Siapa
Sembunyikan RUU Penyitaan Aset?
Kristanto Hartadi, REDAKTUR SENIOR SINAR HARAPAN
SUMBER : SINAR HARAPAN, 6
Maret 2012
Seorang oknum mantan pegawai Ditjen Pajak,
berinisial DW, tengah disidik Kejaksaan Agung, karena ada transaksi
mencurigakan di rekeningnya. Namun belum terbukti apakah dia berperilaku
seperti Gayus Tambunan (juga anak muda mantan pegawai Ditjen Pajak yang sudah
divonis karena korupsi).
Disebut-sebut perputaran uang dalam rekening
bank milik DW mencapai lebih Rp 60 miliar, didapat antara lain dari bisnis jual
beli mobil.
Untuk membandingkan saja, seorang general manager sebuah diler mobil, di
bilangan Jakarta Timur, bertutur rata-rata sebulan dia menjual 120 unit mobil
baru, dan 40 persen di antaranya adalah mobil “sejuta umat”. Saya perkirakan
omzet di diler mobilnya berkisar Rp 20-24 miliar/bulan.
Kalau benar omzet DW berdagang mobil sampai
Rp 60 miliar maka sebenarnya dia lebih cocok menjadi pengusaha ketimbang PNS;
sehingga biarlah dibuktikannya sendiri dari mana asal usul uang-uang itu. Soal
membuktikan asal usul kekayaan memang harus menjadi faktor krusial dalam upaya
pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Terima Jadi
Pekan lalu saya mengobrol dengan seorang
mantan gubernur mengenai berbagai modus korupsi di kalangan pemerintahan.
Misalnya, para pemimpin daerah kerap hanya
diminta menandatangani proyek-proyek yang disodorkan oleh kementerian, tak
peduli apakah itu masuk akal atau tidak. Proyek-proyek pengadaan itu
bervariasi, nilainya satu sampai ratusan miliar rupiah, dan jumlahnya ada
banyak mulai yang ecek-ecek sampai yang serius.
Salah satu contoh modus korupsi itu dapat
dipelajari pada kasus pengadaan mobil pemadam kebakaran untuk sejumlah
provinsi, yang melibatkan mantan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno.
Oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dia
dinyatakan bersalah, divonis 2,5 tahun penjara, dan hanya ditambah denda Rp 150
juta (subsider kurungan tiga bulan). Kasus itu juga menyeret seorang mantan
dirjen, sejumlah mantan gubernur, sejumlah anggota DPR, dan juga seorang
pengusaha.
Pada kesempatan lain, seorang pengacara yang
tengah berperkara membela dalam sebuah kasus korupsi, bertutur kliennya “hanya”
menyiapkan uang sekian miliar rupiah untuk oknum anggota dewan guna meloloskan
sebuah proyek di daerah, namun dia keburu ditangkap tangan KPK.
Menurut advokat tersebut, biasanya kalau dana
berbagai proyek di daerah mau cair sekurangnya harus disiapkan 10 persen dari
nilai anggarannya untuk dibagi-bagi kepada para pejabat di Jakarta (termasuk
anggota dewan) yang berwenang mencairkan. Komisi itu bisa dibayarkan di muka
atau bayar belakangan setelah uang cair.
“Proceed of Crime”
Banyak kalangan memperkirakan kebocoran APBN
kita hari ini karena dikorupsi berkisar pada level 40-45 persen. Jika APBN kita
mencapai Rp 1.200 triliun, hitung saja betapa kecilnya jumlah yang sampai ke
rakyat dalam bentuk pembangunan. Padahal, sekitar 50 persen APBN hanya habis
untuk membayar gaji pegawai dan belanja rutin.
Maka lega rasanya ketika mengetahui majelis
hakim Pengadilan Tipikor memvonis Gayus Tambunan untuk kasus korupsinya yang
keempat dengan enam tahun penjara ditambah sita sebagian besar harta yang
diperoleh dengan cara tak wajar.
Artinya, dengan total hukumannya, Gayus akan
mendekam lebih dari 20 tahun penjara, dan yang penting sebagian besar harta
hasil korupsi tidak bisa dinikmati dengan mudah oleh dirinya dan keluarga.
Ada hal baru di situ: vonis tambahan bukan
lagi denda, melainkan penyitaan aset. Horeee . . .!
Dalam dunia penegakan hukum di negeri lain,
penyitaan aset hasil kejahatan pidana itu dinamakan proceed of crime, dan itu berlaku bukan hanya untuk kasus tipikor,
tetapi juga perdagangan narkoba, penyelundupan barang dan manusia, atau
berbagai uang hasil organized crime.
Intinya, jangan ada pihak yang menikmati keuntungan dari uang hasil kejahatan.
Masalahnya, di Indonesia belum ada
undang-undangnya. Sejauh ini baru asas pembuktian terbalik yang masuk dalam UU
Tipikor maupun Undang-Undang Pencucian Uang, yakni ketika terdakwa harus
membuktikan bahwa kekayaannya bukan berasal dari hasil tindak pidana.
Namun, pasal pencucian uang biasanya hanya
dakwaan tambahan dalam kasus-kasus korupsi. Akibatnya, bila masalah pokoknya
bebas, kasus pencucian uangnya juga gugur termasuk penyitaan asetnya.
Maka merupakan perjuangan kita bersama untuk
mengawal agar pemerintah dan DPR segera menuntaskan RUU Penyitaan Aset yang
sudah hampir lima tahun sejak didengungkan tahun 2007, tanpa jelas muaranya.
Bahkan dalam Program Legislasi Nasional 2012
ia tak masuk. Jangan-jangan RUU Penyitaan Aset itu sengaja disembunyikan, demi
melindungi para pencuri uang negara? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar