Tata
Kelola OJK
Miko
Kamal,
DOKTOR HUKUM BISNIS,
PENULIS DISERTASI TENTANG "LEGAL GOVERNANCE BUMN"
DI MACQUARIE UNIVERSITY, AUSTRALIA
SUMBER : REPUBLIKA, 20 Maret 2012
Hasil
seleksi tahap III (seleksi kesehatan) calon komisioner lembaga baru Otoritas
Jasa Keuangan (OJK) sudah diumumkan. Sebanyak 37 orang calon dinyatakan lolos.
Sekarang sedang berlangsung seleksi kompentensi (seleksi tahap IV).
Dewan
Komisioner OJK (DK-OJK) yang dibentuk dengan tujuan mendorong pemantapan
kegiatan jasa keuangan dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat
adalah perintah langsung Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang OJK yang
diundangkan pada 22 November 2011. Pasal 56 menegaskan bahwa paling lama
delapan bulan sejak UU itu diundangkan, DK-OJK harus sudah terbentuk.
Menghitung bulan, sekitar empat bulan lagi (akhir Juli 2012) biduk DK-OJK harus
siap berlayar.
UU
mengamanatkan bahwa anggota DK-OJK berjumlah sembilan orang yang ditetapkan
oleh keputusan presiden. Dua di antara sembilan anggota DK-OJK merupakan utusan
Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan utusan
Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I.
Tiga
dari sembilan anggota DK-OJK akan mengisi kursi eksekutif, yaitu eksekutif
pengawas perbankan, eksekutif pengawas pasar modal, dan eksekutif pengawas
perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan
lainnya. Masing-masing komisioner yang menduduki kursi eksekutif disebut
sebagai kepala eksekutif.
Hemat
saya, penyerahan tugas sebagai kepala eksekutif kepada tiga orang komisioner
DK-OJK, secara kelembagaan, pembentuk UU dengan sengaja membagi komisioner
menjadi dua kelompok, kelompok eksekutif dan noneksekutif. Hal ini dibenarkan
oleh pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa kepala eksekutif adalah anggota
Dewan Komisioner yang melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner.
Dengan
demikian, UU ini memperkenalkan struktur organisasi baru yang berbeda sama
sekali dengan komisi-komisi negara yang sudah ada sebelumnya.
Struktur baru ini sama persis dengan struktur organisasi perusahaan di negara-negara common law, seperti Australia, Singapura, Amerika, dan Malaysia yang dikenal dengan model one-tier board. Di bawah model one-tier board, pelaksana (eksekutif) perusahaan menyatu dengan pengawas (noneksekutif) dalam sebuah board yang disebut board of directors.
Struktur baru ini sama persis dengan struktur organisasi perusahaan di negara-negara common law, seperti Australia, Singapura, Amerika, dan Malaysia yang dikenal dengan model one-tier board. Di bawah model one-tier board, pelaksana (eksekutif) perusahaan menyatu dengan pengawas (noneksekutif) dalam sebuah board yang disebut board of directors.
Sebagai
negara bekas jajahan salah satu negara pionir sistem hukum civil law (Belanda), Indonesia mempraktikkan model two-tier board. Model ini menarik garis
batas yang tegas dan antara pelaksana (eksekutif) dan pengawas perusahaan
(noneksekutif).
Tak bisa Dikawinkan
UU
juga menjelaskan bahwa OJK memiliki struktur organisasi dengan prinsip checks and balances dengan memberi
kewenangan yang sama pada elemen internal organisasi untuk saling mengawasi dan
di antara elemen tidak ada yang lebih dominan. Dalam banyak literatur
governance (tata kelola), checks and
balances adalah prinsip utama yang harus ada dalam sebuah organisasi.
Prinsip
check and balances harus dikawinkan
secara hati-hati dengan soft instrument lainnya
yang berlaku di organisasi itu. Sebagaimana yang tertera di dalam pasal 1 angka
2 UU, OJK bersandar pada sifat kolektif dan kolegial dalam pengambilan
keputusan. Sifat pengambilan keputusan yang kolektif dan kolegial bermakna
bahwa semua keputusan adalah keputusan bersama.
Dalam konteks DK-OJK, keputusan yang dikeluarkan dalam rapat adalah keputusan DK-OJK secara kolektif.
Dalam konteks DK-OJK, keputusan yang dikeluarkan dalam rapat adalah keputusan DK-OJK secara kolektif.
Dari
sisi ilmu tata kelola, tindakan pembuat UU menyatukan prinsip checks and balances dengan sifat
kolektif dan kolegial di tubuh DK-OJK adalah sebuah kekeliruan. Dua hal ini
tidak dapat dikawinkan. Mengawinkan keduanya dengan sendirinya akan mengganggu
program pengawasan internal itu sendiri.
Betapa
tidak, misalnya, suatu hari nanti kepala eksekutif pengawas perbankan membawa
permohonan penggabungan beberapa bank ke forum DKOJK. Permohonan tersebut
kemudian disepakati oleh DK-OJK sebagai keputusan bersama, yakni keputusan
komisioner eksekutif dan noneksekutif. Berdasarkan prinsip checks and balances, seluruh anggota komisioner mengawasi hasil
keputusan yang mereka buat sendiri. Praktik ini populer disebut jeruk makan
jeruk.
Jeruk Makan Jeruk
Secara
keilmuan, prinsip jeruk makan jeruk adalah musuh utama tata kelola organisasi
modern. Prinsip ini akan menghambat efektivitas pengawasan di tubuh organisasi
itu. Bahkan, sebetulnya tidak ada pengawasan di dalam organisasi yang
menjalankan prinsip jeruk makan jeruk karena tidak mungkin seseorang atau organ
sebuah organisasi akan bertindak jujur dan objektif menilai, mengawasi, dan
menghukum keputusannya sendiri.
Di negara-negara common law yang mempergunakan model one-tier board, prinsip jeruk makan
jeruk telah dikoreksi total. Mereka tidak lagi mempraktikkan itu. Meskipun
mengumpulkan semua pemimpin perusahaan (directors)
dalam sebuah board, tetapi dalam
praktik mereka juga menarik garis batas yang jelas dan tegas antara executive
directors yang menjalankan tugas harian perusahaan dan nonexecutive directors yang hanya bertugas mengawasi tindakan executive directors dan mereka tidak
terlibat dalam mengeksekusi keputusan-keputusan yang berhubungan dengan
kegiatan harian perusahaan.
Tak lama lagi, layar OJK
segera terkembang. Kekeliruan pembuat UU mengawinkan dua hal yang secara
prinsip tidak bisa sejalan dapat mengganggu biduk OJK mengarungi lautan.
Tulisan ini tidak mempermasalahkan dari mana datangnya resep OJK. Poin tulisan
ini adalah kekhawatiran terhadap bermasalahnya tata kelola bidang pengawasan
lembaga super yang diprediksi akan punya sekitar 2.500 karyawan itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar