Ketahanan
Rezim Assad
Ibnu Burdah, DOSEN ADAB UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
SUMBER : KOMPAS, 10 Maret 2012
Baik
dari sisi politik maupun di lapangan, kemampuan rezim Assad untuk bertahan
sudah kian lemah. Seiring terus bertambahnya korban dan situasi yang tak
terkendali di Suriah, tekanan politik berbagai pihak agar Bashar al-Assad
segera melimpahkan kekuasaannya semakin kuat.
Liga
Arab yang dimotori Qatar dan negara-negara Arab Teluk lain terus berjuang
mencari dukungan internasional untuk menyingkirkan rezim itu. Formulasi
”Teluk”-Eropa bagi penyelesaian Suriah, sebagaimana usul Maroko, sementara ini
memang belum berhasil memperoleh dukungan Dewan Keamanan PBB akibat veto Rusia
dan China.
Posisi
Rusia yang memiliki hubungan historis cukup panjang dengan Suriah dan China
selaku aktor kuat baru di Timur Tengah menjadi krusial bagi perkembangan Suriah
sekarang. Secara tradisional, kedua anggota DK PBB itu memang berpihak kepada
rezim Assad. Meski demikian, hubungan kedua negara yang berupaya meningkatkan
pamornya di kawasan itu dengan Suriah boleh dibilang pragmatis.
Semakin
terpojoknya rezim Assad dipastikan akan memengaruhi sikap dua negara itu ke
depan. Apalagi Dewan Nasional Suriah di bawah kepemimpinan intelektual ternama
Burhan Ghilyun, Liga Arab, dan Barat terus berupaya meyakinkan kedua negara
bahwa jatuhnya rezim Assad tak akan mengganggu kepentingan keduanya di kawasan
ini.
Jika
Rusia dan China sudah yakin mengenai jaminan bagi masa depan kepentingan mereka
di kawasan ini pasca-Assad, perubahan sikap kedua negara itu atas Suriah
kemungkinan besar terjadi seperti yang terjadi pada kasus lain selama ini.
Setidaknya kedua negara itu akan membiarkan rezim Assad jatuh atau
”digulingkan” sebagaimana Khadafy.
Posisi Iran
Iran
dikenal sebagai sekutu paling strategis bagi rezim Assad. Dalam posisi sekarang
Iran jelas salah satu sandaran penting bagi rezim itu untuk bertahan. Hubungan
keduanya sangat kuat dan mendalam dalam waktu yang lama: diikat oleh kesamaan
sekte Islam yang dianut serta kesamaan sebagai kekuatan perlawanan terhadap AS
dan Israel. Dalam kondisi Suriah yang semakin terpojok, muncul pertanyaan:
apakah Iran benar-benar akan membela kesetiaan hubungan ini dengan pengorbanan
besar?
Jatuhnya
rezim Assad memang dipastikan amat merugikan Iran dari segi apa pun. Salah satu
yang penting adalah terputusnya jalur ”pasokan” bantuan Iran kepada Hizbullah
di Lebanon dan Hamas di Gaza atau sebaliknya. Itu berarti kekuatan geopolitik
Iran melemah drastis, terutama terhadap AS dan Israel.
Suriah
memang jalan aman bagi jalur hubungan itu. Sebaliknya, berkurangnya pengaruh
Iran terhadap kedua kekuatan perlawanan itu sangat menguntungkan Israel dan
negara-negara Arab poros AS. Namun, Iran tampaknya tak akan mengorbankan
kepentingan strategis dan stabilitas keamanan negerinya, apalagi kesintasannya
membela persahabatan ”sejati” itu.
Gejala
perubahan sikap Iran terhadap Suriah, kendati amat samar, sudah tampak di
permukaan dari pernyataan Menlu Iran Ali Akbar Salehi agar rezim Assad
mendengarkan tuntutan rakyatnya dan kabar penarikan ”sejumlah personel pasukan
elite” Iran dari Suriah.
Kabar terakhir, seperti dilansir Asharg al Awsat, Iran
telah meminta Assad mengundurkan diri.
Padahal,
Iran selama 10 bulan gerakan rakyat di Suriah terus lantang menuding gerakan
rakyat di negeri itu sebagai bentuk konspirasi dan intervensi asing, tidak
signifikan karena hanya mewakili segelintir orang, serta sebaliknya menyebut
rezim Assad sudah cukup banyak melakukan perubahan. Salah satu pejabat tinggi
Iran menyampaikan pernyataan yang lebih tegas bahwa rezim Assad bukanlah
aliansi ideal bagi Iran. Hal itu sepertinya merujuk kepada watak sekuler
ideologi Baathis negeri itu dan perbedaan aliran Syiah-nya.
Televisi
Al-Arabiyyah milik Saudi dan harian al-Syarq al-Awsath bahkan gencar
memberitakan dan berupaya membuktikan bahwa Iran sesungguhnya sudah
menanggalkan hubungannya dengan Assad serta sudah mulai berpikir mengenai
Suriah pasca-Assad. Kepala Dewan Keamanan Iran Said Jalily, pemimpin tertinggi
Khomenai, dan petinggi Iran lain diberitakan telah memberi perintah mencari
calon potensial untuk menjadi pemimpin Suriah pasca-Assad.
Jika
Iran benar-benar mulai berpaling, meski retorika luarnya masih terkesan
mendukung, lantas kepada siapa lagi rezim ini mengharapkan dukungan untuk tetap
bertahan? Dukungan rakyat Suriah jelas makin menipis. Mobilisasi pendukung
hanya memperkeruh keadaan, apalagi jika kemudian berbenturan dengan demonstran
yang menuntut perubahan. Angkatan bersenjata Suriah, baik darat, udara, maupun
laut, sudah terpecah.
Elite Tentara
Yang
masih bisa diharapkan barangkali adalah sebagian elite tentara dari sekte
Alawiyyin dan milisi Syabiha. Anak-anak muda ”militan” ini masih mungkin
menerima doktrin Assad bahwa kekuatan asing yang hendak menghancurkan Suriah
sekarang adalah Saudi dan antek-anteknya, kelompok Salafi, yang akan melakukan
pemusnahan terhadap sekte Syiah Alawiyyah sebagaimana cerita sejarah.
Karena
itu, apa pun harus dilakukan untuk mempertahankan Suriah. Ini tentu yang paling
mengerikan dan menjadi penyebab semakin banyaknya jatuh korban. Namun,
anak-anak muda itu lambat laun pasti semakin menyadari realitas sesungguhnya di
lapangan. Sementara itu, tentara level menengah ke bawah sangat sulit
diharapkan ”kesetiaannya” karena banyak dari mereka berasal dari sekte Sunni.
Kaum
Alawiyyah disebut-sebut menjadi perlindungan terakhir bagi rezim Assad. Namun,
beberapa kelompok Alawiyyin ternyata sudah menyatakan bahwa mereka tak terlibat
dalam konflik di negaranya, termasuk untuk membela rezim Assad.
Assad
juga bukan dari keluarga pembesar sekte Alawi itu. Demonstrasi kelompok
Alawiyyin di London justru menegaskan bahwa sebenarnya hanya sebagian kecil
dari kelompok Alawiyyin Suriah yang mendukung Assad tetap bertahan: orang-orang
dekat yang menjadi kroninya yang memperoleh banyak keuntungan dari rezim.
Jatuhnya
(penjatuhan) rezim Assad sepertinya tinggal menunggu waktu. Kecil sekali
kemungkinan rezim ini mampu bertahan dalam waktu yang lama kendati sudah
menggunakan segala cara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar