Kamis, 08 Maret 2012

Hukum dan Kutukan Sosial


Hukum dan Kutukan Sosial
Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGM  
SUMBER : SINDO, 8 Maret 2012



“Cantik kok pembohong”. Cemoohan itu muncul spontan, datar, dan mengalir dalam diskusi informal di warung angkringan di Kota Yogya. Sesekali berkumpul mahasiswa di tempat santai seperti ini sungguh amat menyenangkan.

Diskusinya berkualitas walaupun tanpa awal dan akhir yang jelas. Persoalan akan menjadi lain dan serius apabila guyon parikena itu dicerna dalam-dalam dengan kejernihan hati nurani. Kaum hawa khususnya pasti tersinggung. Cemoohan itu tergolong nylekit dan menusuk perasaan. Tetapi itulah justru pesan moral sesungguhnya, yaitu agar kaum hawa di negeri ini cantik luar-dalam, lahir-batin.

Jangan seperti Angelina Sondakh ketika bersaksi di Pengadilan Tipikor dalam kasus Wisma Atlet belum lama ini. Ada kasus berbeda, tetapi serupa. Di Pengadilan Tipikor Bandung terjadi pembacokan terhadap jaksa Sistoyo oleh Deddy Sugarda. Hal itu diakui oleh pelakunya sebagai pesan kepada para penegak hukum untuk tidak berkhianat pada program pemberantasan korupsi. Cemoohan maupun pembacokan tersebut merupakan bentuk sanksi (kutukan) sosial.

Ini bukan sesuatu hal baru.Jauh sebelum ada sanksi hukum formal, sanksi sosial telah ada,dan sesekali muncul ketika kehidupan berjalan tidak normal. Kebohongan dan pengkhianatan merupakan awal dan sebab ketidaknormalan kehidupan itu. Hukum formal berjalan terseok-seok karena dimainkan oleh kekuatan politik, uang, maupun kekuasaan. Awam sudah muak terhadap kepalsuan, kemunafikan, dan kamuflase proses peradilan yang berlangsung sebagai drama berseri itu.

Dengan logika dan caranya sendiri, awam menumpahkan kejengkelannya dalam bentuk kutukan sosial tersebut. Lantas, apa hikmah dan pelajaran dari kasus-kasus seperti itu? Pertama, kembalikan pemahaman secara utuh bahwa hukum tidak terpisahkan dari habitat sosialnya. Detak jantung dan suara hati masyarakat jangan disepelekan. Berbahaya.

Boleh jadi pada kesempatan berbeda kutukan sosial juga menimpa pada hakim, pengacara,saksi ahli,dan aparat penegak hukum lain.Pengalaman telah banyak berbicara tentang hal ini. Kedua, jangan melawan kodrat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Paham individualisme dan liberalisme yang cenderung mendorong para penegak hukum bersikap congkak, arogan, dan sombong mesti ditinggalkan.

Gantilah dengan paham kolektivisme, sosialisme dalam suasana kekeluargaan.Di negeri berfalsafah Pancasila ini paham kekeluargaan itu telah mengakar sebagai budaya dan adat istiadat. Pengingkaran terhadap paham ini serta merta menggantinya dengan paham individualisme dipastikan akan menggun-cangkan sendi-sendi kehidupan. Ingatlah ungkapan ”sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi orang lain”.

Ketiga, karakter liberal yang melekat pada hukum dan peradilan di Indonesia mestinya dibenahi secara sungguh-sungguh. Keberadaan hukum adat, syariat, dan tuntunan moral mestinya diterima sebagai upaya pembenahan tersebut sehingga watak liberal itu segera berganti menjadi watak komunalistik, sosial-religius.

Keempat, jaga kemandirian lembaga pengadilan dan arahkan kiblat proses peradilan semata- mata demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedikit saja kiblat itu bergeser, misal ke arah ”keuangan yang maha kuasa”—sehingga jaksa atau hakim menerima suap—hancurlah martabat lembaga pengadilan beserta insan penegak hukum yang ada di dalamnya.

Kekecewaan

Hukum negara beserta aparatur penyangganya sebagaimana ”disakralkan” dalam praktik peradilan tidak mungkin mampu meminggirkan secara total bentuk-bentuk kutukan sosial yang muncul secara spontan dan alami sebagai bagian dari tatanan lokal. Dalam konteks budaya hukum, sebenarnya hukum negara (positif) itu kalah awu (kalah wibawa) dibandingkan hukum adat karena selain umurnya tergolong lebih muda, lebih nyata lagi bahwa hukum adat telah mengakar kuat dan mampu bekerja efektif di masyarakatnya selama berabad-abad.

Pada saat komunitas lokal kecewa terhadap kinerja pengadilan dalam pemberantasan korupsi, komunitas lokal akan bereaksi untuk menunjukkan kekuatannya guna melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat pada hukum negara. Dengan munculnya reaksi sosial atas hukum dan praktik peradilan, sejak saat itu terlihat seolah-olah ada keterbelahan (split) antara ”sanksi hukum” dan ”kutukan sosial”.

Aparat penyangga hukum negara umumnya mendaku (claim) bahwa sanksi hukum adalah satu-satu jenis sanksi untuk segala kejahatan,dan hanya mereka sajalah yang berwenang menjatuhkan sanksi hukum itu. Warga masyarakat yang melakukan kutukan sosial tidak jarang ditangkap dan dijerat hukum karena dianggap ”main hakim sendiri”.

Mereka lupa bahwa hukum dan praktik peradilan tidak mungkin lepas dari pengamatan dan kepentingan masyarakat yang senantiasa mendambakan kejujuran, keterbukaan,dan keadilan.Mereka juga lupa bahwa kutukan sosial hanyalah pelengkap sanksi hukum formal, bukan tindakan yang berdiri sendiri lepas dari kegeraman terhadap para koruptor dan drama pengadilan.

Apabila cemoohan dan pembacokan di atas ditanggapi secara emosional dan legalistik, aparat penyangga hukum negara itu sesungguhnya sedang membiarkan separuh dirinya yang egois-individual dipisahkan dari separuh diri mereka yang lain (sebagai makhluk sosial). Dengan kata lain, mereka asosial. Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mengatakan bahwa akan ada peningkatan pengamanan di persidangan, terutama untuk kasus yang menarik perhatian masyarakat dan dianggap sensitif.

Pada hemat saya, gagasan ini bagus untuk sesaat, tetapi tidak menyentuh akar permasalahan. Mengapa? Pengadilan bukanlah menara gading. Selama lembaga ini masih bermain-main dengan hukum, sementara hak-hak masyarakat akan keadilan, kejujuran, kebenaran, dan keterbukaan dilecehkan, kutukan sosial akan terus muncul secara sporadis dan bisa terjadi di luar persidangan.

Dulu kita memiliki pengadilan adat, tetapi oleh rezim Orde Baru dibubarkan dan tidak diakui lagi keberadaannya oleh negara sampai saat ini.Sungguh bijaksana apabila pengadilan adat itu dihidupkan kembali. Apabila aspek sosial dan kultural itu benar-benar diperhatikan, dapat diyakini bahwa kutukan sosial akan ”tertidur nyenyak” dalam buaian kehidupan bernegara hukum yang aman dan nyaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar