Lumpuhnya
Tangan Republik
Donny
Gahral Adian, DOSEN
FILSAFAT POLITIK UI
SUMBER : KOMPAS, 16 Maret 2012
Rakyat sedang menghitung hari menuju kenaikan
harga BBM. Pemerintah pun sibuk menyiapkan argumen etis untuk menopang
kebijakan ini.
Argumen yang paling sering dilontarkan adalah
keadilan distribusi. Subsidi BBM yang dinikmati kelas menengah mencerminkan
ketidakadilan. Keadilan baru paripurna jika subsidi dikurangi dan sebagai
gantinya mekanisme sosial seperti bantuan langsung tunai (BLT) dijalankan. Kita
tenggelam dalam argumentasi ini. Alhasil, kritik direduksi jadi
ketidakberpihakan ke nasib rakyat kecil. Kebijakan yang sejatinya tak populis
jadi terkesan populis karena dibedaki logika keadilan.
Sesat Pikir
Pertanyaannya, apakah logika keadilan kenaikan
harga BBM dapat diterima akal sehat publik? Logika keadilan tersebut adalah self-fulfilling prophecy karena dia yang
menaikkan harga adalah dia yang membagikan BLT. Ini persis perkataan seorang
pengusaha pupuk yang mencalonkan diri jadi bupati, ”Apabila rakyat memilih
saya, pupuk pasti murah.”
Kedua, kenaikan harga BBM akan memukul semua
orang tak peduli kaya atau miskin. Rakyat miskin pun bakal sulit membeli beras
yang harganya naik akibat biaya distribusi yang melonjak. Kebijakan BLT
sejatinya narkotika politik. Itu membuat rakyat berhalusinasi bahwa hidupnya
tertolong oleh kenaikan harga BBM. Padahal, rakyat menderita akibatnya naiknya
harga bahan pokok dan BLT menjaga agar dia dapat bertahan dalam penderitaannya.
Klaim bahwa subsidi BBM hanya menguntungkan
kelas menengah berbenturan dengan fakta bahwa 65 persen BBM dikonsumsi
masyarakat dengan pengeluaran per kapita di bawah 4 dollar AS per hari. Di
dalam 65 persen itu terdapat 29 persen yang pengeluaran per kapita kurang dari
2 dollar AS per hari. Sebelum rencana pengurangan subsidi dikemukakan,
pemerintah sejatinya sudah menaikkan harga BBM bersubsidi untuk nelayan.
Pemerintah harus berjibaku dengan fakta lapangan seperti itu sebelum menepuk
dada sebagai ”dewa penyelamat” rakyat kecil.
Pengusaha juga bakal terpukul dengan kenaikan
harga BBM. Biaya produksi membengkak dan akibatnya produk jadi tak kompetitif
di pasaran. Alhasil, kenaikan harga BBM akan membuka arus impor barang murah
dari luar negeri. Kenaikan harga BBM akan melunturkan daya saing produk bangsa
sendiri di hadapan produk bangsa lain.
Contoh kasus sudah sangat kentara.
Brebes sebagai penghasil bawang merah terbaik se-Indonesia megap-megap melawan
bawang merah impor dari India dan Thailand. Kita dapat membayangkan akibatnya
bagi para petani bawang jika harga BBM dinaikkan.
Tangan Kiri
Sejatinya sebuah republik memiliki dua
tangan. Tangan kanan dipakai untuk mencabut proteksi, mengurangi pajak orang
kaya, mengetatkan anggaran, dan meminta bantuan lembaga keuangan internasional
apabila diperlukan. Tangan kiri sebaliknya dipakai untuk menjamin akses
kebutuhan dasar bagi rakyat miskin, menguatkan daya saing pengusaha nasional,
dan memberi insentif bagi inovasi lokal yang bermanfaat bagi kesejahteraan
umum.
Tangan kanan bersandar pada logika pasar yang
hanya melihat hubungan manusia sebagai relasi ekonomi belaka. Sementara tangan
kiri bersandar pada logika konstitusi yang melihat hubungan manusia lebih dari
sekadar jual beli. Tangan kiri republik ini, misalnya, bergerak ketika melihat
kenyataan bagaimana rakyat miskin tidak mampu mengakses layanan kesehatan
akibat minimnya daya beli.
Kenaikan harga BBM adalah indikasi lumpuhnya
tangan kiri republik. Pemerintah memiliki argumen untuk menerangkan stroke
sosial yang mendera republik ini. Harga minyak dunia yang meroket dijadikan
alibi bagi kelumpuhan tersebut. Pemerintah tidak dapat berbuat apa-apa kecuali
menaikkan harga BBM guna menyehatkan APBN. Beban subsidi yang membengkak
disinyalir akan membuat APBN berjalan tertatih dan jalan darah perekonomian pun
tersumbat.
Kembali, kita dapat mempersoalkan argumen
ini. Apakah lumpuhnya tangan kiri republik dikarenakan sebab-musabab eksternal
atau internal. Atau, lebih parah lagi, tangan kiri republik sengaja dilumpuhkan
demi tegaknya fundamentalisme pasar.
Mari kita turun ke lapangan faktual. Dalam
kurun 2005-2012, anggaran belanja birokrasi naik dari 39,6 persen ke 51,4
persen, sedangkan anggaran subsidi BBM turun dari 18,8 persen ke 8,7 persen.
Apa artinya ini, politik anggaran yang dijalankan pemerintah memang sejak awal
tak berpihak kepada rakyat. Hak rakyat atas bahan bakar murah dikorbankan di
altar birokrasi yang korup dan tidak efisien.
Fakta itu membuktikan betapa tangan kiri
republik ini memang tak mau digerakkan. Semakin tangan kiri digerakkan, semakin
jauh republik melangkah dari logika pasar. Pasar tak mengenal tangan. Dia hanya
mengenal ”tangan yang tidak kelihatan”, yang sejatinya adalah tangan kanan
republik. Dengan demikian, tangan kiri dan tangan kanan republik berbanding
terbalik. Semakin leluasa tangan kiri republik, semakin terbelenggu tangan
kanannya. Demikian pula sebaliknya.
Republik ini, meminjam istilah Negri (2009),
republik kaum berpunya (republic of
property). Kaum berpunya dapat membeli BBM berapa pun harganya. Sebaliknya,
kaum tak berpunya tak sanggup membeli beras ketika harga melambung. Republik
kaum berpunya adalah republik tanpa tangan kiri. Republik yang didirikan
semata-mata untuk melindungi kaum berpunya, at
any cost. Padahal, kita tahu betapa konstitusi memberi kekuatan penuh bagi
berfungsinya tangan kiri republik. Atau, pemerintah (yang mengatasnamakan
republik) sengaja mematahkan tangan kirinya guna mengkhianati konstitusi? Kita
lihat saja nanti. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar