangunan nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional; Panglima Tentara Nasional Indonesia; dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia. Keanggotaan pendukung KKIP berasal dari unsur perguruan tinggi.

RUU tentang Industri Pertahanan dan Keamanan tidak mengatur dengan jelas bagaimana mekanisme kerja KKIP dalam melakukan pengawasan hanya diserahkan melalui pembentukan peraturan presiden. Lantas bagaimana jika dalam sebuah kasus, penyimpangan pengadaan atau produksi dalam industri pertahanan dan keamanan terjadi karena tindakan penyimpangan tersebut diambil berdasarkan ketentuan lain yang ada dalam sebuah UU?

Selain itu, RUU Industri Pertahanan Keamanan hanya mengatur tentang tugas KKIP dan tidak memberikan penegasan tentang kewenangan yang dimiliki KKIP. Apakah KKIP tidak akan menjadi macan ompong lainnya seperti Komisi Penyiaran Indonesia? Karena itu, perlu dirumuskan secara tegas dan komprehensif tentang kewenangan serta mekanisme kerja KKIP sehingga dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah terjadinya korupsi di area tertutup bidang pertahanan. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar