Generasi
Korup
Budi
Hatees, PENELITI DI MATAKATA INSTITUTE
SUMBER : KORAN TEMPO, 20 Maret 2012
Salah satu sajak Toto Sudarto Bachtiar yang
pantas dibaca ulang akhir-akhir ini adalah "Pahlawan Tak Dikenal".
Sajak ini bercerita tentang anak muda yang mati dengan sebuah lubang peluru
bundar di dadanya. Ceritanya tentang heroisme anak muda yang tak takut mati
muda untuk merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Pada zaman pergerakan, di masa hiruk-pikuk
setelah Sukarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, darah anak muda bangsa
ini tumpah di tanah. Tak terhitung jumlahnya, darah mereka rembes dari
luka-luka bekas peluru di tubuhnya, sedangkan di bibir mereka terukir senyuman.
"Senyum bekunya ingin berkata: aku sangat muda," tulis Toto Sudarto
Bachtiar dalam sajaknya yang terkenal itu.
Kita memang selalu menghadapi perang. Setelah
merdeka, bahkan setelah puluhan tahun merdeka, bangsa ini selalu dalam situasi
perang. Sementara sebelumnya kita berperang melawan kolonialisme, akhir-akhir
ini musuh yang kita hadapi adalah diri kita sendiri--orang-orang yang telah
sukses belajar banyak dari kolonialisme sehingga berhasrat besar menghidupkan
kolonialisme yang baru.
Kolonialisme baru tidak membutuhkan senjata
penghancur seperti artileri dan peralatan tempur yang canggih. Hanya dibutuhkan
pengetahuan dan pengalaman yang andal tentang siapa sesungguhnya yang harus
dilawan, sehingga bisa dipahami siapa yang lebih dulu harus dilemahkan.
Dan, kita tahu kemudian, anak muda dengan
segenap energi dan emosi mereka yang senantiasa labil merupakan entitas yang
pertama kali harus dilemahkan. Inilah yang dilakukan para koruptor di negeri
ini, yang melancarkan perlawanan sengit terhadap segala upaya pemerintah dalam
menghapus penjajahan oleh tindak pidana korupsi dalam segala dinamika kehidupan
berbangsa dan bernegara, dengan melemahkan para anak muda.
Koruptor merekrut anak-anak muda, memberi
mereka harapan yang indah tentang gaya hidup glamor. Kita pun mencatat
anak-anak muda muncul di lingkungan aparat pemerintah, memiliki peran besar,
sehingga bisa mengakses dana negara dengan mudah. Di lingkungan partai politik,
anak-anak muda juga punya tempat khusus, seakan-akan mereka memiliki cukup
kemampuan untuk mengelola sebuah partai sebagaimana seharusnya.
Sesungguhnya keberadaan anak muda di dalam
institusi-institusi besar itu lebih mirip boneka si Gale-gale di Pulau Samosir.
Si Gale-gale muncul di hadapan publik seakan-akan lantaran mampu berdiri
sendiri, bergerak sendiri, dan menari tortor, padahal ada tali yang
menggerakkannya.
Anak-anak muda di institusi-institusi besar
itu tidak pernah menyadari bahwa mereka lebih mirip si Gale-gale. Ia diberi
peran besar, tanggung jawab yang luas untuk menentukan masa depan institusi
yang dipimpinnya, tapi kemudian dilemahkan dengan meruntuhkan citra dirinya
sebagai entitas yang menyebabkan kerusakan institusi. Mereka, anak-anak muda
itu, kemudian mendapat cap sebagai koruptor yang dibiarkan sendiri menghadapi
proses peradilan di hadapan para penegak hukum.
Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Partai
Demokrat, sesungguhnya karakteristik anak muda yang digerakkan oleh tali untuk
mengeruk dana-dana besar guna membiayai kegiatan partai. Tali-tali dipegang
oleh para elite partai yang duduk di lembaga legislatif, yang kemudian
mengarahkan sang boneka agar ikut dalam sejumlah tender proyek yang dibiayai
dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Bagi publik, sangat mengherankan bagaimana
bisa anggota legislatif terlibat dalam urusan proyek pembangunan Wisma Atlet
SEA Games. Tapi bukan hal yang mengherankan jika kita memahami bagaimana
pertarungan para elite partai politik untuk bisa mengelola anggaran negara.
Semuanya berkaitan, juga dengan kedudukan para menteri di lingkungan jajaran
birokrat. Jika menteri berasal dari elite partai, sudah galib bahwa seluruh
proyek APBN di lingkungan kementerian itu pasti menjadi hak elite partai si
menteri.
Tentu situasi ini memperburuk iklim di
lingkungan birokrasi pemerintah. Ketika menteri melanggengkan korupsi dengan
membangun jaringannya, para pejabat birokrat akan mengambil kesempatan ikut
larut dalam situasi buruk itu. Tentu para pejabat memiliki si Gale-gale lain
yang bisa digerak-gerakkan sesuai keinginan mereka, seperti halnya yang terjadi
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Anak muda adalah korban, boneka yang merasa
dirinya dipercayai oleh atasannya. Sayangnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan
Korupsi Busyro Muqoddas menyebut mereka sebagai hasil regenerasi dan kaderisasi
koruptor di lembaga pemerintahan dan partai politik. Publik pun sesungguhnya
memiliki penilaian yang sama. Bagi publik, terlibatnya sejumlah anak muda
sebagai pelaku tindak pidana korupsi menunjukkan korupsi telah beranak-pinak.
Tapi pendapat seperti ini pada akhirnya hanya
akan mengandung risiko yang tak remeh terhadap masa depan kehidupan berbangsa
dan bernegara. Kita tak bisa menyalahkan anak muda, karena sesungguhnya
keterlibatan mereka lebih disebabkan oleh citra mereka yang selama ini paling
bersih dari perkara korupsi.
Sejak persoalan korupsi merebak di negeri
ini, sebagian besar yang menjadi terpidana kasus korupsi berasal dari generasi
tua. Anak-anak muda justru menjadi sosok yang paling bersemangat mengkritik
keterlibatan para generasi tua dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Semangat anak-anak muda untuk memprotes sosok tua yang tetap ingin tampil,
seperti kritik yang diberikan kepada para pensiunan TNI yang ingin menjadi
pemimpin, sesungguhnya membawa pengaruh besar.
Para generasi tua secara perlahan-lahan
memberi kesempatan kepada generasi muda untuk tampil, tapi pengalaman generasi
tua memaksa mereka tidak sepenuhnya memberi peran. Dengan tali-tali di tangan,
para generasi tua menggerakkan anak-anak muda yang diberi kesempatan untuk
tampil, lalu mengatur mereka sebagai alat demi memenuhi hasrat generasi tua
untuk tetap berkuasa.
Pada tataran inilah bisa dibilang kedewasaan
berpikir dan pengalaman anak-anak muda masih rendah, sehingga mereka terlalu
cepat merasa puas atas apa yang didapatnya. Anak-anak muda tidak menyadari
sesungguhnya mereka hanya alat dan diperalat. Mereka baru tersentak ketika
mulai terjerembap dan ditinggalkan seperti halnya dialami Muhammad Nazaruddin
di tubuh Partai Demokrat.
Sesungguhnya perilaku korup tidak bisa
dilekatkan pada suatu generasi tertentu. Perilaku korup melekat pada diri
setiap manusia. Karena itu, terhadap anak-anak muda yang terlibat korupsi, kita
hanya bisa prihatin karena persoalan korupsi belum bisa diatasi di negeri ini
sambil mengenang situasi ketika Toto Sudarto Bachtiar menulis sajaknya yang
terkenal itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar