Sesat
yang Menyesatkan
Masdar Farid Mas’udi, ROIS PENGURUS BESAR NAHDLATUL ULAMA
SUMBER : KOMPAS, 3 MARET
2012
Semua orang tahu, sesat artinya salah jalan.
Mestinya belok kanan, malah belok kiri sehingga bukannya sampai ke tujuan,
justru semakin menjauh.
Sesat atau ”tersesat” adalah kecelakaan yang
tak dikehendaki siapa pun. Jika Anda orang budiman, melihat orang tersesat,
tentu Anda akan menolongnya, dengan memberi tahu yang bersangkutan mana jalan
yang benar, dengan kasih dan kepedulian. Namun, sungguh terjadi, bahkan semakin
banyak terjadi, melihat orang lain tersesat malah memakinya, bahkan
menyerangnya. Nalarnya: sudah diberi tahu jalan yang benar, kok, ngotot memilih
jalan yang salah. Terhadap orang seperti ini, Anda memang layak kesal dan geleng-geleng
kepala. Namun, kalau sampai memukul, apalagi membunuhnya, yang lebih bermasalah
adalah Anda, bukan dia yang tersesat.
Main Hakim Sendiri
Dalam kamus umat beragama, sesat artinya
salah jalan terkait tujuan akhir kehidupan, untuk kembali pada Tuhan.
Pertaruhannya tuntas dan telak. Maunya ke surga, hidup abadi dalam kebahagiaan
dan kemuliaan, tahunya malah ke neraka, alam gelap penuh hina dan nestapa.
Masalahnya, semua agama dengan klaim
kebenaran absolut masing-masing menawarkan gambar dan peta jalan berbeda-beda
perihal surga. Mana yang benar? Wallahu a’lam! Sebab, belum ada seorang pun di
dunia ini, baik yang mengaku beriman maupun yang kafir, pernah membuktikan
sendiri langsung, live, apa yang diklaimnya sebagai surga ataupun neraka.
Bahkan, dari kalangan para pemuka agama yang mengaku paling tahu pun, belum ada
yang pernah menyaksikan surga ataupun neraka itu.
Meski demikian, semua agama sepakat pada dua
hal: pertama bahwa surga itu ada; apa pun konsep kebahagiaan yang ada di
dalamnya. Bukan agama kalau tak menawarkan surga dan mengancam pembangkangnya
dengan neraka. Kedua, semua agama sepakat, di balik konsep surga dan neraka,
ada yang disebut Tuhan, Zat Yang Maha Kuasa, Maha Pencipta alam semesta. Yang
menjadi masalah dan sekaligus titik konflik di antara agama-agama bahwa setiap
mereka menawarkan jalan surga yang berbeda-beda, sekaligus mengklaim hanya
jalan mereka yang bisa menjamin orang sampai ke sana; sementara jalan yang
ditawarkan agama atau keyakinan lain dituding sebagai kebohongan belaka.
Tidak berhenti di situ; di kalangan penganut
agama dan kitab suci yang sama, dengan mazhab atau aliran berbeda, pun bisa
terjadi aksi saling tuding dan menistakan satu sama lain sebagai pembawa ajaran
sesat dan menyesatkan (dlallun mudlillun).
Arkian, dilihat dari perspektif internal
masing-masing, semua agama/keyakinan adalah benar dengan klaim kesanggupan
mutlak mengantarkan penganutnya ke surga. Namun, pada saat yang sama, dilihat
dari sudut pandang agama/keyakinan pihak lain, semuanya hanya dusta yang sesat
dan menyesatkan pengikutnya ke dalam neraka. Dengan logika ini, harus dikatakan
bahwa pada dasarnya tak ada penganut agama/keyakinan berhak menghakimi agama
atau keyakinan lain.
Sebab, semua agama dan penganutnya, di mata
pihak lain, sama posisinya sebagai tertuduh. Saling menghakimi di antara
tertuduh itulah dan aksi ”main hakim sendiri” yang tidak bisa diterima oleh
logika apa pun.
Allah Yang Menghakimi
Agama sebagai ”keyakinan” adalah sesuatu yang
tersembunyi di relung hati; tidak seorang pun bisa mengetahui secara persis
sosok dan anatomi keyakinan orang lain. Menghakimi keyakinan orang lain adalah
absurd dan tak bisa diterima akal sehat. Khalifah Umar ra berkata, ”Nahnu
nahkum bidzzhawahir, wallahu yatawallas saraair (Kita manusia hanya bisa
menghakimi yang tampak, sementara perihal yang tersembunyi [keimanan] dalam
hati Allah saja yang mengetahui).”
Demikian pula jalan keselamatan
(syariat/mansak) antara satu umat dan umat lain bisa berbeda-beda dan demikian
faktanya. Maka, nasihat Al Quran, ”Janganlah kalian saling bertengkar dan
saling menghakimi perihal ini, berdoalah saja kepada Allah” (QS al-Hajj [22]:
67). Jika harus ada penghakiman, biarlah Allah yang jadi hakimnya. Itu pun
bukan di dunia ini, melainkan di akhirat nanti, ”Allah yang akan menghakimi
perselisihan di antara kalian, di hari kiamat nanti (QS al-Hajj [22]: 69).
Kebinekaan agama dan keimanan adalah kehendak
Allah yang tak bisa kita tolak atau hindari. Setiap orang berhak dan
sepantasnya berbangga dengan agama dan keyakinannya tanpa harus menuding
keyakinan orang lain sebagai kepalsuan dan kesesatan. Tak pantas akhlak
agamawan kalah dengan kaum kapitalis; mereka sanggup mempromosikan produknya
setinggi langit tanpa melecehkan produk pihak lain. Cukup katakan: Keyakinan
saya atau kami memang berbeda dengan keyakinan Anda. ”Kami tidak menyembah yang
kalian sembah; sebagaimana Anda juga tidak perlu menyembah apa yang kami
sembah. Bagiku agamaku dan bagimu agamamu” (QS al-Kafirun [109]: 6).
Beda agama atau keyakinan bukan suatu kejahatan,
melainkan realitas kehidupan yang sepenuhnya terjadi atas kehendak-Nya.
”Sekiranya Allah menghendaki, niscaya semua manusia akan dihimpun dalam satu
agama atau keyakinan yang sama. Akan tetapi, Allah ingin membuktikan mana di
antara kalian yang lebih baik amalnya daripada yang lain. Maka, berlombalah
dalam berbuat kebaikan untuk sesama (bukannya saling mencela, menistakan, dan
memaksakan keyakinan atas sesama)” (QS al-Maidah [5]: 45). ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar