Jumat, 23 Maret 2012

Tidak Ada Teka-teki


Tidak Ada Teka-teki
Ahmad Yani Basuki, STAF KHUSUS PRESIDEN RI
SUMBER : SINDO, 23 Maret 2012



Salah satu kelemahan analisis sebagian pengamat dalam memotret kinerja pemerintah, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), akhir-akhir ini adalah terlalu cepat mengambil kesimpulan sehingga membuat pemaknaan terasa subjektif.
Saya melihat hal ini juga ada dalam artikel opini Teka-teki Kekhawatiran SBY, yang ditulis Prof Syamsuddin Haris (SINDO, 20/3). Terbaca ada beberapa “kejanggalan pandangan” dari tulisan tersebut sehingga mengaburkan fakta dan realita yang sebenarnya.

Pertama, pandangannya bahwa Presiden SBY terlalu berlebihan atas pernyataannya bahwa ada gerakan “aneh-aneh” menumpang demonstrasi penolakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM) dan ingin menjatuhkan pemerintah. Pandangan ini rasanya terlalu mengabaikan masalah substansialnya. Pernyataan Presiden tersebut harus dipahami sebagai upaya pembelajaran ke publik mengenai pentingnya menjaga esensi demokrasi.

Dalam demokrasi, pergantian kepemimpinan nasional berlangsung secara periodik melalui pemilihan umum. Karena itu, pihak-pihak yang ingin merebut kekuasaan haruslah melalui jalur tersebut. Tidak ada opsi lain yang diizinkan dalam demokrasi. Sekarang mari kita lihat apakah kesimpulan Prof Syamsuddin Haris bahwa gerakan menolak kenaikan BBM masih wajar benar atau tidak.

Dalam beberapa pernyataan tokoh dan elite yang menolak kenaikan BBM, mereka tak hanya menentang harga bahan bakar yang naik, tapi juga bertekad menurunkan Presiden SBY. Sejumlah laporan intelijen yang masuk ke Presiden mengindikasikan ada gerakan yang mengarah penumbangan kekuasaan secara inkonstitusional tersebut. Begitu juga informasi dan lontaran-lontaran ancaman SMS yang ditujukan kepada Presiden melalui saluran telepon seluler (ponsel) terbuka Ibu Ani Yudhoyono.

Seberapa pun orang mengukur besar- kecilnya, tetapi itu jelas ada. Atas laporan yang semacam itu, respons Presiden SBY sungguh tidak berlebihan. Tidak ada kecemasan dan kerisauan karena sistem pengamanan sudah bekerja sebagaimana mestinya. Berlebihan jika seperti pada masa lalu, yang semacam ini bisa saja dilakukan penangkapan atau tindakan represif lainnya.

Konsisten dengan komitmennya untuk terus mempromosikan kehidupan demokrasi, Presiden SBY hanya merespons dengan memanfaatkan saluran demokrasi yang ada, dalam hal ini media. Melalui media Presiden mengajak masyarakat dan memperingatkan elite-elite agar tidak membuat langkah-langkah yang mencederai demokrasi.

Dalam kaitan ini saya yakin Prof Syamsuddin Haris sangat memahami pentingnya konsolidasi demokrasi, sebagaimana dipaparkan secara detail oleh Samuel P Huntington. Tanpa ada konsolidasi demokrasi yang on the track, demokrasi hanya akan menyajikan kebebasan tanpa arah yang kontraproduktif.

Kedua, perihal pandangannya bahwa Presiden SBY “curhat” juga dimaknai terlalu berlebihan. Kata curhat dalam terminologi sistem demokrasi tidak dikenal. Yang ada adalah komunikasi politik, satu bentuk dialog dua arah antara pemerintah dan masyarakat. Ada beberapa turunan komunikasi; antara lain dialog, musyawarah, negosiasi, diplomasi, lobi, hingga approach.

Semuanya mengedepankan soft power (baca: komunikasi), daripada hard power (konfrontasi atau kekerasan). Ketika menghadapi demonstran yang mengarah pada penggulingan kekuasaan secara inkonstitusional, Presiden Soekarno pernah menyampaikan pernyataan: “Saya tidak mau didongkel dengan cara yang demikian ini. Dengan cara gelap-gelapan. Dengan cara pamflet-pamflet gelap, dengan cara gelap-gelapan yang lain. Demikian juga dengan KAMI saya berkata, saya tidak senang perbuatan-perbuatan ini.” (Presiden Soekarno, 15 Januari 1966, di Istana Negara).

Dari pernyataan di atas, apakah secara substansial ada perbedaan signifikan dengan yang disampaikan Presiden SBY? Jelas tidak. Meskipun timing-nya berbeda, substansinya sama yaitu Presiden memperingatkan semua pihak, terutama pihak yang berseberangan dengan pemerintah untuk menaati konstitusi. Apakah yang demikian dipandang dan dipredikati sebagai “curhat”? Rasanya tidak tepat dan tidak proporsional jika istilah curhat dikembangkan dalam konteks ini.

Ketiga, tidak ada kegamangan Presiden SBY dalam menaikkan harga BBM seperti yang digambarkan Prof Syamsuddin Haris. Kebijakan ini sudah disusun sejak 2011 serta terus mengalami kajian untuk menemukan opsi-opsi terbaik yang tidak memberatkan rakyat. Awalnya pemerintah menggulirkan rencana pembatasan BBM subsidi untuk mobil pribadi.

Karena infrastruktur yang belum siap, sementara harga minyak dunia terus merangkak naik, opsi kenaikan harga yang akhirnya diambil. Dalam konteks manajemen, mengingat kebijakan BBM merupakan isu yang sensitif dan terkait hajat hidup rakyat, perencanaan yang matang mutlak diperlukan. Perencanaan matang itu oleh pihak lain dianggap sebagai “mengulur-ulur waktu”.

Itu adalah persoalan lain. Pemerintah tak berniat mengambil kebijakan yang tak bisa dieksekusi atau tak realistis dengan kondisi kita saat ini. Dengan demikian, tidak ada teka-teki sebagaimana ditulis Prof Haris. Jika Prof Syamsuddin Haris mengikuti perkembangan permasalahan ini dengan cermat, saya yakin tidak demikian pandangan yang dilontarkan.

Justru yang membuat situasi saat ini cenderung bising dan melebar ke mana-mana adalah kurang cepatnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam merespons usulan kenaikan harga oleh pemerintah. Dengan kata lain, bola sekarang ada di tangan DPR mengingat kebijakan yang diambil pemerintah ini tidak mungkin ditetapkan tanpa persetujuan Dewan. Jika DPR dapat cepat memberi keputusan, gonjang-ganjing politik dan ekses-ekses lainnya dapat diminimalisasi.

Dasar pengajuan APBN-P oleh pemerintah ke DPR pun cukup realistis mengingat ada kenaikan harga minyak mentah dunia sehingga kondisi itu mengubah asumsi harga minyak pada APBN 2012. Sebagaimana kita ketahui, saat penyusunan APBN asumsi terhadap harga minyak mentah sekitar USD90 per barel. Sementara saat ini harga ICP terus merangkak naik ke level USD120 per barel.

Hal ini karena perkembangan perekonomian global penuh dengan ketidakpastian. Salah satunya adalah krisis ekonomi Eropa yang belum dapat diatasi hingga gejolak politik di sejumlah negara Timur Tengah yang terus memanas. Dari sejumlah kajian, terungkap juga bahwa subsidi BBM sebagian besar dinikmati oleh kelompok menengah dan atas.

Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada 2011 subsidi BBM mencapai Rp92,8 triliun atau mengalami kenaikan dari besar subsidi tahun lalu yang hanya Rp88,9 triliun. Pada 2010 sekitar 60% subsidi diserap oleh premium dan lebih dari separuh jumlah itu dinikmati para pengguna mobil pribadi.

Fakta paling mengenaskan dari kebijakan itu adalah 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan terendah hanya menerima alokasi subsidi sebesar 15%. Sementara itu, 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%. Terlihat jelas kelompok masyarakat mana yang sesungguhnya menikmati subsidi BBM selama ini.

Sungguh tidak adil bila saat pemerintah tengah dipusingkan dengan lonjakan harga minyak dunia, pada saat yang sama dana subsidi BBM itu justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu. Semoga kita dapat berpikir jernih dari isu kenaikan BBM ini serta tidak berlebih-lebihan dalam melakukan pemaknaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar