Jumat, 23 Maret 2012

Menghindari Kebijakan BLT


Menghindari Kebijakan BLT
Laode Ida, WAKIL KETUA DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) RI
SUMBER : JAWA POS, 23 Maret 2012



GAGASAN pemerintah untuk kembali memberikan santunan langsung kepada para warga miskin di negeri ini dalam wujud bantuan langsung tunai (BLT) sebagai kompensasi temporer atas (akan) naiknya harga BBM (jika ''dipaksakan'' mulai 1 April nanti) mengingatkan kita kepada pendekatan karitatif (charity approach) dalam strategi pengembangan masyarakat yang sebenarnya sudah ditinggalkan bahkan ditolak lantaran bertentangan dengan filosofi dan prinsip pemberdayaan warga (people empowerment).

Kebijakan seperti itu merupakan ekspresi nyata dari penyelenggara negara yang terbiasa berpikir instan dengan memosisikan masyarakat sebagai kelompok target yang harus (selalu) disantuni - suatu wujud kebuntuan dalam menemukan alternatif strategis yang lebih produktif. Tampaknya, pemerintah merasa sangat khawatir. Di satu sisi merasa ''harus'' mengikuti tuntutan ekonomi pasar sehingga harus menaikkan harga BBM. Di sisi lain sangat ketakutan akan terjadinya gelombang penolakan massa yang bukan mustahil berimplikasi kepada terjadinya instabilitas politik sekaligus akan tergoyangnya kursi penguasa sebelum berakhir periode resmi masa jabatan.

Artikel singkat ini bermaksud memberikan catatan kritis sekaligus mengingatkan pemerintah dan seluruh warga bangsa ini agar menghindari diwujudkannya gagasan pemberian BLT itu. Mengapa? Pertama, pemberian atau pembiasaan santunan akan berdampak kepada masyarakat yang bermental ''tangan menengadah'' atau akan selalu mengharapkan belai-kasihan dari pihak lain. Implikasinya jelas sangat negatif, yakni akan terbangunnya budaya malas, yang dalam jangka panjang niscaya menghambat kreativitas dan produktivitas sebagian warga bangsa ini. Tepatnya, masyarakat miskin akan tetap diposisikan untuk terus-menerus lemah dan bergantung kepada pemerintah -suatu kontribusi terbesar negara meniadakan kemandirian bagi sebagian warganya.

Lebih dari itu, pemberian santunan kerap menimbulkan kondisi patologis yang lebih parah bagi kelompok targetnya lantaran uang tunai yang diterima disalahgunakan seperti untuk membeli dan mengonsumsi narkoba dan sejenisnya. Bahkan, berdasar kesaksian sebagian aktivis perempuan, seperti pernah dicermati oleh Sarah Lery Mboik (sekarang anggota DPD dapil NTT), pemberian BLT pada masa-masa lalu justru tak jarang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Betapa tidak. Uang diterima oleh laki-laki (suami) sebagai kepala rumah tangga digunakan untuk minum-minuman beralkohol dan atau main judi. Dan, parahnya lagi, ketika sang istri menanyakan atau meminta uang santunan, sang suami malah balik memarahi dan atau memukulinya.

Kedua, pemberian santunan hanyalah merupakan bagian dari terapi kejut (shock therapy) bersifat sementara, tidak menjawab permasalahan masyarakat miskin dalam jangka panjang. Bahkan, boleh dikatakan cara seperti itu sebagai akal-akalan pemerintah untuk memuluskan kebijakannya yang berwatak neoliberalisme. Pemerintah seolah-olah memperhatikan rakyat, padahal sesungguhnya sedang membuai kelompok marginal itu untuk tidur nyenyak agar tak bersikap kritis atau marah kepada kelompok elite yang sedang berkuasa yang berkolaborasi dengan kekuatan modal.

Logika empirisnya sangat sederhana untuk mendukung konstelasi di atas. Soalnya, nilai nominal BLT pasti tak akan sebanding atau jauh dari cukup untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari di tengah akan naiknya harga berbagai kebutuhan pokok. Malahan, bagi penerima santunan yang juga menggunakan telepon seluler (HP), bukan mustahil hanya akan habis dalam sekali atau dua kali mengisi pulsa. Selain itu, pemerintah belum atau tidak memiliki skenario yang jelas apakah setelah pemberian santunan (pada akhir 2012 atau awal 2013) selanjutnya warga miskin otomatis meningkat pendapatannya hingga selanjutnya?

Ketiga, pemberian BLT boleh jadi hanya akan memapankan budaya politik uang (money politics) di negeri ini. Soalnya, rakyat tak akan henti-hentinya menerima suguhan uang, mulai dari para politikus atau calon pejabat dalam pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden/wakil presisden, dan pemilihan kepala daerah (pemilukada), hingga pada santunan bulanan dari rezim yang sedang berkuasa. Ya, begitulah negara yang sedang dikuasai atau dikendalikan para Sinterklas yang sebenarnya hanya merusak mentalitas dan moralitas rakyat miskin secara berkelanjutan.

Kalau kecenderungan seperti itu terus dipertahankan, atau jika kebijakan pemberian BLT terus dipaksakan untuk diwujudkan, boleh dikatakan bahwa penyelenggara negara ini sungguh-sungguh mengalami disorientasi, sudah sangat malas berpikir strategis jangka panjang untuk pemberdayaan masyarakatnya. Sebaliknya bersikap sangat pragmatis jangka pendek dengan hanya bagi-bagi uang, mengikuti arus dan siasat ''amoral'' dari politisi dan sebagian pejabat yang terbiasa atau demikian bebas melakukan politik uang.

Tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa pendekatan yang selalu mengedepankan materi untuk merebut dan mempertahankan jabatan, tampaknya, telah menghilangkan akal sehat dari sebagian pengambil kebijakan dan penguasa di negeri ini. Maklum, total materi yang diakumulasi melalui cara-cara itu pastilah jauh lebih banyak ketimbang uang yang dikucurkan kepada rakyat yang memilih. Apalagi, dana BLT berasal dari anggaran negara, tidak menguras kantong pribadi, sehingga para pengambil kebijakan benar-benar merasa tak ada beban untuk memboroskan. Toh yang akan merasakan dampak moralitas dan ketakberdayaan jangka panjang adalah pihak rakyat miskin, sementara penguasanya segera berganti pada 2014 mendatang.

Kondisi seperti itu sungguh memprihatinkan karena merupakan pola-pola penanganan masalah sosial dalam derajat peradaban yang rendah. Padahal, kalaupun kelak toh harga BBM harus dinaikkan dan rakyat miskin pastilah akan lebih menderita, sebenarnya terdapat segudang pendekatan dan cara pemberdayaan rakyat miskin yang bisa dilakukan dengan tidak memosisikan mereka layaknya ''pengemis yang terus bergantung''. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar