Hakim
dan Kacamata Kuda
Sudjito, GURU BESAR DAN KETUA PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM UGM
Sumber
: KOMPAS, 2 Maret 2012
Diwartakan dalam sejumlah media edisi Kamis,
2 Februari 2012, bahwa Harifin Andi Tumpa sebelum pensiun sebagai ketua
Mahkamah Agung membuat pernyataan bahwa seorang hakim harus melihat suatu
peristiwa dari nilai-nilai yang harus ditegakkan.
Jadi, ”Hakim itu bukan hanya melihat dengan
kacamata kuda atas suatu peristiwa hukum. Kritik dari masyarakat sangat penting
untuk membuka mata para hakim,” katanya.
Pernyataan itu disampaikan terkait
dengan putusan kasasi perkara Rasminah yang dihukum 130 hari karena bersalah
mencuri bumbu dapur dan barang milik majikannya.
Awam bertanya-tanya. Sindiran macam apa yang
dimaksud dengan ”kacamata kuda” itu? Kalangan pengkaji hukum mudah mencernanya.
Itu tak lain hukum formal yang tekstual tertulis di dalam perundang-undangan.
Dengan kata lain, hakim berkacamata kuda
adalah hakim yang senantiasa tekstual dalam memutus perkara. Bak teknisi
komputer, hakim tipe ini sekadar pencet tombol untuk mencocokkan antara perkara
dan program yang ada di dalamnya sehingga keluarlah hasilnya berupa vonis.
Mudah dan sederhana.
Mereka tak lagi berpikir bahwa tersangka yang
dihadapi adalah manusia yang punya jiwa, perasaan, dan hidupnya kontekstual
dengan berbagai keadaan yang mengimpitnya. Tersangka tak beda dengan barang
yang boleh dan bisa diolah sesuai dengan program komputer. Manusiawikah hakim
ini? Masyarakat berhak menilainya.
Terlepas dari benar tidaknya bahwa pada
umumnya hakim di negeri ini berkacamata kuda, dapat dipastikan bahwa ada
motivasi tertentu di balik munculnya sebuah vonis. Motivasi itu bermacam-macam.
Pertama, ada yang memutus perkara atas dasar
pertimbangan untung rugi yang dihitung secara material. Inilah tipe hakim
”pedagang”. Hakim tipe ini secara terselubung sering terlibat suap-menyuap.
Cepat kaya, tetapi kalau malang, cepat pula masuk hotel prodeo. Pada
gilirannya, hanya tersangka yang kaya yang bisa menang. The have always come
out the head, but the poor must pay more, kata Marc Galanter.
Kedua, memutus perkara karena takut sehingga
tak mandiri. Ada desakan dan campur tangan kekuasaan politik serta kekhawatiran
bahwa kariernya dikebiri. Vonis berkiblat demi keamanan serta kenyamanan diri
sendiri dan keluarga tanpa peduli apa pun nasib tersangka. Inilah tipe hakim
”budak” majikan.
Ketiga, hakim memutus perkara atas dasar
pertimbangan sosial kemasyarakatan. Suara dan kritik serta budaya hukum yang
dihadapi tersangka menjadi unsur penting untuk diperhitungkan. Inilah tipe
hakim sosiologis kultural.
Populer dan Disegani
Bisanya hakim tipe ini populer dan disegani
masyarakat meski sering harus menanggung risiko dibenci sesama teman sejawat.
Hakim nirkarier di Mahkamah Agung umumnya peka terhadap suara hati masyarakat
itu. Hakim Artidjio Alkostar, yang di dalam perkara Rasminah berbeda pendapat
dengan anggota majelis hakim lain, boleh jadi termasuk ke dalam tipe ini.
Keempat, hakim memutus didorong kekuatan
spiritual dari dalam kalbu sehingga hati nurani memegang peran. Vonis tak lain
merupakan pengejawantahan isi hati nurani. Tak ada bohong, dusta, dan kezaliman
tebersit di dalamnya. Pasal-pasal dari perundang-undangan hanyalah alat
pelengkap dan bukan penentu kadar berat ringannya vonis. Sikap, perilaku, dan
vonis hakim diabdikan kepada Sang Pencipta. Dia tipe hakim spiritual-religius.
Tak jarang mereka bersemadi atau menegakkan
shalat tahajud sebelum memutus perkara. Bisikan rabbaniah menjadi faktor
penting untuk diperhatikan dan mewarnai vonisnya. Bagi hakim tipe ini,
irah-irah vonis yang berbunyi ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa” mendapatkan makna yang sebenarnya dan bukan sekadar slogan kosong.
Kacamata kuda memang pantas dan indah untuk
kuda. Kuda itu binatang. Alangkah naif jika sindiran itu ternyata mengena pada
hakim-hakim di negeri ini.
Hakim adalah jabatan terhormat yang diberikan
kepada manusia yang memiliki kualifikasi tertentu. Jangan sampai amanah ini
dipelesetkan sehingga martabat hakim jatuh: tak ubahnya seekor kuda. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar