Demokrasi,
HAM, dan Kesejahteraan
Masduki
Ahmad,
SESJEN KOMNAS HAM
SUMBER : SUARA KARYA, 19 Maret 2012
Memasuki era
reformasi, proses demokratisasi di Indonesia memperlihatkan kemajuan yang cukup
signifikan. Pemilihan umum multipartai, pemilihan presiden, dan kepala daerah
secara langsung adalah kemajuan dalam tahapan demokratisasi tersebut. Apalagi,
kebebasan mengeluarkan pendapat dan menyampaikan aspirasi makin meningkat.
Kaum tertindas pun mampu menyuarakan keluhan mereka di depan
publik. Sementara pemerintah sangat mudah dikritik apabila terlihat melakukan
penyimpangan dan (pejabat pemerintah) bisa diajukan ke pengadilan jika terbukti
melakukan kesalahan dalam mengambil suatu kebijakan publik.
Dengan asumsi bahwa pemilihan langsung akan menghasilkan pemimpin
yang mampu membawa masyarakat ke kehidupan yang lebih baik, maka taraf
kesejahteraan masyarakat Indonesia dalam beberapa tahun ke depan seharusnya
meningkat. Sayang, hal ini belum terjadi secara signifikan sebagai akibat masih
terlalu kuatnya kelompok yang pro-KKN dan antiperbaikan.
Demokrasi di Indonesia masih berada dalam masa transisi manakala
berbagai prestasi muncul dan diiringi prestasi yang lain. Sebagai contoh,
munculnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diharapkan mampu menimbulkan efek
jera bagi para koruptor, yang beberapa di antaranya telah dijebloskan ke hotel
prodeo. Namun, di sisi lain, para pengemplang dana BLBI mendapat pengampunan
yang tidak sepadan dengan dosa-dosa mereka. Masih banyak kontroversi lain yang
serupa.
Sistem politik mempunyai hubungan timbal balik dengan hukum serta
berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap HAM. Dalam sistem
politik diktator, hukum yang dihasilkan berwatak represif dan mempertahankan
status quo. Pemerintahan diktator memiliki kekuasaan yang mutlak dan
sentralistis sehingga dalam sistem ini oposisi tidak diberi ruang gerak sama
sekali. Oposan hanya berperan sebagai aksesori politik saja.
Sebaliknya, dalam sistem politik demokratis, watak hukum yang
dihasilkan bersifat responsif dan akomodatif. Sistem ini cukup memberikan
penghormatan dan menjunjung tinggi HAM. Oleh karena itu, pemilihan sistem
politik diktator atau demokratis suatu negara sangat tergantung pada politik
hukum negara itu. Politik hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah
undang-undang yang diberlakukan.
Amartya Sen, penerima Nobel bidang ekonomi, menyebutkan bahwa
demokrasi dapat mengurangi kemiskinan. Pernyataan itu akan terbukti apabila
pihak legislatif menyuarakan hak-hak orang miskin dan kemudian pihak eksekutif
melaksanakan program-program yang efektif untuk mengurangi kemiskinan.
Sayangnya, dalam masa transisi ini, hal itu belum terjadi secara signifikan.
Demokrasi di Indonesia terkesan hanya untuk mereka dengan tingkat
kesejahteraan ekonomi yang cukup. Sedangkan bagi golongan ekonomi bawah,
demokrasi belum memberikan dampak ekonomi yang positif. Inilah tantangan yang
harus dihadapi dalam masa transisi. Demokrasi masih terkesan isu kaum elite,
sementara ekonomi adalah masalah riil kaum ekonomi bawah yang belum diakomodasi
dalam proses demokratisasi.
Salah satu kunci mempertahankan penegakan hukum dan stabilitas
politik adalah menetapkan langkah konkret guna mengangkat taraf hidup,
kesejahteraan, dan ketenteraman semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah
yang tidak/kurang beruntung. Keterkaitan penegakan HAM dengan demokrasi demi
kesejahteraan hendaknya mendapat perhatian serius pihak eksekutif, legislatif,
dan yudikatif bagi pelaksanaan hak-hak dasar warga negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar