Selasa, 20 Maret 2012

Pemilih Mata Duitan?

Pemilih Mata Duitan?
Luky Djani, WAKIL SEKRETARIS JENDERAL TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
SUMBER : REPUBLIKA, 20 Maret 2012



Salah satu `musuh' dalam pemilu adalah vote buying (jual beli suara) yang mendistorsi hasil pemilu se hingga menurunkan legiti masi pemilu. Sentimen publik umumnya menilai, pemilu sudah terkontaminasi dengan praktik kotor `politik uang' yang membelit dalam lingkaran setan. Penggunaan uang, barang, serta terkadang jasa untuk menggaet suara pemilih diduga menjadi salah satu faktor tingginya biaya pemilu.

Pengalaman di beberapa negara Asia menunjukkan praktik jual beli suara kenyataannya beradaptasi dengan kerangka hukum baru serta bertransformasi dalam bentuk lain (Schaffer dan Schedler 2007). Hal serupa juga terjadi di Indonesia jika kita membandingkan pola jual beli suara pada pemilu di pengujung rezim Orde Baru dibandingkan pada pemilu-pemilu pasca-Reformasi (Badoh dan Dahlan 2010).

Kegagalan Menghilangkan

Arus utama diskursus jual beli suara umumnya menyoroti pemilih, khususnya dari kelas miskin, yang begitu mudah menggadaikan suaranya dengan imbalan uang, sembako, ataupun material lainnya (Choi 2009, Hidayat 2009, Taylor 1996). Persepsi ini kental dengan bias pemahaman elitis atau middle class yang cenderung menghakimi kelompok masyarakat miskin. Pemilih yang mau menukarkan hak pilihnya sering dipersepsikan sebagai pemilih yang mata duitan sekaligus `amoral' dan dianggap tidak memahami hakikat konstitusional warga negara dalam demokrasi elektoral (Kuhonta 200, Laothamatas 1996, Thompson 2007). Solusi yang kerap ditawarkan adalah melakukan pendidikan pemilih.

Ramuan lain yang disodorkan adalah dengan menerapkan aturan hukum yang lebih ketat. Aturan perundangan dan penegakan hukum diyakini sebagai instrumen `rasional' dan imparsial yang dapat menepis irasionalitas dari pemilih ataupun mencegah keinginan untuk melakukan vote buying dari politisi maupun broker suara. Pendekatan seperti ini memandang masalah jual beli suara hanya sebagai masalah hukum dan karenanya pemecahannya adalah melalui kerangka legalistik dengan memperbanyak rambu-rambu aturan serta sanksi.
 
Pandangan ini pun bias karena memandang pemilu dan demokrasi hanya dari aspek prosedural atau dalam bahasa William Callahan (2005) sebagai proyek rasional teknokratis.

Apakah kedua ramuan di atas mujarab? Kenyataannya tidak. Mengapa solusi tersebut gagal? Beberapa ahli berargumen bahwa solusi atas penyimpangan pemilu, khususnya vote buying, tidak dianalisis menggunakan sudut pandang `penjual suara' (Hewison 2005, Laothamatas 1996, Schaffer 2007). Kondisi faktual relasi antara penjual dan pembeli dapat dijelaskan menggunakan framework patron-client atau reverse patron-clien relationship. Framework patron-client memandang para pemilih dari kelas bawah tersubordinasi dan menjadi client dari the ruling class yang umumnya berasal dari kaum elite. Framework reverse patron-clien relationship memandang sebaliknya, saat pemilu, pemilih dari golongan miskin memahami bahwa kandidat (umumnya berasal dari elite) membutuhkan suara mereka.

Kedua penjelasan tersebut di atas menitikberatkan pada rapuhnya rezim representasi politik. Jika ditelisik, lembaga representasi politik dipenuhi oleh individu yang umumnya berasal dari status sosial dan ekonomi menengah dan atas. Akibatnya, politik kebijakan dan penganggaran merupakan refleksi dari kepentingan kelompok menengahatas (Sherlock 2010). Bias kebijakan memperbesar ketimpangan politik dan ekonomi terlihat dari sulitnya akses kelompok warga kelas bawah dalam mendapatkan layanan publik serta akses terhadap kapital dan sumber daya.

Pemilu memberi peluang bagi warga miskin untuk mendapatkan material (dana) karena kebijakan dan perundangan tidak menjamin kebutuhan riil, seperti layanan sosial, akses atas kapital, serta kepastian hak atas tanah yang dihasilkan oleh lembaga politik. Memberikan suara saat pemilu merupakan upaya untuk menjamin akses terhadap sumber daya ekonomi dan layanan publik (Callahan 2005). Pemilih kelas bawah paham bahwa saat pemilulah mereka bisa `mendikte' kandidat, karena begitu terpilih, mereka akan dipinggirkan.

Pemaparan di atas menunjukkan, pemilih golongan bawah menyadari kekuatan daya tawar mereka terhadap kelompok elite dan memanfaatkan situasi tersebut. Pemilu menjadi ajang para pemilih dari kelas bawah melakukan tawar-menawar dengan kandidat yang umumnya kelompok/koalisi elite.

Solusi

Belajar dari pengalaman Thailand serta beberapa negara lainnya, solusi yang efektif guna meminimalkan praktik jual beli suara adalah menyeimbangkan relasi sosial-politik serta menghadirkan keadilan sosial-ekonomi. Ketimpangan struktural harus dirombak. Jika kebijakan-kebijakan dan program-program bisa menyentuh kebutuhan para pemilih dari kelas bawah, mereka memperoleh akses atas layanan publik, pengelolaan sumber daya alam, serta akses terhadap modal yang pada akhirnya menurunkan praktik jual beli suara (Callahan 2005).

Penting juga untuk memperbaiki rezim representasi politik. Aturan yang mensyaratkan kandidat harus memiliki latar belakang pendidikan tertentu terbukti menjadi entry barrier bagi calon `orang biasa' untuk berpartisipasi dalam kontestasi pemilu. Keharusan pendirian partai politik berdasarkan pada jumlah cabang dan pengurus di tingkatan sampai kecamatan juga menyulitkan kelompok petani, buruh, miskin kota untuk memiliki kendaraan politik yang merepresentasikan kepentingan mereka.●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar