Sensasi
Piramida Bohong
Djulianto Susantio, ANGGOTA IKATAN AHLI ARKEOLOGI INDONESIA, DI JAKARTA
SUMBER : SINAR HARAPAN, 6
Maret 2012
Berita tentang (katanya) temuan piramida di
Jawa Barat, antara lain di Gunung Lalakon dan Sadahurip, ramai diperbincangkan
orang. Banyak pihak meragukan kebenaran temuan tersebut. Ahli geologi menganggap “bangunan” berbentuk
piramida itu merupakan bentukan alam. Kemungkinan besar sisa-sisa kegiatan
gunung purba.
Meskipun begitu, sejumlah ahli geologi tetap
yakin bahwa itu merupakan bangunan piramida. Apalagi penelitiannya menggunakan
teknik-teknik canggih, seperti geolistrik dan georadar. Untuk membuktikannya,
kata mereka, perlu dilakukan ekskavasi.
Sementara itu, ahli arkeologi menganggap
kebudayaan piramida belum pernah ada di Indonesia. Yang ada adalah bangunan
atau punden berundak. Lagi pula tidak ada tanda-tanda budaya di sekitar kedua
gunung. Karena tidak ada indikasi temuan permukaan, tidak perlu dilakukan
ekskavasi.
Sensasi adanya piramida pertama kali
diembuskan sebuah komunitas pencinta sejarah yang juga pelestari kebudayaan
Nusantara bernama Turangga Seta (TS). Mereka rupanya terobsesi oleh teori
seorang ahli geologi dan ahli fisika nuklir dari Brasil, Prof Arysio
Santos.
Santos yakin Nusantara merupakan tempat lahir
peradaban dunia. “Nusantara merupakan pusat peradaban Atlantis yang hilang,”
begitu Santos menekankan.
Saking ultranasionalisme TS sangat tinggi,
mereka meneliti di sejumlah daerah di Nusantara. Mereka menggaet beberapa ahli
geologi dan sarjana dari berbagai bidang keilmuan. Dukungan lain berasal dari
orang-orang muda yang berjiwa petualang. Beberapa dari mereka konon punya
kepekaan lebih terhadap kehadiran gaib, atau istilah keren mereka parallel
existence.
Metode penelitian yang mereka lakukan adalah
menggunakan kemenyan dan dupa untuk berhubungan dengan leluhur. Dalam laku
tirakatnya mereka mengakui bertemu dengan makhluk nonmanusia yang menggunakan
aksara dan bahasa kuno, seperti Pallawa dan Sanskerta.
Berdasarkan bisikan gaib plus kemampuan
ilmiah inilah mereka aktif bergerak mencari fakta-fakta baru tentang fenomena
purba di Tanah Air.
Bahkan mereka menggali (ekskavasi) dengan
pacul, hanya dengan izin lurah setempat. Hasil perjalanan spiritual mereka
sudah jelas hanya bisa dinikmati kalangan mereka sendiri. Hasil ekskavasi
katanya ditimbun lagi supaya tidak dicolong orang.
Piramida
Sasaran utama penelitian mereka adalah piramida,
karena menurut mereka piramida merupakan bangunan yang ada di kaputren
kahyangan Tenjomoyo. Bangunan tersebut menjadi tempat penyimpanan perhiasan
untuk Batari Ratih. Harta karun itu dinamakan Kacu Mas, benda kesayangan Sang
Hyang Batari Ratih.
Kacu Mas menjadi bagian penting dari benda
yang dipersyaratkan dalam pelantikan seorang raja. Karena Batari Ratih termasuk
dalam Hastabrata, semua raja harus punya benda itu. Di Nusantara konon
banyak tersisa keraton peninggalan para raja. Isinya sebagian besar berupa emas
yang mencapai berat 1 juta ton.
Kreator secara fisik bangunan bentuk piramida
hidup pada masa Kerajaan Medang Gili (Gilingaya), yakni Resi Kaspa, yang
merupakan penginisiasinya. Merasa tertarik, Adipati dari Kadipaten Pasir
Mesisir (kata mereka sekarang bernama Mesir) meminta izin untuk membangun di
kadipatennya.
Resi Kaspa segera membukakan teknologi
pembuatannya yang presisinya luar biasa. Selain itu, dia meminjamkan peralatan
untuk membangunnya.
Setelah terbangun di Kadipaten Pasir Mesisir,
piramida tersebut dinamakan Piramida Kaffra, sebagai bentuk penghormatan kepada
Resi Kaspa. Atas dasar cerita seperti itulah mereka berpendapat bahwa piramida
di Jawa Barat lebih tua daripada piramida di Mesir.
TS juga mengklaim telah menemukan landasan
lapangan terbang kuno di Sulawesi yang terbuat dari batu andesit tanpa
sambungan. Selain itu, mereka juga berhasil memetakan dan mendokumentasikan
lebih dari 20 jenis aksara purba asli Nusantara pada prasasti dan rontal kuno.
Bahkan, mereka mampu membuktikan cerita mitos
tentang keberadaan Kerajaan Hastina Pura, Kerajaan Ngamartalaya, Kerajaan
Dahana Pura, dan Kerajaan Gilingwesi.
Pada 2011 di Sukabumi memang pernah
“ditemukan” sebuah prasasti yang dikatakan peninggalan Prabu Siliwangi. Namun,
setelah diteliti sejumlah ahli arkeologi, ternyata prasasti tersebut
bertuliskan huruf Latin yang distilir sedemikian rupa sehingga mengesankan
huruf purba.
Di mata ilmuwan, Prabu Siliwangi dipandang
merupakan tokoh mitos, bukan tokoh sejarah sebagaimana yang disebutkan selama
ini sebagai raja terbesar Kerajaan Pajajaran. Sejauh ini nama Siliwangi hanya
disebutkan dalam naskah Sang Hyang Siksakanda ng Kareksian.
Dicemooh
Ironisnya, sejumlah hasil “temuan” mereka
diberitakan secara luas dan fantastik oleh media massa. Mereka pun mem-posting
keberadaan piramida di Indonesia dalam blog dan situs jejaring sosial Facebook.
Bahkan, mereka memasukkan video aktivitas
mereka ke dalam situs broadcastyoutube. Berbagai pihak sempat mendukung
upaya mereka, termasuk Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata ketika itu dan
staf khusus Presiden.
Namun, di forum-forum internet upaya mereka
menuai cemoohan dan tertawaan. Termasuk dari sejumlah anggota TS yang
di-(keluar)-kan karena tidak setuju dengan doktrin ala TS. “Mereka berambisi
terhadap sesuatu tapi kekurangan referensi, jadinya mengarang sendiri,” kata
mantan anggota TS.
Dia mencontohkan nama-nama Brasil (dari kata
berhasil), Maya (sinonim dari samar), Teheran (dari kata heran), dan Swiss
(dari kata Jawa: wis). “Pokoknya di mata mereka, semua berasal dari Nusantara,”
katanya lagi.
Konon, dalam pahatan relief Candi Panataran
tergambar nenek moyang kita pernah melakukan “ekspansi” hingga Benua
Amerika. Mereka mampu mengalahkan bangsa Indian dan bangsa Maya. Mereka
kemudian menguasai wilayah tersebut, sehingga diangkat sebagai penguasa. Bangsa
Han (China), Bangsa Campa, Bangsa Yahudi, dan Bangsa Mesir juga tunduk pada
leluhur kita.
Pada Candi Borobudur, mereka mengatakan, ada
pesawat UFO di panel relief Ramayana. Padahal, Ramayana merupakan
peninggalan Hindu, sementara yang ditafsirkan pesawat UFO itu adalah roda dharma
dalam agama Buddha.
Godiwaseso
Meskipun banyak anggota TS yang keluar, yang
masuk pun selalu saja ada. Konon, untuk mendapatkan “kesaktian” mereka
melakukan Godiwaseso, yakni sebuah laku yang terinspirasi dari relief Mahakarmawibhangga
di Candi Borobudur. Saat ini relief tersebut ditutup karena menggambarkan
adegan-adegan seksual.
Laku Godiwaseso dilakukan dengan cara
meminum cairan seksual (air mani) perjaka, bagi pelaku pria dan “nyucup stupa”
(isap payudara) perawan, bagi pelaku wanita. Rupanya mereka terinspirasi dari
pernyataan Presiden RI pertama Bung Karno, "Berikan saya 10
pemuda..." yang ternyata dipersepsikan salah.
Masa lampau Nusantara memang tidak pernah
dapat dipastikan dengan bantuan alat secanggih apa pun dan bukti sejarah sekuat
apa pun. Hal ini terjadi karena sumber tertulis dan sumber tak tertulis yang
kita miliki masih amat terbatas.
Di pihak lain, dana penelitian yang
dianggarkan pemerintah begitu minim. Yang pasti, manusia diberi kemampuan untuk
menggali masa lalu demi hari depan yang cerah, melalui cara-cara
interdisipliner.
Disayangkan, cara-cara penelitian dan
penafsiran yang mereka lakukan jauh dari kesan sebuah ilmu, malah membohongi
masyarakat. Padahal, prinsip utama seorang ilmuwan adalah “boleh salah asal
tidak bohong”. Kalau begini terus, ilmu dan ngelmu tidak akan pernah
bertemu. Tidak tertutup kemungkinan sensasi serupa piramida bodong ini
bakal menjalar ke artefak-artefak kuno lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar