Selasa, 20 Maret 2012

Teologi BLT dan Politisasi BLT


Teologi BLT dan Politisasi BLT
Fajar Kurnianto, PENELITI PUSAT STUDI ISLAM DAN KENEGARAAN (PSIK)
UNIVERSITAS PARAMADINA, JAKARTA
SUMBER : JAWA POS, 20 Maret 2012



Awal April ini, harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium dan solar akan dinaikkan. Alasannya, harga minyak dunia meroket, sehingga subsidi pemerintah untuk BBM membengkak. Guna mengurangi dampak yang meluas bagi masyarakat, terutama lapisan bawah, pemerintah kembali menjalankan kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) atau bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM). Kali ini nilainya naik, dari semula Rp 100.000 per bulan menjadi Rp 175.000. Total yang dianggarkan mencapai Rp 25 triliun untuk sekitar 70 juta masyarakat miskin.

Teologi BLT

Sebuah ungkapan menyebutkan, ''Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.'' Ungkapan tersebut dikatakan Nabi Muhammad berkaitan dengan soal memberi. Bahwa orang yang memberi itu mulia. Kebalikannya, orang yang meminta-minta adalah hina. Dalam agama (baca: Islam) dikatakan, orang yang meminta-minta kelak pada hari kiamat menghadap Tuhan dengan wajah yang tidak berdaging.

Nabi juga pernah mengatakan: ''Sesungguhnya aku ini hanyalah bendaharawan. Siapa yang aku beri karena kebaikan hatiku, maka dia mendapat keberkahan; dan siapa yang aku beri karena dia meminta-minta, maka dia seperti orang yang makan dan tidak akan kenyang.''

Bisa jadi, itu adalah alasan teologis -selain alasan ekonomis- pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan BLT. Bahwa memberi itu adalah mulia. Pemerintah memberi bukan karena diminta masyarakat, tapi inisiatif. Jadi, dalam hal ini, secara teologis, pemerintah memberi karena kebaikan hati, bukan karena masyarakat meminta-minta. Masyarakat pun, dalam perspektif ini, tidak hina karena mereka tidak meminta-minta, tapi diberi.

Jadi, kebijakan pemerintah baik. Tampaknya logis, tapi sebetulnya tidak. Justru terkesan memilah-milah alasan dan mengambil yang sesuai untuk pembenaran. Alasan tersebut justru memperlihatkan betapa tidak komprehensifnya pemahaman terhadap agama. Mengambil agama secara parsial, sepotong-sepotong, tidak utuh.

Dalam ajaran agama sebenarnya disebutkan juga, memberi yang bisa berdampak lama dan luas itu jauh lebih mulia. Jadi, memberi dengan tujuan yang diberi nanti bisa memberi kepada yang lain. Yakni, memberi dengan tujuan memberdayakan secara berkelanjutan sampai yang diberi itu berdaya sehingga mampu memberi kepada orang lain.

Dikisahkan, ada seorang pengemis datang meminta-minta kepada Nabi yang sedang berkumpul dengan para sahabat. Melihat kehadiran pengemis itu, beliau lantas bertanya, ''Apakah kamu mempunyai sesuatu di rumahmu?'' Dia menjawab, ''Ya, aku mempunyai pakaian yang biasa dipakai sehari-hari dan sebuah cangkir.'' Beliau berkata, ''Ambil dan serahkan kepadaku.''

Pengemis itu langsung bergegas pulang dan kembali dengan membawa cangkir. Nabi kemudian menawarkan cangkir itu kepada para sahabat, ''Adakah di antara kalian yang ingin membeli ini?''

Seorang sahabat menyahut, ''Saya beli dengan 1 dirham.'' Beliau kemudian menawarkannya kepada sahabat yang lain. Sahabat yang lain sanggup membeli dengan harga 2 dirham. Beliau kemudian memberikan 2 dirham itu kepada si pengemis. Beliau meng­harapkan uang tersebut digunakan untuk membeli makanan buat keluarganya dan sisanya digunakan untuk membeli kapak.

''Carilah kayu yang banyak dan juallah. Selama dua minggu ini, aku tidak ingin melihatmu,'' kata beliau.

Dua minggu kemudian, pengemis itu datang kembali menghadap Nabi, tapi tidak untuk mengemis. Dia datang kepada beliau membawa uang 10 dirham hasil berjualan kayu. Nabi kemudian menyuruh dia membeli pakaian dan makanan untuk keluarganya.

Beliau berkata, ''Hal itu lebih baik bagi kamu karena meminta-meminta hanya akan membuat noda di wajahmu di akhirat nanti. Tidak layak bagi seseorang meminta-minta kecuali dalam tiga hal: fakir miskin yang benar-benar tidak mempunyai sesuatu, utang yang tidak bisa terbayar, dan penyakit yang membuat seseorang tidak bisa berusaha.''

Politisasi BLT?

Memberi memang merupakan salah satu amal saleh dan mulia. Tapi, memberi yang bersifat untuk memberdayakan orang yang diberi sehingga bisa berdaya sebetulnya jauh lebih mulia. Itulah yang sesungguhnya diajarkan Nabi. Memberi itu mudah dan banyak orang yang melakukannya. Tapi, memberi yang bersifat memberdayakan secara berkelanjutan itu tidak banyak dilakukan. Termasuk di antaranya, pemerintah dalam soal BLT. Pemerintah sekadar memberi untuk sesaat, tidak memberikan cara agar yang diberi itu jadi berdaya.

Ibarat memberi ikan tapi tidak memberi kailnya. Nabi memberi ''BLT'' kepada pengemis itu senilai 2 dirham. Tapi, beliau juga menyuruhnya untuk membagi ''BLT'' 2 dirham itu. Satu untuk keluarganya dan satu lagi untuk modal usaha, yaitu membeli kapak untuk memotong kayu lalu dijual. Itulah yang tidak dilakukan pemerintah terkait dengan BLT.

Karena itu, wajar jika aroma politis BLT -yang bersifat sementara karena tanpa program pemberdayaan masya­rakat agar lebih lama berdaya itu- lebih terasa daripada niat tulusnya. Ibarat ungkapan: ada udang di balik batu. Ada aroma kuat pencitraan politik di dalamnya. Apalagi, para politikus di partai penguasa (Partai Demokrat) tengah didera berbagai kasus hukum yang belum beres.

Survei LSI beberapa waktu lalu menyebutkan penurunan elektabilitas cukup signifikan Partai Demokrat, sedangkan Partai Golkar dan PDIP, misalnya, naik drastis. BLT seperti menjadi strategi politik untuk ''merebut'' kembali simpati publik yang ''dirampas''. Tidak hanya bagi pemerintah, tapi juga Partai Demokrat. Jika betul seperti itu motif BLT tersebut, jelas itu merupakan pendidikan politik yang buruk. Bisa terkategori ''suap'' secara halus. Simpati rakyat ''dibeli'' dengan BLT, betapa tidak eloknya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar