Minggu, 04 Maret 2012

Menghilangnya Nilai Moral


Menghilangnya Nilai Moral
James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 3 MARET 2012



Kita agak terenyak melihat betapa sudah menyebarnya korupsi di semua sendi kehidupan bangsa ini. Di harian ini, Rabu lalu, diturunkan berita dari hasil diskusi di Redaksi Kompas tentang DPR yang terbelit korupsi. Disebutkan, praktik korupsi di lembaga legislatif saat ini ditengarai makin ganas. Hal itu terlihat dari banyaknya anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi. Semakin banyak dan semakin beragam kasus korupsi yang terungkap di DPR.

Salah satu alasannya adalah anggota DPR harus berburu modal untuk mengamankan posisinya pada Pemilihan Umum 2014. Eva Kusuma Sundari, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P DPR, yang menjadi salah satu peserta diskusi, mengemukakan, ada tiga hal yang membuat wakil rakyat terjerat korupsi, yaitu pembiayaan partai, sistem pemilu dengan memakai suara terbanyak yang membuat biaya politik semakin tinggi, dan lingkungan.

Sebagai gambaran, Eva bercerita, pada Pemilu 2004, Eva menghabiskan Rp 225 juta untuk kampanye, dan Rp 75 juta di antaranya dipakai untuk sumbangan kepada partai. Biaya itu melonjak pada Pemilu 2009. ”Dulu, pemilih sudah senang jika dikunjungi dan disapa. Namun, sekarang, hal itu tidak cukup lagi,” ujarnya.

Lalu, haruskah seseorang korupsi untuk memenuhi itu? Di manakah nilai moral yang seharusnya membatasi tindak-tanduk seseorang? Sebab, pada saat kesempatan untuk korupsi itu terbuka luas, adalah nilai moral yang mencegah seseorang untuk melakukannya.

Dari kasus yang terjadi pada Partai Demokrat yang mendudukkan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, sebagai tersangka, terlihat dengan jelas bagaimana uang-uang panas berseliweran dari satu orang ke orang yang lain. Angelina PP Sondakh, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, dan Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, adalah dua di antara banyak nama yang disebut-sebut menerima uang dalam jumlah besar.

Angelina, yang muncul di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta sebagai saksi dengan terdakwa Nazaruddin dalam kasus suap wisma atlet SEA Games di Palembang, membantah bahwa ia menerima uang dan melakukan komunikasi melalui Blackberry Messenger (BBM) dengan saksi lain, Mindo Rosalina Manulang.

Sama seperti Angelina, Anas pun membantah keterangan saksi-saksi dalam sidang pengadilan dengan terdakwa Nazaruddin, yang menyebutkan bahwa Anas menerima kiriman miliaran rupiah dan mobil mewah. Anas pun membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan mengatakan, ”Itu dagelan, bukan kesaksian.”

Namun, bantahan itu tidak dilakukan Anas di sidang pengadilan karena ia memang belum dihadirkan sebagai saksi. Karena itu, dalam memberikan bantahan, Anas tidak dicecar oleh penasihat hukum Nazaruddin seperti halnya Angelina Sondakh.

Tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada Angelina dan Anas tidak lantas dapat diartikan sepenuhnya benar. Diperlukan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung tuduhan itu. Sebaliknya, Angelina dan Anas pun memerlukan bukti yang kuat untuk mendukung bantahannya.

Angelina mungkin memerlukan bukti yang lebih kuat mengingat ia dalam sidang pengadilan mengaku baru memiliki telepon genggam Blackberry pada akhir 2010. Namun, media massa memiliki beberapa foto yang memperlihatkan Angelina telah menggunakan Blackberry sejak belum menikah dengan mendiang suaminya, Adjie Massaid. Bahkan, saat hamil, ia sudah memegang Blackberry.

Bantahan saja tidaklah cukup. Ada pepatah yang mengatakan, ”ada asap, ada api”, yang pengertian bebasnya kira-kira adalah tuduhan-tuduhan itu tidak akan muncul jika seseorang tidak melakukan perbuatan sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.

Ada kata-kata bijak dari China, ”jika Anda mengenakan baju putih, jangan masuk ke gudang arang. Sebab, walaupun Anda hanya lewat saja dan tidak melakukan apa-apa, baju Anda akan dikotori debu arang”.

Perlu Komitmen Penegak Hukum

Walaupun kali ini harian ini menyoroti korupsi di DPR, tidak berarti korupsi hanya terjadi di jajaran legislatif. Korupsi juga terjadi di jajaran eksekutif, yudikatif, dan institusi lain.
Bahkan, ironis, ketika kita melihat Gayus HP Tambunan, bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, kembali divonis penjara, Kamis lalu, ada lagi pegawai Ditjen Pajak yang diperiksa Kejaksaan Agung karena kasus yang hampir sama dengan Gayus, yang kekayaannya lebih dari Rp 100 miliar. Nama pegawai itu Dhana Widyatmika Merthana. Ia diketahui memiliki rekening bernilai miliaran rupiah dan harta lain yang tidak wajar. Dhana antara lain memiliki rekening senilai Rp 60 miliar, padahal gaji Dhana sesuai golongan kepegawaiannya (III C) kurang dari Rp 5 juta per bulan. Proses pemeriksaan terhadap Dhana masih berlangsung.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pun mengingatkan publik bahwa masih ada ”gayus-gayus lain” di negeri ini. Pada pertengahan 2011, PPATK melaporkan kepada penegak hukum adanya 294 orang yang dicurigai melakukan pencucian uang. Dari jumlah itu, 174 orang atau 59,6 persen terindikasi korupsi.

PPATK meminta komitmen dari penegak hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, dan kepolisian, untuk menindaklanjuti laporan itu.... ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar