Penggelembungan
Harga Sukhoi
Handrini
Ardiyanti, Sekretaris Tim Penelitian Industri Pertahanan
dan Keamanan, Pusat Pengkajian, Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Setjen DPR
SUMBER : KOMPAS, 24 Maret
2012
Desas-desus dugaan penggelembungan anggaran
dalam pembelian enam pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK2 dari Rusia menyeruak.
Muncul sangkaan telah terjadi penyimpangan pembelian Sukhoi yang harganya
digelembungkan dari 55 juta dollar AS per unit pada 2010 menjadi 83 juta dollar
AS per unit pada 2011.
Lebih jauh Indonesia Corruption Watch (ICW)
mensinyalir terdapat pelibatan pihak ketiga dalam pembelian enam pesawat tempur
Sukhoi jenis SU-30 MK2 dari Rusia JSC Rosoboronexport Rusia yang diageni PT
Trimarga Rekatama.
Akibatnya, harga per unit Sukhoi melambung
dari 55 juta dollar AS pada 2010 menjadi 83 juta dollar AS pada 2011. Dari
skema pembiayaan dengan kredit ekspor, menurut ICW, agen mendapatkan fee 15-20
persen dari harga barang sehingga potensi kerugian negara lebih dari Rp 1
triliun.
Wilayah Tertutup
Korup di area tertutup bidang pertahanan
telah menjadi momok lama setiap negara. Dugaan itu sah-sah saja sebab pengadaan
barang dan jasa yang berlangsung secara terbuka saja bisa diakal-akali,
bagaimana dengan pembelian barang berteknologi super yang notabene berada di
wilayah yang terlindung oleh pengecualian dalam UU Keterbukaan Informasi
Publik?
Berdasarkan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 14
Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dokumen yang memuat tentang
strategi intelijen, operasi, teknik, dan taktik yang berkaitan dengan
penyelenggaraan sistem pertahanan dan keamanan negara yang meliputi tahap
perencanaan, pelaksanaan, dan pengakhiran atau evaluasi merupakan salah satu
dari sekian banyak informasi yang dikecualikan.
Demikian juga tentang jumlah, komposisi,
disposisi atau dislokasi kekuatan dan kemampuan dalam penyelenggaraan sistem
pertahanan dan keamanan negara serta rencana pengembangannya merupakan hal yang
kerahasiaannya dilindungi berdasarkan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Namun, bagaimana upaya pencegahan terjadinya
korupsi di area tertutup seperti dalam kasus pengadaan alat utama sistem
senjata (alutsista) tersebut? Tentunya kebijakan itu tidak cukup hanya sampai
pada tataran instruksi presiden atau sebatas MOU atau kesepakatan bersama
antara Kementerian Pertahanan dan Komisi Pemberantasan Korupsi yang
ditandatangani November 2010 lalu.
Besarnya kemauan politik dari pemerintah
untuk memajukan industri pertahanan nasional dengan mengalokasikan 50 persen
dari total anggaran pertahanan sebesar Rp 64,4 triliun untuk alutsista harus
diikuti dengan upaya penciptaan sebuah sistem pencegahan dini terhadap tindak
pidana korupsi di bidang pertahanan. Sistem pencegahan dini tindak pidana
korupsi tersebut harus diadopsi secara komprehensif dan tegas dalam sebuah
peraturan perundang-undangan.
Dalam tataran praktik, Menteri Pertahanan
melalui Keputusan Nomor KEP/07/M/I/2011 tentang pembentukan tim Konsultasi
Pencegahan Penyimpangan Pengadaan Barang/Jasa (KP3B) Kementerian Pertahanan dan
TNI yang dikeluarkan pada 6 Januari 2011 berupaya mengawasi pengadaan barang
dan jasa, mulai dari tahap perencanaan hingga evaluasi kegiatan. Akan tetapi,
bagaimanakah tingkat efektivitas dari kinerja tim yang berada di bawah sebuah
kementerian jika pengadaan barang dan jasa yang diawasinya melibatkan sejumlah
jabatan yang berada satu tingkat yang sama atau bahkan di atasnya?
Untuk itu, perlu diciptakan sebuah mekanisme
pengawasan dan pemantauan terhadap pelaksanaan kebijakan industri pertahanan
dan keamanan yang komprehensif dan sistemis. Di AS, misalnya, diterapkan
kebijakan Local Commanders Open Door Policy, Commanding General Open Door
Policy, Whistle Blowers Act, Hot Lines: Commanding General Hot-Line, Military
Police Hot-line, Criminal Investigative Detachment Hot-line, dan the DOD
Hot-line, serta NCO Support Channel.
Bagaimana dengan Indonesia? Meski Indonesia
telah memiliki UU Perlindungan Saksi dan Korban, tingkat efektivitas dari
pelaksanaan UU tersebut masih menjadi pertanyaan. Lantas dapatkah keberadaan
tim-tim di bawah sebuah kementerian cukup menjadi senjata ampuh untuk tindak
pidana korupsi di bidang pertahanan?
Keberadaan KPK merupakan institusi yang
bersifat reaktif, bukan preventif. Karena itu, pengaturan tentang Komite
Kebijakan Industri Pertahanan dan Keamanan (KKIP) yang bertugas
mengoordinasikan perumusan, pelaksanaan, dan pengendalian kebijakan nasional
industri pertahanan dan keamanan dalam RUU tentang Industri Pertahanan dan
Keamanan perlu dirumuskan secara komprehensif dan tegas sehingga mampu
menciptakan sebuah sistem pengawasan yang melekat di bidang pertahanan dan
keamanan.
Terpusat
Namun, sayangnya pengaturan KKIP dalam RUU
tersebut bersifat terpusat. Struktur KKIP diketuai oleh wakil presiden dan
wakilnya adalah menteri yang membidangi urusan pertahanan.
Keanggotaan utama KKIP terdiri dari menteri
yang membidangi urusan badan usaha milik negara; menteri yang membidangi urusan
perindustrian; menteri yang membidangi urusan riset dan teknologi; menteri yang
membidangi urusan pendidikan; menteri yang membidangi urusan komunikasi dan
informatika; menteri yang membidangi urusan keuangan; menteri yang membidangi
urusan perencanaan pembangunan nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional; Panglima Tentara Nasional Indonesia; dan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Keanggotaan pendukung KKIP berasal dari unsur perguruan
tinggi.
RUU tentang Industri Pertahanan dan Keamanan
tidak mengatur dengan jelas bagaimana mekanisme kerja KKIP dalam melakukan
pengawasan hanya diserahkan melalui pembentukan peraturan presiden. Lantas
bagaimana jika dalam sebuah kasus, penyimpangan pengadaan atau produksi dalam
industri pertahanan dan keamanan terjadi karena tindakan penyimpangan tersebut
diambil berdasarkan ketentuan lain yang ada dalam sebuah UU?
Selain itu, RUU Industri Pertahanan Keamanan
hanya mengatur tentang tugas KKIP dan tidak memberikan penegasan tentang
kewenangan yang dimiliki KKIP. Apakah KKIP tidak akan menjadi macan ompong
lainnya seperti Komisi Penyiaran Indonesia? Karena itu, perlu dirumuskan secara
tegas dan komprehensif tentang kewenangan serta mekanisme kerja KKIP sehingga
dapat menjadi alat yang efektif untuk mencegah terjadinya korupsi di area
tertutup bidang pertahanan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar