Tindak
Lanjuti Laporan PPATK
Riduan Syahrani, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT DAN SEKOLAH TINGGI
ILMU HUKUM SULTAN ADAM, BANJARMASIN
Sumber
: KOMPAS, 2 Maret 2012
Dalam sebuah berita disebutkan bahwa Pusat
Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan transaksi pegawai pajak,
yang baru-baru ini diduga cuci uang di bisnis mobil, Dhana Widyatmika,
mencurigakan dan tersebar di 21 bank. Kita jadi ingat refleksi akhir 2011
harian ini menyangkut analisis PPATK kepada penyidik.
Dalam refleksi itu diungkapkan 294 terlapor
dicurigai melakukan pencucian uang. Sebanyak 174 di antaranya terindikasi
korupsi. Berdasarkan pekerjaannya, 148 orang berstatus pegawai negeri sipil,
ya, seperti Dhana Widyatmika. Terlapor yang menjabat bupati, wali kota, dan
gubernur 18 orang; polisi dan tentara 29 orang; serta anggota badan legislatif
20 orang (Kompas, 24/12/2011).
Namun, menurut refleksi itu, PPATK tak pernah
mendapat laporan mengenai tindak lanjut atau penyidikan terhadap hasil analisis
pidana pencucian uang yang disampaikannya kepada penyidik Kepolisian,
Kejaksaan, KPK, dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai aparat penegak hukum yang
berkompeten.
Padahal, ketika PPATK menyampaikan hal yang
sama beberapa bulan lalu, Kementerian Dalam Negeri berjanji akan menelusuri
rekening tak wajar milik kepala daerah dan pejabat lain. KPK juga berjanji akan
menindaklanjuti laporan transaksi keuangan mencurigakan itu. Namun, janji itu
rupanya hanya reaksi spontan, bukan untuk dilaksanakan.
Sangat Praktis
Mengapa laporan PPATK tidak ditindaklajuti
sama sekali oleh institusi penegak hukum yang berwenang tadi? Padahal,
pembuktiannya dapat dikatakan sangat praktis karena hasil pemeriksaan PPATK
atas transaksi keuangan mencurigakan sudah dapat dijadikan bukti permulaan
untuk mengajukannya ke pengadilan.
Untuk pemeriksaan di depan sidang pengadilan
atas tindak pidana pencucian uang, tindak pidana asalnya tidak wajib dibuktikan
karena UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menganut
”sistem pembuktian terbalik”. Terdakwalah yang wajib membuktikan harta
kekayaannya, bukan merupakan hasil tindak pidana dengan cara mengajukan alat
bukti yang cukup (Pasal 77 dan 78).
Sistem pembuktian terbalik dapat dipandang
sebagai pranata hukum progresif untuk memulihkan keuangan negara yang dijarah
para koruptor, juga pelaku tindak pidana lain, dengan merampas, kemudian
dimasukkan ke kas negara semua atau sebagian uang dalam rekening tak wajar.
Sekarang tinggal kesungguhan dari aparat
penegak hukum memberantas tindak pidana pencucian uang sebagai lanjutan dari
korupsi dan tindak pidana lain yang kemudian ditransaksikan.
Tindak pidana pencucian uang tidak hanya
mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan keuangan negara,
tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara. Jadi, tindak pidana ini sangat berbahaya. Pantas ancaman
hukumannya sangat berat, maksimum 20 tahun penjara dan sejumlah uang denda.
Karena itu, begitu ada laporan PPATK tentang
transaksi keuangan mencurigakan yang terindikasi pidana, aparat penegak hukum
yang kompeten mesti segera menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan. Itulah
bagian dari tugas dan kewajiban aparat penegak hukum. Namun, kenyataannya,
laporan PPATK itu diabaikan sampai kini sehingga menimbulkan banyak dampak
negatif, antara lain terungkapnya ”Gayus baru” seperti Dhana yang diduga itu.
Sikap aparat penegak hukum yang tidak
menindaklanjuti laporan PPATK sesungguhnya merupakan pelanggaran hukum. Ini
jelas sangat memalukan dan mencoreng citra aparat penegak hukum sendiri. Aparat
penegak hukum terkesan impotensi, tidak punya nyali. Mengapa ini bisa terjadi?
Karena keanehan ini, tidak heran jika timbul prasangka bahwa jangan-jangan
aparat penegak hukum sudah mendapat bagian juga.
Menimbulkan Kesangsian
Karena laporan PPATK sebagian besar terkait
korupsi, sikap aparat penegak hukum yang pasif itu menimbulkan kesangsian akan
keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Apakah genderang perang terhadap
korupsi yang sudah ditabuh dan pedang yang sudah dihunus melawan korupsi hanya
jargon politik pencitraan untuk mendapatkan pujian dari masyarakat?
Jika para pelaku tindak pidana pencucian uang
yang dilaporkan PPATK itu tidak terusik sama sekali oleh tindakan aparat
penegak hukum, ke depan mereka pasti akan mengulang perbuatan yang sama, bahkan
dengan skala lebih besar. Hal yang sama akan ditiru pula oleh orang-orang lain
sehingga tidak mustahil tindak pidana korupsi semakin marak.
Tentu hal buruk itu tidak boleh terjadi.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah mengatakan akan memimpin langsung
pemberantasan korupsi di Tanah Air—dengan mengiklankan ”katakan ’tidak’ pada
korupsi”—harus turun tangan dan secepatnya bertindak menginstruksikan semua
aparat penegak hukum yang terkait menindaklanjuti laporan PPATK. Siapa pun
terlapornya! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar