Selasa, 20 Maret 2012

Menolong Singo Edan Mencari Keadilan

Menolong Singo Edan Mencari Keadilan
Denny Indrayana, WAKIL MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UGM
SUMBER : SINDO, 20 Maret 2012



Indra Azwan—sang Singo Edan—berniat melaporkan kasus yang menimpanya kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebelumnya, 10 Agustus 2010, Indra sudah bertemu dengan Presiden SBY, saat itu didampingi Mensesneg Sudi Silalahi dan saya sendiri selaku Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, HAM & Pemberantasan KKN.
Sehari sebelumnya, 9 Agustus 2010, dalam satu pertemuan di Cikeas, saya menyarankan, ”Bapak Presiden, Indra Azwan sedang memperjuangkan keadilan. Dia mengatakan hanya ingin bertemu Presiden dan menyampaikan aspirasinya. Dia ingin bercerita bagaimana sulitnya orang kecil semacam dirinya mencari keadilan.” Saat itu beberapa pihak menyuarakan kekhawatirannya atas saran saya tersebut.

Alangkah banyaknya persoalan hukum yang nyaris serupa dengan yang dialami Indra Azwan. Jika Indra diterima maka akan membuka ”kotak pandora” mengalir derasnya kasus-kasus hukum relatif sejenis yang meminta bertemu langsung dengan Presiden. Padahal, prosesnya ada pada ranah penegakan hukum, yang sama sekali bukan wilayah otoritas Presiden untuk mencampuri ataupun memutuskannya. Namun, saya tetap memberikan masukan agar Presiden bertemu dengan Singo Edan.

Sebelumnya, saya meyakinkan sendiri, dan menanyakan langsung kepada Pak Indra Azwan, bahwa dia hanya ingin bertemu Presiden dan berbicara langsung. Saya meyakinkan Pak Indra, bahwa untuk suatu kasus hukum yang sedang berjalan, Presiden sekalipun tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan intervensi. Pak Indra mengatakan,” Sungguh, Pak. Saya hanya ingin bertemu dan menyampaikan langsung kepada Presiden. Bagi saya, bertemu Presiden saja sudah cukup”.

Atas masukan saya agar bertemu Indra Azwan, dan beberapa masukan lain yang menentangnya, Presiden menjawab dengan bijak. ”Memang tidak semua kasus serupa bisa saya temui. Namun, beberapa tetap harus dengarkan langsung”.  Presiden berempati dan bersimpati atas perjuangan Indra Azwan yang sangat gigih. Kegigihan Indra pulalah yang menyentuh hati saya, sehingga menyarankan pertemuannya dengan Presiden. Maka tanggal 10 Agustus 2010 tersebut, pertemuan antara Presiden SBY dan Singo Edan terjadi di Wisma Negara.

Pertemuan berlangsung tidak lama. Indra menceritakan bagaimana putranya, Rifka Andika, wafat karena ditabrak mobil pada 8 Februari 1993. Proses hukumnya berlangsung sangat lambat, baru Oktober 2004 berkasnya dilimpahkan ke oditur militer, dan baru Oktober 2006 dilimpahkan ke pengadilan. Putusannya baru terbit 6 Februari 2008, nyaris 15 tahun setelah kejadian.

Dalam putusannya, pengadilan menyatakan hak menuntut pidana atas diri Joko Sumantri (terdakwa yang menabrak) tidak dapat diterima. Dalam pertimbangannya, majelis hakim berpendapat bahwa meskipun seluruh unsur tindak pidana terbukti secara sah dan meyakinkan, namun karena perkara ini telah kedaluwarsa maka penuntutan oditur militer tinggi tidak dapat diterima. Majelis hakim berpendapat bahwa ketentuan kedaluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP yang menyebutkan kedaluwarsa selama 12 tahun telah terpenuhi, karena perkaranya baru disidangkan setelah 15 tahun.

Dalam pertemuan Presiden dan Indra Azwan dipahami, bahwa masalah prosedur hukum kedaluwarsa tersebut bukan persoalan mudah untuk dicarikan solusinya. Ketika keluar, Pak Indra Azwan kembali mengatakan puas karena telah bertemu Presiden, dan bersiap pulang, terlebih saat itu menjelang bulan suci Ramadan. Saya sendiri mengatakan, ”Pak Indra, pertemuan dengan Presiden tentu tidak mengembalikan kehilangan Bapak atas ananda Rifka. Yang penting, kita terus berusaha menegakkan keadilan”.

Setelah pertemuan itu melalui Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum (Satgas PMH), kami terus memonitor dan mengadvokasi kasus tersebut. Sambil tetap menyadari bahwa proses hukum tidak dapat diintervensi secara prosedural, namun substansi keadilan yang terenggut dari keluarga Indra Azwan harus tetap diperjuangkan. Komunikasi dengan pihak Polda Jatim— tempat Joko Sumantri bertugas— serta Denpom Brawijaya terus dilakukan Satgas PMH.

Dalam satu kesempatan yang difasilitasi Satgas pada November 2010, para pihak bertemu di Surabaya. Saat itu, secara pribadi Joko Sumantri kembali menyampaikan permohonan maafnya. Namun karena sudah telanjur sakit hati yang sangat, Pak Indra menyatakan tidak akan memaafkan sampai kapan pun, meskipun Joko Sumantri sendiri sebenarnya sudah mengalami berbagai tindakan disiplin, termasuk terhambat kariernya karena kecelakaan tersebut.

Sesuatu yang secara hukum dirasakan belum cukup oleh Indra Azwan, karena tuntutannya, Joko Sumantri harus tetap dihukum pidana. Atas beberapa langkah advokasi yang terus dilakukan, akhirnya beberapa oditur militer yang dulu menangani kasus ini, dan terlambat belasan tahun, dibawa ke pengadilan. Akhirnya, 8 Desember 2011, dalam putusannya hakim Pengadilan Militer lll-12 Surabaya, menyatakan oditur Marwan bersalah melakukan tindak pidana, dan menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan.

Putusan tersebut seharusnya bisa menjadi novum (bukti baru) untuk mengajukan Peninjauan Kembali untuk membongkar kedaluwarsanya kasus Joko Sumantri. Sayangnya, proses PK dengan novum putusan baru tersebut, belum berjalan. Oditur militer belum mengambil langkah PK tersebut. Akhirnya, Indra Azwan, yang sudah sejak lama tidak sabar, kembali jalan kaki ke dari Malang—Jakarta. Perjuangan gigihnya kembali menarik perhatian publik.

Dalam banyak wawancara, dia mengatakan akan mengembalikan uang Rp25 juta yang pernah diterimanya dari rumah tangga kepresidenan. Singo Edan mengatakan, ”Saya butuh keadilan, bukan amplop”. Suatu pernyataan yang tidak fair bagi posisi Presiden. Dalam kasus ini, Presiden justru adalah pihak yang berusaha menolong. Presiden bukanlah pihak, namun berempati dan akhirnya terlibat karena bersimpati dengan musibah yang dialami Indra Azwan dan keluarganya.

Satgas pun akhirnya turun mengadvokasi. Akhirnya, para oditur militer yang menyebabkan terlambatnya kasus tersebut, disidang dan divonis bersalah. Peluang mengajukan peninjauan kembali ke MA atas kasus Joko Sumantri pun kembali terbuka. Itu semua adalah proses hukum yang sekarang sedang berjalan. Sedangkan uang Rp25 juta yang diberikan, tidak ada kaitannya sama sekali dengan kasus. Itu adalah inisiatif dari rumah tangga kepresidenan yang melihat perjuangan Indra dan ingin membantu modal kerja keluarga sederhana tersebut.

Sama sekali bukan ”uang tutup mulut” sebagaimana selama ini disampaikan. Buktinya, Satgas PMH terus mengadvokasi kasus ini, dan tidak menghentikannya. Maka, menarik Presiden SBY ke dalam kasus meninggalnya anak Singo Edan, mengembalikan uang Rp25 juta, berjalan lagi Malang–Jakarta, tentu adalah strategi advokasi yang sah dari Indra untuk menarik perhatian publik. Tetapi mengesankan Presiden SBY adalah juga pihak yang salah atas kasus ini, sudah tidak lagi proporsional.

Presiden adalah pihak yang bersimpati, dan melalui tangan Satgas PMH, berusaha menolong agar keadilan dari kasus ini ditegakkan. Seharusnya, yang didorong bersama-sama adalah segera diprosesnya Peninjauan Kembali oleh Oditurat Militer ke MA. Dengan demikian, prosesnya berjalan sebagaimana mestinya pada jalur yuridis—tidak berbelok menjadi advokasi yang menjadi sangat politis.

Singo Edan, mari terus berjuang bersama untuk meraih keadilan yang memang masih sulit diraih, dan harus terus diperjuangkan. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar