Siapa
Capres-Capres 2014?
Hajriyanto Y Thohari, WAKIL
KETUA MPR RI
SUMBER : SINDO, 9 Maret 2012
Kini
berbagai pihak, diam-diam atau terangterangan, mengalami kegalauan atau bahkan
skeptisisme berkenaan dengan siapa calon presiden 2014 yang akan datang.
Fenomena
kegalauan atau skeptisisme ini tentu sulit untuk dimengerti mengingat bangsa
ini bangsa yang besar dengan jumlah penduduk 240 juta jiwa.Adalah sangat
ironis, dan karena itu tidak masuk akal,kalau sampai dari 240 juta anak bangsa
ini tidak ada calon presiden yang hebat yang memenuhi harapan rakyat.
Pertanyaannya, mengapa kegalauan dan skeptisisme itu nyata-nyata ada dan malah terdengar semakin santer saja akhir-akhir ini? Kegalauan ini akhirnya bisa dipahami oleh karena ternyata ujung-ujungnya muncul dari fakta konstitusional bahwa satu-satunya institusi demokrasi yang berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden adalah dan hanyalah partai politik atau gabungan partaipartai politik.
Walhasil kegalauan dan skeptisisme ini kemungkinan tidak akan pernah terjadi dan muncul manakala ada banyak jalan untuk pengajuan dan pengusulan calon presiden. Fakta konstitusi justru menegaskan sebaliknya: parpol adalah satusatunya pintu masuk bagi bakal calon presiden. Konstitusi, UUD 1945, bukanlah teks untuk diperdebatkan,melainkan untuk ditaati dan diamalkan.
Inilah pangkal dari kegalauan dan skeptisisme tersebut! Adalah sulit untuk dibantah bahwa kepercayaan rakyat terhadap institusi politik yang mendapatkan keistimewaan politik (political privilege) yang sangat besar dalam UUD 1945, yaitu parpol, apa boleh buat sekarang ini sangatlah rendah, kalau bukan terendah.
Saking rendahnya institusi-institusi politik yang merupakan perpanjangan tangan parpol seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kementerian negara (kabinet), dan kepala daerah juga mengalami kemerosotan kepercayaan yang luar biasa. Hampir semua survei menyimpulkan hal ini. Lantas bagaimana rakyat akan percaya kepada institusi yang sedang mengalami kemerosotan legitimasi tersebut untuk menggodok kader-kadernya menjadi pemimpin nasional?
Rakyat bertanya-tanya, jangan- jangan yang muncul sebagai capres dari partai-partai itu nanti hanyalah capres-capres hasil transaksional belaka dari sistem yang oligarkis dan plutokratis. Kemerosotan kepercayaan terhadap parpol ini setidaknya karena faktor internal dan eksternal. Yang internal adalah perilaku korup orang-orang parpol sendiri. Perpolitikan mereka sangatlah transaksional: sedikit-sedikit duit.
Jangankan parpol-parpol besar, partai-partai politik gurem pun transaksional. Sebagian besar pelaku korupsi yang diangkat (blow up) media masa kita adalah mereka yang berlatar belakang atau setidaknya terkait parpol. Anggota-anggota DPR/DPRD dan gubernur/bupati/wali kota akan hampir semuanya orang-orang parpol atau diusung oleh parpol.
Tak heran jika respek kepada pimpinan parpol juga tidak ada lagi karena publik tahu bahwa—benar atau salah— kenaikan seorang menjadi pimpinan parpol bukanlah karena keunggulan kepolitikan, ketokohan, dan kepemimpinannya, melainkan hanya karena keunggulannya dalam bertransaksi belaka.
Adapun faktor eksternal pertama adalah akibat dari kritik-kritik para pengamat dan cendekiawan yang luar biasa keras dan terbuka kepada parpol/ DPR. Kritik-kritik tersebut mempercepat kehancuran legitimasi parpol karena sifatnya yang tidak pernah analitis. Yang koruptif hanyalah beberapa anggota DPR tertentu, tapi yang dihantam DPR secara in toto! Proses pembusukan DPR berlanjut ke parpol.
Kedua, kritik-kritik terhadap parpol tersebut cenderung berlebihan alias overdosis! Ibarat obat yang diberikan kepada seseorang kalau overdosis pastilah akan mematikan! Parpol/DPR sekarang sudah ada tanda-tanda menuju ke arah itu karena kritik yang overdosis tersebut! MemangmengkritikDPRitusangatlah menarik dan tidak menakutkankarenanyaristidakadarisiko apa pun. Berbeda sama sekali dengan mengkritik pemerintah, apalagi lembaga kepresidenan, TNI, atau Polri. Jarang ada kritik pengamat kepada lembaga-lembaga negara tersebut terakhir ini sekeras mereka menghantam parpol/DPR.
Lantas Bagaimana?
Jika faktanya memang parpol dan memang hanya parpol yang berhak mengusulkan pasangan capres dan cawapres (UUD 1945 Pasal 6A), betapapun sedang begitu mengecewakannya kelakuannya, lantas apa yang harus dilakukan parpol-parpol?
Pertanyaannya, mengapa kegalauan dan skeptisisme itu nyata-nyata ada dan malah terdengar semakin santer saja akhir-akhir ini? Kegalauan ini akhirnya bisa dipahami oleh karena ternyata ujung-ujungnya muncul dari fakta konstitusional bahwa satu-satunya institusi demokrasi yang berhak mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden adalah dan hanyalah partai politik atau gabungan partaipartai politik.
Walhasil kegalauan dan skeptisisme ini kemungkinan tidak akan pernah terjadi dan muncul manakala ada banyak jalan untuk pengajuan dan pengusulan calon presiden. Fakta konstitusi justru menegaskan sebaliknya: parpol adalah satusatunya pintu masuk bagi bakal calon presiden. Konstitusi, UUD 1945, bukanlah teks untuk diperdebatkan,melainkan untuk ditaati dan diamalkan.
Inilah pangkal dari kegalauan dan skeptisisme tersebut! Adalah sulit untuk dibantah bahwa kepercayaan rakyat terhadap institusi politik yang mendapatkan keistimewaan politik (political privilege) yang sangat besar dalam UUD 1945, yaitu parpol, apa boleh buat sekarang ini sangatlah rendah, kalau bukan terendah.
Saking rendahnya institusi-institusi politik yang merupakan perpanjangan tangan parpol seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kementerian negara (kabinet), dan kepala daerah juga mengalami kemerosotan kepercayaan yang luar biasa. Hampir semua survei menyimpulkan hal ini. Lantas bagaimana rakyat akan percaya kepada institusi yang sedang mengalami kemerosotan legitimasi tersebut untuk menggodok kader-kadernya menjadi pemimpin nasional?
Rakyat bertanya-tanya, jangan- jangan yang muncul sebagai capres dari partai-partai itu nanti hanyalah capres-capres hasil transaksional belaka dari sistem yang oligarkis dan plutokratis. Kemerosotan kepercayaan terhadap parpol ini setidaknya karena faktor internal dan eksternal. Yang internal adalah perilaku korup orang-orang parpol sendiri. Perpolitikan mereka sangatlah transaksional: sedikit-sedikit duit.
Jangankan parpol-parpol besar, partai-partai politik gurem pun transaksional. Sebagian besar pelaku korupsi yang diangkat (blow up) media masa kita adalah mereka yang berlatar belakang atau setidaknya terkait parpol. Anggota-anggota DPR/DPRD dan gubernur/bupati/wali kota akan hampir semuanya orang-orang parpol atau diusung oleh parpol.
Tak heran jika respek kepada pimpinan parpol juga tidak ada lagi karena publik tahu bahwa—benar atau salah— kenaikan seorang menjadi pimpinan parpol bukanlah karena keunggulan kepolitikan, ketokohan, dan kepemimpinannya, melainkan hanya karena keunggulannya dalam bertransaksi belaka.
Adapun faktor eksternal pertama adalah akibat dari kritik-kritik para pengamat dan cendekiawan yang luar biasa keras dan terbuka kepada parpol/ DPR. Kritik-kritik tersebut mempercepat kehancuran legitimasi parpol karena sifatnya yang tidak pernah analitis. Yang koruptif hanyalah beberapa anggota DPR tertentu, tapi yang dihantam DPR secara in toto! Proses pembusukan DPR berlanjut ke parpol.
Kedua, kritik-kritik terhadap parpol tersebut cenderung berlebihan alias overdosis! Ibarat obat yang diberikan kepada seseorang kalau overdosis pastilah akan mematikan! Parpol/DPR sekarang sudah ada tanda-tanda menuju ke arah itu karena kritik yang overdosis tersebut! MemangmengkritikDPRitusangatlah menarik dan tidak menakutkankarenanyaristidakadarisiko apa pun. Berbeda sama sekali dengan mengkritik pemerintah, apalagi lembaga kepresidenan, TNI, atau Polri. Jarang ada kritik pengamat kepada lembaga-lembaga negara tersebut terakhir ini sekeras mereka menghantam parpol/DPR.
Lantas Bagaimana?
Jika faktanya memang parpol dan memang hanya parpol yang berhak mengusulkan pasangan capres dan cawapres (UUD 1945 Pasal 6A), betapapun sedang begitu mengecewakannya kelakuannya, lantas apa yang harus dilakukan parpol-parpol?
Pertama,
jawaban yang paling ekstrem adalah bahwa parpol-parpol harus melakukan overhoul alias turun mesin! Benahi
secara total dan menyeluruh sistem rekrutmen kader, kaderisasi, dan mekanisme
pemilihan pimpinan! Tradisi politik uang dan politik transaksional yang sangat
destruktif itu mutlak harus dihentikan secara kategoris.
Kedua,
parpol-parpol mutlak harus mengajukan capres yang benar-benar clean dan clear dari korupsi. Dia bukan sekadar clean, melainkan juga clear!
Clean artinya bersih dalam arti tidak
pernah korupsi. Clear berarti bahwa
namanya tidak pernah dikait-kaitkan dengan skandal korupsi.
Singkatnya, tidak pernah terlibat korupsi baik aktif maupun cuma pasif. Korupsi adalah musuh terbesar negara. Korupsilah yang membuat kemiskinan masih merajalela di negeri ini! Korupsilah yang mengakibatkan cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat justru malah semakin jauh dari gapaian. Ketiga, parpol-parpol harus membaca UUD 1945 Pasal 6A dalam semangat inklusivisme.
Cara parpol membaca Pasal 6A selama ini dengan semangat eksklusivisme. Ini harus diubah. Pasal 6A UUD 1945 pada sejatinya bersemangat inklusivisme. Dengan ketiga langkah tersebut, insya Allah kekecewaan masyarakat terhadap parpol akan terobati. Parpol harus menjawab kegalauan dan skeptisis memasyarakat dengan langkah-langkah konkret tersebut. Sebagai pilar demokrasi, parpol harus memiliki mekanisme untuk memperbaiki diri. ●
Singkatnya, tidak pernah terlibat korupsi baik aktif maupun cuma pasif. Korupsi adalah musuh terbesar negara. Korupsilah yang membuat kemiskinan masih merajalela di negeri ini! Korupsilah yang mengakibatkan cita-cita kemerdekaan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat justru malah semakin jauh dari gapaian. Ketiga, parpol-parpol harus membaca UUD 1945 Pasal 6A dalam semangat inklusivisme.
Cara parpol membaca Pasal 6A selama ini dengan semangat eksklusivisme. Ini harus diubah. Pasal 6A UUD 1945 pada sejatinya bersemangat inklusivisme. Dengan ketiga langkah tersebut, insya Allah kekecewaan masyarakat terhadap parpol akan terobati. Parpol harus menjawab kegalauan dan skeptisis memasyarakat dengan langkah-langkah konkret tersebut. Sebagai pilar demokrasi, parpol harus memiliki mekanisme untuk memperbaiki diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar