Selasa, 20 Maret 2012

Tata Kelola OJK


Tata Kelola OJK
Miko Kamal, DOKTOR HUKUM BISNIS,
PENULIS DISERTASI TENTANG "LEGAL GOVERNANCE BUMN" DI MACQUARIE UNIVERSITY, AUSTRALIA
SUMBER : REPUBLIKA, 20 Maret 2012



Hasil seleksi tahap III (seleksi kesehatan) calon komisioner lembaga baru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah diumumkan. Sebanyak 37 orang calon dinyatakan lolos. Sekarang sedang berlangsung seleksi kompentensi (seleksi tahap IV).

Dewan Komisioner OJK (DK-OJK) yang dibentuk dengan tujuan mendorong pemantapan kegiatan jasa keuangan dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat adalah perintah langsung Undang-Undang No 21 Tahun 2011 tentang OJK yang diundangkan pada 22 November 2011. Pasal 56 menegaskan bahwa paling lama delapan bulan sejak UU itu diundangkan, DK-OJK harus sudah terbentuk. Menghitung bulan, sekitar empat bulan lagi (akhir Juli 2012) biduk DK-OJK harus siap berlayar.

UU mengamanatkan bahwa anggota DK-OJK berjumlah sembilan orang yang ditetapkan oleh keputusan presiden. Dua di antara sembilan anggota DK-OJK merupakan utusan Bank Indonesia yang merupakan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan utusan Kementerian Keuangan yang merupakan pejabat setingkat eselon I.

Tiga dari sembilan anggota DK-OJK akan mengisi kursi eksekutif, yaitu eksekutif pengawas perbankan, eksekutif pengawas pasar modal, dan eksekutif pengawas perasuransian, dana pensiun, lembaga pembiayaan, dan lembaga jasa keuangan lainnya. Masing-masing komisioner yang menduduki kursi eksekutif disebut sebagai kepala eksekutif.

Hemat saya, penyerahan tugas sebagai kepala eksekutif kepada tiga orang komisioner DK-OJK, secara kelembagaan, pembentuk UU dengan sengaja membagi komisioner menjadi dua kelompok, kelompok eksekutif dan noneksekutif. Hal ini dibenarkan oleh pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa kepala eksekutif adalah anggota Dewan Komisioner yang melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Komisioner.

Dengan demikian, UU ini memperkenalkan struktur organisasi baru yang berbeda sama sekali dengan komisi-komisi negara yang sudah ada sebelumnya.
Struktur baru ini sama persis dengan struktur organisasi perusahaan di negara-negara common law, seperti Australia, Singapura, Amerika, dan Malaysia yang dikenal dengan model one-tier board. Di bawah model one-tier board, pelaksana (eksekutif) perusahaan menyatu dengan pengawas (noneksekutif) dalam sebuah board yang disebut board of directors.

Sebagai negara bekas jajahan salah satu negara pionir sistem hukum civil law (Belanda), Indonesia mempraktikkan model two-tier board. Model ini menarik garis batas yang tegas dan antara pelaksana (eksekutif) dan pengawas perusahaan (noneksekutif).

Tak bisa Dikawinkan

UU juga menjelaskan bahwa OJK memiliki struktur organisasi dengan prinsip checks and balances dengan memberi kewenangan yang sama pada elemen internal organisasi untuk saling mengawasi dan di antara elemen tidak ada yang lebih dominan. Dalam banyak literatur governance (tata kelola), checks and balances adalah prinsip utama yang harus ada dalam sebuah organisasi.

Prinsip check and balances harus dikawinkan secara hati-hati dengan soft instrument lainnya yang berlaku di organisasi itu. Sebagaimana yang tertera di dalam pasal 1 angka 2 UU, OJK bersandar pada sifat kolektif dan kolegial dalam pengambilan keputusan. Sifat pengambilan keputusan yang kolektif dan kolegial bermakna bahwa semua keputusan adalah keputusan bersama.
Dalam konteks DK-OJK, keputusan yang dikeluarkan dalam rapat adalah keputusan DK-OJK secara kolektif.

Dari sisi ilmu tata kelola, tindakan pembuat UU menyatukan prinsip checks and balances dengan sifat kolektif dan kolegial di tubuh DK-OJK adalah sebuah kekeliruan. Dua hal ini tidak dapat dikawinkan. Mengawinkan keduanya dengan sendirinya akan mengganggu program pengawasan internal itu sendiri.

Betapa tidak, misalnya, suatu hari nanti kepala eksekutif pengawas perbankan membawa permohonan penggabungan beberapa bank ke forum DKOJK. Permohonan tersebut kemudian disepakati oleh DK-OJK sebagai keputusan bersama, yakni keputusan komisioner eksekutif dan noneksekutif. Berdasarkan prinsip checks and balances, seluruh anggota komisioner mengawasi hasil keputusan yang mereka buat sendiri. Praktik ini populer disebut jeruk makan jeruk.

Jeruk Makan Jeruk

Secara keilmuan, prinsip jeruk makan jeruk adalah musuh utama tata kelola organisasi 
modern. Prinsip ini akan menghambat efektivitas pengawasan di tubuh organisasi itu. Bahkan, sebetulnya tidak ada pengawasan di dalam organisasi yang menjalankan prinsip jeruk makan jeruk karena tidak mungkin seseorang atau organ sebuah organisasi akan bertindak jujur dan objektif menilai, mengawasi, dan menghukum keputusannya sendiri.

Di negara-negara common law yang mempergunakan model one-tier board, prinsip jeruk makan jeruk telah dikoreksi total. Mereka tidak lagi mempraktikkan itu. Meskipun mengumpulkan semua pemimpin perusahaan (directors) dalam sebuah board, tetapi dalam praktik mereka juga menarik garis batas yang jelas dan tegas antara executive directors yang menjalankan tugas harian perusahaan dan nonexecutive directors yang hanya bertugas mengawasi tindakan executive directors dan mereka tidak terlibat dalam mengeksekusi keputusan-keputusan yang berhubungan dengan kegiatan harian perusahaan.

Tak lama lagi, layar OJK segera terkembang. Kekeliruan pembuat UU mengawinkan dua hal yang secara prinsip tidak bisa sejalan dapat mengganggu biduk OJK mengarungi lautan. Tulisan ini tidak mempermasalahkan dari mana datangnya resep OJK. Poin tulisan ini adalah kekhawatiran terhadap bermasalahnya tata kelola bidang pengawasan lembaga super yang diprediksi akan punya sekitar 2.500 karyawan itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar