Selasa, 20 Maret 2012

Demokrasi, HAM, dan Kesejahteraan

Demokrasi, HAM, dan Kesejahteraan
Masduki Ahmad, SESJEN KOMNAS HAM
SUMBER : SUARA KARYA, 19 Maret 2012



Memasuki era reformasi, proses demokratisasi di Indonesia memperlihatkan kemajuan yang cukup signifikan. Pemilihan umum multipartai, pemilihan presiden, dan kepala daerah secara langsung adalah kemajuan dalam tahapan demokratisasi tersebut. Apalagi, kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi makin meningkat.
Kaum tertindas pun mampu menyuarakan keluhan mereka di depan publik. Sementara pemerintah sangat mudah dikritik apabila terlihat melakukan penyimpangan dan (pejabat pemerintah) bisa diajukan ke pengadilan jika terbukti melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.

Dengan asumsi bahwa pemilihan langsung akan menghasilkan pemimpin yang mampu membawa masyarakat ke kehidupan yang lebih baik, maka taraf kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun ke depan seharusnya meningkat. Sayang, hal ini belum terjadi secara signifikan sebagai akibat masih terlalu kuatnya kelompok yang pro-KKN dan antiperbaikan.

Demokrasi di Indonesia masih berada dalam masa transisi manakala berbagai prestasi muncul dan diiringi prestasi yang lain. Sebagai contoh, munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan mampu menimbulkan efek jera bagi para koruptor, yang beberapa di antaranya telah dijebloskan ke hotel prodeo. Namun, di sisi lain, para pengemplang dana BLBI mendapat pengampunan yang tidak sepadan dengan dosa-dosa mereka. Masih banyak kontroversi lain yang serupa.

Sistem politik mempunyai hubungan timbal balik dengan hukum serta berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap HAM. Dalam sistem politik diktator, hukum yang dihasilkan berwatak represif dan mempertahankan status quo. Pemerintahan diktator memiliki kekuasaan yang mutlak dan sentralistis sehingga dalam sistem ini oposisi tidak diberi ruang gerak sama sekali. Oposan hanya berperan sebagai aksesori politik saja.

Sebaliknya, dalam sistem politik demokratis, watak hukum yang dihasilkan bersifat responsif dan akomodatif. Sistem ini cukup memberikan penghormatan dan menjunjung tinggi HAM. Oleh karena itu, pemilihan sistem politik diktator atau demokratis suatu negara sangat tergantung pada politik hukum negara itu. Politik hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah undang-undang yang diberlakukan.

Amartya Sen, penerima Nobel bidang ekonomi, menyebutkan bahwa demokrasi dapat mengurangi kemiskinan. Pernyataan itu akan terbukti apabila pihak legislatif menyuarakan hak-hak orang miskin dan kemudian pihak eksekutif melaksanakan program-program yang efektif untuk mengurangi kemiskinan. Sayangnya, dalam masa transisi ini, hal itu belum terjadi secara signifikan.

Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat kesejahteraan ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah, demokrasi belum memberikan dampak ekonomi yang positif. Inilah tantangan yang harus dihadapi dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elite, sementara ekonomi adalah masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi dalam proses demokratisasi.

Salah satu kunci mempertahankan penegakan hukum dan stabilitas politik adalah menetapkan langkah konkret guna mengangkat taraf hidup, kesejahteraan, dan ketenteraman semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak/kurang beruntung. Keterkaitan penegakan HAM dengan demokrasi demi kesejahteraan hendaknya mendapat perhatian serius pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif bagi pelaksanaan hak-hak dasar warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar