April
Mop
Budiarto
Shambazy, Wartawan Senior Kompas
SUMBER : KOMPAS, 24 Maret
2012
Sebagai warga, saya bingung dengan aneka
argumen pro dan kontra tentang kenaikan harga bahan bakar minyak yang
direncanakan diumumkan 1 April mendatang. Apalagi, dalam pro dan kontra
tersebut terkandung pula berbagai elemen yang realistis.
BBM itu produk strategis yang memutar bukan
hanya roda kendaraan, melainkan juga roda kehidupan sosial, politik, dan
ekonomi. Tanpa BBM, rakyat tidak bisa ke mana-mana karena kendaraan-kendaraan
umum tidak jalan, listrik mati, industri tidak bergerak, dan seterusnya.
BBM merupakan hasil kekayaan alam. Maka, jika
merujuk ke UUD 1945, penguasaan, eksplorasi, ketersediaan, pengilangan,
distribusi, dan harga BBM tidak boleh membebani rakyat.
Apa lacur, kita bukan lagi negeri yang mampu
menguasai, mengeksplorasi, mengilang, menyediakan, dan mendistribusikan BBM
sehingga harganya terjangkau. Cuma Orde Lama yang lumayan berhasil menunaikan
tugas itu. Sejak Orde Baru sampai kini semua pemerintahan praktis gagal.
Oleh sebab itulah kita mengenal subsidi BBM.
Bahkan, ketika kita masih anggota OPEC yang mengekspor BBM dan masih menyandang
negara kaya minyak bumi, subsidi tetap berlangsung.
Di mana letak kesalahannya? Telah berulang
kali diketengahkan di rubrik ini argumen bahwa kekeliruan kita yang sangat
prinsipiil adalah mau saja ditekan lembaga-lembaga internasional, seperti Bank
Dunia, IMF, dan juga negara-negara Barat.
Kesalahan kita yang berlangsung sejak Orde
Baru itu adalah dililit utang luar negeri. Jika jumlah utang luar negeri Orde
Lama berkisar hanya 2,5 miliar dollar AS, pada era Orde Baru jumlahnya meroket
sampai lebih dari 100 miliar dollar AS.
Pada akhir 1960-an, kita dipaksa menyetujui
megaproyek-megaproyek yang belum dibutuhkan rakyat yang dikarang-karang oleh
konsultan-konsultan ekonomi Barat atas pesanan Bank Dunia, IMF, dan Barat.
Maka, dibutuhkanlah pendanaan proyek yang bernama pinjaman luar negeri.
Pinjaman itu digelembungkan dan sebagian
dibagikan kepada elite penguasa. Inilah awal dari KKN yang mengatasnamakan
”pembangunan” yang hanya menguntungkan elite penguasa negara-negara pusat
(centres) dan pinggiran (peripheries) alias peminjam utang luar negeri.
Pada saat utang luar negeri makin menumpuk
sehingga baru bisa dilunasi kelak oleh anak-cucu kita, pemerintah kita dipaksa
menjual konsesi migas dan tambang kepada multinational corporations (MNC)
negara-negara Barat. Ketergantungan inilah yang berlangsung sampai sekarang.
Tentu ada pemimpin-pemimpin yang berusaha
melepaskan diri dari jeratan tersebut walau akhirnya gagal. Menurut saya, dua
periode kepemimpinan saat ini, SBY-JK dan SBY-Boediono, kurang berusaha keras
untuk lepas dari hegemoni ini.
Itu sebabnya utang luar negeri melonjak
drastis sejak tahun 2004, kini sekitar Rp 1.700 triliun. Itu juga yang jadi
penyebab APBN kita pincang karena sebagian disisihkan hanya untuk membayar
utang serta cicilannya dan juga untuk subsidi BBM.
Ironisnya, dari sekitar Rp 1.400 triliun
anggaran belanja per tahun mungkin tak lebih dari seperlimanya ditujukan untuk
menyejahterakan rakyat. Sebagian besar anggaran dipakai untuk, istilahnya,
membiayai jalannya pemerintahan.
Anggaran itulah yang dikeluarkan untuk
membayar gaji PNS yang naik gaji setiap tahun, membeli pesawat kepresidenan,
mendanai studi banding anggota DPR, memodernisasi peralatan Polri untuk
menghadapi demonstrasi, dan sebagainya. Menurut Anda, apakah ini anggaran yang
sehat?
Lebih ironis lagi, anggaran itulah yang
paling banyak dikorupsi pejabat dan politisi! Jadi, rakyat dipaksa membeli BBM
dengan harga tak terjangkau untuk mendukung menyehatkan anggaran yang
dikorupsi.
Singkatnya kita, rakyatlah, yang menopang
jalannya pemerintahan yang terbukti kurang efisien serta pejabat dan politisi
yang mengorupsi anggaran. Lalu, apakah menurut Anda ini adil?
Jadi, persoalannya bukan rakyat setuju atau
tidak dengan kenaikan harga BBM, melainkan basmilah dulu korupsi dengan serius.
Meminjam idiom politik di Amerika Serikat, ”It’s the corruption, stupid!”
Kini terungkap pula berbagai fakta baru yang
makin mencerdaskan kita, rakyat, bahwa yang terjadi bukan melulu subsidi BBM.
Salah satunya, misalnya, hitung punya hitung pemerintah ternyata justru
menerima surplus dari penjualan BBM.
Juga mulai terkuak bahwa harga BBM untuk
transportasi yang dikilang/diimpor dari luar negeri lebih mahal. Mengapa kita
tidak investasi membuat kilang sendiri dan mengapa harus impor dari luar negeri
sehingga harga BBM terjangkau?
DPR periode yang lalu pernah membentuk Pansus
BBM yang berniat menguak misteri ini. Namun, berhubung politik kita
transaksional, Pansus itu akhirnya masuk angin.
Dan, kini rakyat melancarkan protes terhadap
rencana kenaikan harga BBM. Pemerintah malah menuding ada upaya makar dan untuk
itulah TNI diterjunkan untuk mengamankan situasi.
Lagi-lagi reaksi yang ”tidak bunyi” yang
kasatmata melanggar aturan. Lagi pula siapa yang mampu melancarkan kudeta kalau
bukan ”orang dalam” sendiri yang pegang komando?
Saya orang awam mungkin bodoh, tetapi
lama-lama merasa pintar ikut berdebat karena pro dan kontra kenaikan harga BBM
main jadi, seperti kata SBY, ”gerakan aneh”. Saya sih berharap yang aneh-aneh
saja yang akan terjadi, termasuk April Mop, karena pas 1 April ada pengumuman
harga BBM batal naik. Hore.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar