Jumat, 02 Maret 2012

Tindak Lanjuti Laporan PPATK


Tindak Lanjuti Laporan PPATK
Riduan Syahrani, DOSEN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT DAN SEKOLAH TINGGI ILMU HUKUM SULTAN ADAM, BANJARMASIN
Sumber : KOMPAS, 2 Maret 2012



Dalam sebuah berita disebutkan bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan transaksi pegawai pajak, yang baru-baru ini diduga cuci uang di bisnis mobil, Dhana Widyatmika, mencurigakan dan tersebar di 21 bank. Kita jadi ingat refleksi akhir 2011 harian ini menyangkut analisis PPATK kepada penyidik.

Dalam refleksi itu diungkapkan 294 terlapor dicurigai melakukan pencucian uang. Sebanyak 174 di antaranya terindikasi korupsi. Berdasarkan pekerjaannya, 148 orang berstatus pegawai negeri sipil, ya, seperti Dhana Widyatmika. Terlapor yang menjabat bupati, wali kota, dan gubernur 18 orang; polisi dan tentara 29 orang; serta anggota badan legislatif 20 orang (Kompas, 24/12/2011).

Namun, menurut refleksi itu, PPATK tak pernah mendapat laporan mengenai tindak lanjut atau penyidikan terhadap hasil analisis pidana pencucian uang yang disampaikannya kepada penyidik Kepolisian, Kejaksaan, KPK, dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai aparat penegak hukum yang berkompeten.

Padahal, ketika PPATK menyampaikan hal yang sama beberapa bulan lalu, Kementerian Dalam Negeri berjanji akan menelusuri rekening tak wajar milik kepala daerah dan pejabat lain. KPK juga berjanji akan menindaklanjuti laporan transaksi keuangan mencurigakan itu. Namun, janji itu rupanya hanya reaksi spontan, bukan untuk dilaksanakan.

Sangat Praktis

Mengapa laporan PPATK tidak ditindaklajuti sama sekali oleh institusi penegak hukum yang berwenang tadi? Padahal, pembuktiannya dapat dikatakan sangat praktis karena hasil pemeriksaan PPATK atas transaksi keuangan mencurigakan sudah dapat dijadikan bukti permulaan untuk mengajukannya ke pengadilan.

Untuk pemeriksaan di depan sidang pengadilan atas tindak pidana pencucian uang, tindak pidana asalnya tidak wajib dibuktikan karena UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang menganut ”sistem pembuktian terbalik”. Terdakwalah yang wajib membuktikan harta kekayaannya, bukan merupakan hasil tindak pidana dengan cara mengajukan alat bukti yang cukup (Pasal 77 dan 78).

Sistem pembuktian terbalik dapat dipandang sebagai pranata hukum progresif untuk memulihkan keuangan negara yang dijarah para koruptor, juga pelaku tindak pidana lain, dengan merampas, kemudian dimasukkan ke kas negara semua atau sebagian uang dalam rekening tak wajar.

Sekarang tinggal kesungguhan dari aparat penegak hukum memberantas tindak pidana pencucian uang sebagai lanjutan dari korupsi dan tindak pidana lain yang kemudian ditransaksikan.

Tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas dan integritas sistem perekonomian dan keuangan negara, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Jadi, tindak pidana ini sangat berbahaya. Pantas ancaman hukumannya sangat berat, maksimum 20 tahun penjara dan sejumlah uang denda.

Karena itu, begitu ada laporan PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan yang terindikasi pidana, aparat penegak hukum yang kompeten mesti segera menindaklanjuti dengan melakukan penyidikan. Itulah bagian dari tugas dan kewajiban aparat penegak hukum. Namun, kenyataannya, laporan PPATK itu diabaikan sampai kini sehingga menimbulkan banyak dampak negatif, antara lain terungkapnya ”Gayus baru” seperti Dhana yang diduga itu.

Sikap aparat penegak hukum yang tidak menindaklanjuti laporan PPATK sesungguhnya merupakan pelanggaran hukum. Ini jelas sangat memalukan dan mencoreng citra aparat penegak hukum sendiri. Aparat penegak hukum terkesan impotensi, tidak punya nyali. Mengapa ini bisa terjadi? Karena keanehan ini, tidak heran jika timbul prasangka bahwa jangan-jangan aparat penegak hukum sudah mendapat bagian juga.

Menimbulkan Kesangsian

Karena laporan PPATK sebagian besar terkait korupsi, sikap aparat penegak hukum yang pasif itu menimbulkan kesangsian akan keseriusan pemerintah memberantas korupsi. Apakah genderang perang terhadap korupsi yang sudah ditabuh dan pedang yang sudah dihunus melawan korupsi hanya jargon politik pencitraan untuk mendapatkan pujian dari masyarakat?

Jika para pelaku tindak pidana pencucian uang yang dilaporkan PPATK itu tidak terusik sama sekali oleh tindakan aparat penegak hukum, ke depan mereka pasti akan mengulang perbuatan yang sama, bahkan dengan skala lebih besar. Hal yang sama akan ditiru pula oleh orang-orang lain sehingga tidak mustahil tindak pidana korupsi semakin marak.

Tentu hal buruk itu tidak boleh terjadi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang pernah mengatakan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi di Tanah Air—dengan mengiklankan ”katakan ’tidak’ pada korupsi”—harus turun tangan dan secepatnya bertindak menginstruksikan semua aparat penegak hukum yang terkait menindaklanjuti laporan PPATK. Siapa pun terlapornya! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar