Cegah-Tangkal
Defisit Migas
Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
Sumber
: KOMPAS, 2 Maret 2012
Akhirnya datang juga! Indonesia tak sanggup
membendung datangnya era defisit neraca perdagangan minyak dan gas bumi yang
diperkirakan tiba mulai tahun 2012.
Siaran pers Bank Indonesia menyebutkan,
surplus neraca perdagangan energi sudah sangat tipis. Pada 2011, neraca
perdagangan migas hanya surplus 7 juta dollar AS, merosot jauh dibandingkan
2010 yang 3 miliar dollar AS. Mulai 2012, neraca perdagangan migas diperkirakan
memasuki era defisit.
Pada 2004, Indonesia jadi negara importir
neto minyak. Namun, jika digabung gas, neraca perdagangan masih surplus. Tahun
ini, Indonesia dikhawatirkan sudah importir neto untuk minyak ataupun gas. Ini
sinyal buruk bagi ketahanan migas Indonesia, baik dari sisi hulu (ditandai
produksi yang cenderung menurun) maupun hilir (ditandai impor yang semakin
membengkak). Tak ada pilihan lain, pemerintah harus melakukan percepatan
program-program sektor hulu dan hilir migas.
Sudah banyak program yang digagas para
pemangku kebijakan, tetapi cenderung kurang terpadu, sehingga pelaksanaannya
tersendat oleh berbagai hambatan lintas sektoral, teknis dan nonteknis, baik di
pusat maupun daerah. Program migas perlu ditangani secara lintas sektor, tak
cukup oleh satu atau dua instansi, tetapi harus mengajak seluruh pemangku
kebijakan terkait dengan menanggalkan ego sektor.
Belum lama ini Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono akhirnya menerbitkan Inpres No 2 Tahun 2012 yang menginstruksikan
agar seluruh pemangku kebijakan dan pemangku kepentingan, baik di pusat maupun
daerah, melakukan koordinasi untuk meningkatkan produksi minyak minimal 1,01
juta barrel per hari pada 2014.
Untuk mengejar target 1,01 juta barrel per
hari pada 2014 dan membalikkan neraca defisit menjadi surplus, perlu strategi
dan kerja keras.
Sektor Hulu
Strategi pertama, merevisi UU Migas No
22/2001. Sudah banyak kajian akademis dan pembahasan terkait hal ini, baik di
ranah legislatif maupun eksekutif. Sebaiknya DPR tak menunda lagi, segera
tuntaskan sehingga ada kepastian bagi pemangku kebijakan dan calon investor. UU
migas yang baru diharapkan menghilangkan tumpang-tindih kewenangan
antarinstansi terkait serta memacu program eksplorasi dan eksploitasi di
seluruh Indonesia, terutama Indonesia timur dan wilayah perbatasan.
Strategi kedua, menyempurnakan kontrak kerja
sama bagi hasil (PSC), terutama kontrak baru, disesuaikan dengan kondisi sosial
ekonomi Indonesia yang lebih aktual, termasuk lajunya pertumbuhan ekonomi,
jumlah penduduk, jumlah kendaraan dan lainnya yang bermuara pada membengkaknya
volume impor minyak dan BBM.
Penyempurnaan kontrak diarahkan pada
peningkatan penguasaan volume di dalam negeri oleh negara tanpa merugikan
investor, termasuk tata cara pengembalian biaya operasi (cost recovery) tak
lagi dibayar oleh volume migas (natura), tetapi dibayar dengan uang tunai.
Investor dijamin tetap mendapatkan hak ”bagi hasil” dalam bentuk volume migas
(natura).
Melalui strategi ini volume minyak dalam
negeri akan bertambah sekitar sepertiga volume lifting sebagai tambahan bahan
baku kilang domestik sehingga kebutuhan impor berkurang sekitar 300.000 barrel
per hari. Pemerintah dapat menawarkan insentif ke investor sebagai bentuk
kompensasi sehingga tak mengurangi keuntungan dan hak investor.
Strategi ketiga, segera bentuk dan kembangkan
lembaga Dana Abadi Migas (Petroleum Fund) yang salah satu tujuannya adalah
menyiapkan sumber dana abadi untuk menggali selengkap mungkin informasi dan
data kebumian. Dengan lengkapnya data bawah tanah, diharapkan setiap penawaran
lahan eksplorasi akan menarik minat perusahaan kelas dunia sehingga segera
meningkatkan angka cadangan minyak Indonesia, dari cadangan terbukti 3,7 miliar
barrel menjadi sedikitnya 10 miliar barrel dalam waktu lima tahun kedepan.
Strategi keempat, membesarkan kemampuan dan
kapasitas perusahaan minyak nasional (national oil company/NOC). Saat negara
mengalami krisis ekonomi, terbukti NOC sering jadi penyelamat. NOC harus diberi
peran lebih strategis tanpa mengabaikan peran investor dalam dan luar negeri.
Melalui UU seyogianya negara memfasilitasi kerja sama saling menguntungkan
antara NOC dan investor sehingga kedaulatan energi nasional lebih terjamin.
Strategi kelima, mempercepat perkembangan
energi alternatif, baru, dan terbarukan yang selama tiga dasawarsa belum
memberikan kontribusi menggembirakan bahkan cenderung jalan di tempat.
Penggunaan energi di Indonesia masih tergantung energi fosil (minyak, gas bumi,
dan batubara), yaitu 95,21 persen. Penggunaan energi terbarukan hanya 4,79
persen. Pemerintah harus lebih realistis menargetkan perkembangan energi
nonfosil agar tak terjebak dalam krisis energi karena terlena oleh program yang
kurang membumi.
Sektor Hilir
Strategi pertama di ranah hilir adalah
penghematan energi, terutama di sektor industri sebagai penyerap energi
terbesar, yaitu 51,86 persen dari total penggunaan energi nasional. Pengguna
terbesar berikutnya sektor transportasi 30,77 persen, diikuti rumah tangga
13,08 persen. Penghematan energi di sektor industri dan transportasi sangat
mendesak untuk menghemat cadangan energi fosil, terutama minyak yang kian
terbatas. Pemerintah harus membangun program penghematan di seluruh tingkatan
pengguna yang lebih terukur.
Strategi kedua, segera tambah kilang
domestik. Wacana sudah dimulai 1998, tetapi hingga kini belum ada realisasi.
Apabila Indonesia tak sanggup menambah kapasitas kilang, impor BBM 2030 minimal
akan mencapai 72 persen dari total kebutuhan atau sekitar 2,5 kali lipat
produksi BBM nasional. Guna meraih margin dari investasi satu kilang baru
sekitar 9 miliar dollar AS, investor perlu insentif, baik fiskal maupun
nonfiskal, sepanjang insentif yang diminta wajar.
Strategi ketiga, konversi BBM ke gas secara
bertahap. Perlu strategi yang lebih terstruktur dan terukur, terutama
kelengkapan infrastruktur dan alokasi gas bumi yang konsisten. Strategi ini
harus dibarengi keberanian memangkas subsidi BBM secara bertahap dan
berkeadilan.
Terakhir, sektor migas Indonesia masih
membutuhkan masuknya modal asing sehingga seluruh strategi—baik hulu maupun
hilir—perlu dukungan perbaikan iklim investasi—baik di pusat maupun
daerah—terutama terkait masalah tata ruang, perizinan, otonomi daerah,
perpajakan, birokrasi, sentimen anti-asing, dan lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar