Terorisme
Global (2)
B.J.
Habibie, MANTAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SUMBER : REPUBLIKA, 17 Maret 2012
“Pesantren
dan para kyai dapat sangat membantu upaya pencegahan terorisme dengan cara peningkatan
iman dan takwa (imtak) melalui sistem pembudayaan yang menonjolkan
"cinta" dalam arti yang luas.”
Dalam
melakukan aksinya, para teroris itume lakukan berbagai upaya kerja sama
regional dan internasio nal. Mereka menyalahgunakan proses globalisasi untuk
mengembangkan jaringan organisasi kriminal dan teror internasional, yang
merugikan kualitas ketenteraman, kualitas kesejahteraan, dan kualitas hidup
umat manusia (Alqaidah, IRA, Brigade Merah, dan lainnya).
Untuk
menghadapi semua ini dibutuhkan pendekatan, pemikiran, dan strategi yang baru
dan canggih dengan memanfaatkan teknologi yang paling tepat dan berguna. Hanya
dengan meningkatkan kerja sama internasional atau global dalam memerangi
kejahatan dan terorisme, kita dapat mengembangkan dunia yang lebih tenteram,
sejahtera, dan damai.
Diperlukan
pemikiran dan peninjauan kembali bentuk dan konsep “pertahanan dan keamanan
negara“, baik menyangkut sistem maupun lembaganya. Kalau pada saat ini sistem
pertahanan dan keamanan cenderung lebih diarahkan pada skenario perang dan
gangguan keamanan yang “klasik konvensional“, apakah tidak perlu ditambahkan
perhatian pada masalah ketenteraman (human
security)?
Di
samping itu, akibat ancaman yang semakin kompleks, tidak jelas dan tidak nyata
“musuh“ yang dihadapi, maka diperlukan teknologi sistem persenjataan dengan
struktur dan platform baru yang disesuaikan dengan taktik. Yaitu, dengan
menciptakan metode dan cara perang terorisme dan kejahatan pada tingkat
nasional, regional, dan global.
Kerja
sama internasional dan regional sangat penting dilaksanakan dengan prasyarat
peningkatan ketahanan nasional sebagai andalan utama dalam menghadapi terorisme
global yang beroperasi nasional. Indonesia tidak terkecuali.
Bangsa
Indonesia adalah masyarakat pluralistis atau masyarakat bineka yang menjunjung
tinggi nilai-nilai agama dan budaya. Kebinekaan dapat disalahgunakan menjadi
suatu “ketidak-cocokan“ atau uncompatbility antara golongan, suku, dan etnik.
Keadaan demikian dapat bersinergi dengan gerakan sejenis di mancanegara melalui
jaringan internasional dan regional. Kelompok ekstrem dan radikal dapat
menyalahgunakan “ketidak-cocokan“ menjadi terorisme dengan memanfaatkan segala
prasarana teror untuk menyukseskan pelaksanaan program atau ideologi kelompok
kecil melalui destabilisasi pemerintah yang sah dan mengganggu ketenteraman
masyarakat luas.
Namun
sebaliknya, jikalau “kebinekaan“ dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan kerja
sama atau sinergi positif antara golongan, suku, dan etnik maka produktivitas
dan daya saing masyarakat dapat ditingkatkan. Hal tersebut telah terbukti pada
masyarakat Amerika Serikat sejak awal berdirinya USA dan pada masyarakat Jerman
sejak 50 tahun yang lalu.
Kelompok
radikal “kanan“ di Indonesia telah beberapa kali berusaha memanfaatkan terorisme
untuk memperjuangkan cita-cita yang secara damai tidak dapat mereka capai.
Pemboman di Hotel Mariot di Jakarta pada 2003 dan di Bali pada 2005 adalah
salah satu contoh kerja sama teroris regional Hambali alias Riduan Isamuddin
dengan teroris nasional.
Karena
kegagalan hegemoni kiri dunia, kekuatan teroris “radikal ekstrem kiri“ tak
dapat diandalkan lagi oleh kelompok “radikal ekstrem kiri“ di mana saja mereka
beroperasi secara nasional, termasuk di Indonesia. Karena itu, hanya kelompok
radikal ekstrem kanan atau kelompok radikal etnik saja yang pada waktu ini
dapat menyalahgunakan kebebasan pemanfaatan teknologi canggih untuk tindakan
teror mereka.
Terorisme
adalah akibat tindakan manusia yang secara radikal dan kekerasan hendak
memaksakan kehendak. Oleh karena itu, kualitas hidup, sikap, dan produktivitas
sumberdaya manusia (SDM) yang pada akhirnya sangat menentukan. Kualitas
pendidikan, pembudayaan, dan lapangan kerja merupakan prasarana “antiterorisme“
yang paling handal.
Pesantren
dan para kyai dapat sangat membantu upaya pencegahan terorisme dengan cara
peningkatan iman dan takwa (imtak)
melalui sistem pembudayaan yang menonjolkan “cinta“ dalam arti yang luas. Cinta
dalam arti yang luas berarti cinta antardua manusia, antarsesama manusia,
antara manusia dan lingkungannya, dan cinta manusia kepada tugas, karya, serta
keterampilannya melalui penguasaan Iptek.
Bukankah
Allah SWT yang menciptakan seluruh alam semesta, termasuk semua kehidupan di
dalamnya? Apakah mungkin Allah SWT membenci karya dan ciptaan-Nya sendiri?
Dari
kedua pertanyaan tersebut, dapat kita mengambil kesimpulan untuk secara
sistematik mengembangkan SDM secara sempurna sehingga dapat mencegah
berkembangnya terorisme di mana saja sepanjang masa. Harapan saya, para ulama
pesantren dapat memberikan saran dan masukan mengenai bagaimana cara
“pembudayaan dan pendidikan“ yang harus dikembangkan dan dilaksanakan di
pesantren. Insya Allah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar