“Singo
Edan” Mencari Keadilan!
Rini
Kustiasih, WARTAWAN KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 13 Maret 2012
Indra Azwan (53), warga
Blimbing, Malang, Jawa Timur, selama 19 tahun mencari keadilan atas kasus
tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993. Pelaku
dinyatakan bebas setelah pengadilan militer menilai kasus Indra sudah
kedaluwarsa. Sebagai bentuk perjuangan, ia melakukan aksi jalan kaki dari
Malang menuju Jakarta untuk menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sabtu
(10/3), Indra sampai di Cirebon, Jawa Barat.
”Singo Edan ojok digarai! Nek digarai, ngerti
dhewe akibate!” Jangan bikin gara-gara dengan Singo Edan, jika bikin gara-gara,
tahu sendiri akibatnya! Begitulah ungkapan kekesalan sekaligus kepedihan Indra
Azwan (53), pria asal Blimbing, Malang.
Ia nekat berjalan kaki dari Malang ke Jakarta
untuk menuntut keadilan bagi anaknya dan mengembalikan uang Rp 25 juta kepada
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Indra yang lekat dengan atribut ”Singo
Edan”—julukan bagi klub sepak bola Arema—telanjur digarai dengan tidak
tuntasnya kasus hukum tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), oleh
Joko Sumantri, seorang polisi, tahun 1993. Saat itu Joko berpangkat letnan
satu, atau kini inspektur satu. Saat ini Joko berpangkat komisaris.
”Hati saya hancur. Saya enggak bisa
membayangkan betapa sakitnya anak saya diperlakukan seperti itu. Setelah
ditabrak, kok, ditinggal begitu saja,” ujarnya setengah memekik.
Rifki ditabrak saat akan menyeberang pulang
seusai belajar kelompok di Jalan S Parman, Malang, Jawa Timur.
Indra, yang kehilangan anak sulungnya ini,
Sabtu (10/3), beristirahat di Cirebon, Jawa Barat, setelah 22 hari berjalan
kaki. Ia berangkat dari Malang, 18 Februari 2012. Ketika dihubungi kembali,
Senin sore, ia sudah sampai di Pamanukan, Subang, Jawa Barat.
Di dalam mushala sebuah SPBU di Jalan Brigjen
Darsono, Cirebon, Indra membersihkan lecet di kakinya dengan mengusapi alkohol
dan mengganti plester. Ketika plester itu dibuka, tampaklah lubang-lubang merah
berair di telapak kakinya. Kuku jari kelingking yang sebelah kiri bahkan hampir
copot. ”Semestinya saya memakai sepatu ukuran 40, tetapi rusak di tengah jalan.
Ini saya pakai sepatu cadangan ukuran 39, agak kekecilan,” ujarnya.
Untuk perjalanan Malang-Jakarta yang berjarak
887 kilometer, Indra membawa uang Rp 670.000. Istrinya, Betty Bernatiani (44),
memaksa Indra agar mau membawa Rp 600.000 dari keuntungan lapak kelontong
mereka. Sisanya, Rp 70.000, adalah uang pribadi Indra. ”Saya enggak khawatir
kurang makan. Di jalan nanti banyak sekali yang memberi makan, minum, bahkan
ada yang memberi uang,” ujarnya.
Jika lelah berjalan dan malam menjelang,
Indra selalu mencari SPBU terdekat. Biasanya ia tidur di mushala atau lantai
kosong di teras kantor SPBU. Di mana saja asal ada ruang untuk berselonjor,
Indra memanfaatkannya. Untuk sekadar menghangatkan badan, ia mengenakan sarung
yang dibawanya dari rumah. Ia membawa tiga celana panjang dan empat kaus
bergambar Singo Edan, lambang kebanggaan Arema (Arek Malang).
Bagi Indra yang pendaki gunung ini, terpaan
angin dan hujan sudah biasa. Ia paling suka mendaki Semeru. Hampir setiap bulan
bapak empat anak ini mendaki gunung tertinggi di Jawa itu.
Kenekatan berjalan kaki Malang-Jakarta pun
sudah diperhitungkan matang sesuai kondisi tubuhnya. Ini adalah perjalanan yang
ketiga. Pada perjalanan pertama, yakni Juli-Agustus 2010, Indra ditemui
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Hatinya kala itu girang sekali.
Pada pertemuan itu hadir juga Menteri
Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis
Akbar, dan Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana. ”Dalam
sidang kabinet waktu itu Presiden menugaskan mereka dan Kapolri agar kasus
Indra dituntaskan,” katanya.
Selama 19 tahun, Indra tersiksa karena
menyaksikan penabrak anaknya melenggang bebas dari jerat hukum. Dalam putusan
Pengadilan Militer Tinggi III Surabaya bernomor PUT/05-K/PMT.III/POL/II/ 2008,
Joko dibebaskan dari segala tuntutan karena kasusnya dianggap kedaluwarsa,
yakni melewati waktu 12 tahun sejak kecelakaan tahun 1993 hingga dibukanya
sidang tahun 2008. Padahal, pada putusan yang sama, majelis hakim yang dipimpin
Kolonel Laut AR Tampubolon membenarkan terdakwa (Joko) secara sah dan
meyakinkan terbukti melakukan tindak pidana ”yang karena kealpaannya
menyebabkan matinya orang lain”.
Selama rentang waktu 1993-2008, Indra
berkali-kali bertanya kepada polisi ataupun Detasemen Polisi Militer Malang
mengenai kelanjutan kasus Rifki. Namun, ia dianggap angin lewat.
Pada pertemuan dengan Presiden, 10 Agustus
2010, Indra kemudian diminta bertemu pegawai rumah tangga istana. Indra lalu
diberi amplop berisi uang Rp 25 juta. Namun, kasus anaknya masih
terkatung-katung juga.
Pada 27 September 2011, ia jalan kaki lagi ke
Jakarta. Namun, saat sampai di Nagreg, Jawa Barat, Oktober 2011, ia tak bisa
melanjutkan. ”Saya sakit perut karena keracunan susu cokelat setelah makan di
warung,” ujarnya.
Sekarang, kepergiannya ke Jakarta sekali lagi
untuk menuntut keadilan, dan mengembalikan uang Rp 25 juta kepada Presiden.
Indra akan menagih janji Presiden untuk menuntaskan kasus anaknya. ”Bukan
amplop ini yang saya cari. Saya menginginkan keadilan untuk kasus anak saya.”
Bagi Indra, perjuangan ini tak semata-mata
untuk kepentingan pribadinya. ”Ada ribuan orang yang mungkin nasibnya seperti
saya. Dengan aksi ini saya mengimbau indra-indra yang lain muncullah. Jangan
takut!”
Aksi seperti dilakukan Indra, menurut pendiri
Forum Diskusi Hukum Bandung Memet Ahmad Hakim, adalah ekspresi kekecewaan dan
ketidakpercayaan masyarakat yang kian memuncak terhadap proses hukum yang
diselenggarakan negara.
Ekspresi berbeda dilakukan warga Lampung yang
menuntut keadilan dengan menjahit mulut.
Terlepas dari suasana hukum di Tanah Air yang
gonjang-ganjing, Indra hanyalah seorang bapak yang berharap masih ada
kepedulian di hati para pemimpin negeri ini…. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar