Menghilangnya
Nilai Moral
James Luhulima, WARTAWAN KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 3 MARET
2012
Kita agak terenyak melihat betapa sudah
menyebarnya korupsi di semua sendi kehidupan bangsa ini. Di harian ini, Rabu
lalu, diturunkan berita dari hasil diskusi di Redaksi Kompas tentang DPR yang
terbelit korupsi. Disebutkan, praktik korupsi di lembaga legislatif saat ini
ditengarai makin ganas. Hal itu terlihat dari banyaknya anggota Dewan yang
terjerat kasus korupsi. Semakin banyak dan semakin beragam kasus korupsi yang
terungkap di DPR.
Salah satu alasannya adalah anggota DPR harus
berburu modal untuk mengamankan posisinya pada Pemilihan Umum 2014. Eva Kusuma
Sundari, anggota Komisi III dari Fraksi PDI-P DPR, yang menjadi salah satu
peserta diskusi, mengemukakan, ada tiga hal yang membuat wakil rakyat terjerat
korupsi, yaitu pembiayaan partai, sistem pemilu dengan memakai suara terbanyak
yang membuat biaya politik semakin tinggi, dan lingkungan.
Sebagai gambaran, Eva bercerita, pada Pemilu
2004, Eva menghabiskan Rp 225 juta untuk kampanye, dan Rp 75 juta di antaranya
dipakai untuk sumbangan kepada partai. Biaya itu melonjak pada Pemilu 2009.
”Dulu, pemilih sudah senang jika dikunjungi dan disapa. Namun, sekarang, hal
itu tidak cukup lagi,” ujarnya.
Lalu, haruskah seseorang korupsi untuk
memenuhi itu? Di manakah nilai moral yang seharusnya membatasi tindak-tanduk
seseorang? Sebab, pada saat kesempatan untuk korupsi itu terbuka luas, adalah
nilai moral yang mencegah seseorang untuk melakukannya.
Dari kasus yang terjadi pada Partai Demokrat
yang mendudukkan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat,
sebagai tersangka, terlihat dengan jelas bagaimana uang-uang panas berseliweran
dari satu orang ke orang yang lain. Angelina PP Sondakh, anggota DPR dari Fraksi
Partai Demokrat, dan Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat, adalah dua
di antara banyak nama yang disebut-sebut menerima uang dalam jumlah besar.
Angelina, yang muncul di Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi Jakarta sebagai saksi dengan terdakwa Nazaruddin dalam kasus
suap wisma atlet SEA Games di Palembang, membantah bahwa ia menerima uang dan
melakukan komunikasi melalui Blackberry Messenger (BBM) dengan saksi lain,
Mindo Rosalina Manulang.
Sama seperti Angelina, Anas pun membantah
keterangan saksi-saksi dalam sidang pengadilan dengan terdakwa Nazaruddin, yang
menyebutkan bahwa Anas menerima kiriman miliaran rupiah dan mobil mewah. Anas
pun membantah semua tuduhan yang dialamatkan kepadanya dengan mengatakan, ”Itu
dagelan, bukan kesaksian.”
Namun, bantahan itu tidak dilakukan Anas di
sidang pengadilan karena ia memang belum dihadirkan sebagai saksi. Karena itu,
dalam memberikan bantahan, Anas tidak dicecar oleh penasihat hukum Nazaruddin
seperti halnya Angelina Sondakh.
Tuduhan-tuduhan yang dilancarkan kepada
Angelina dan Anas tidak lantas dapat diartikan sepenuhnya benar. Diperlukan
bukti-bukti yang kuat untuk mendukung tuduhan itu. Sebaliknya, Angelina dan
Anas pun memerlukan bukti yang kuat untuk mendukung bantahannya.
Angelina mungkin memerlukan bukti yang lebih
kuat mengingat ia dalam sidang pengadilan mengaku baru memiliki telepon genggam
Blackberry pada akhir 2010. Namun, media massa memiliki beberapa foto yang
memperlihatkan Angelina telah menggunakan Blackberry sejak belum menikah dengan
mendiang suaminya, Adjie Massaid. Bahkan, saat hamil, ia sudah memegang
Blackberry.
Bantahan saja tidaklah cukup. Ada pepatah
yang mengatakan, ”ada asap, ada api”, yang pengertian bebasnya kira-kira adalah
tuduhan-tuduhan itu tidak akan muncul jika seseorang tidak melakukan perbuatan
sebagaimana yang dituduhkan kepadanya.
Ada kata-kata bijak dari China, ”jika Anda
mengenakan baju putih, jangan masuk ke gudang arang. Sebab, walaupun Anda hanya
lewat saja dan tidak melakukan apa-apa, baju Anda akan dikotori debu arang”.
Perlu Komitmen Penegak Hukum
Walaupun kali ini harian ini menyoroti
korupsi di DPR, tidak berarti korupsi hanya terjadi di jajaran legislatif.
Korupsi juga terjadi di jajaran eksekutif, yudikatif, dan institusi lain.
Bahkan, ironis, ketika kita melihat Gayus HP
Tambunan, bekas pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, kembali
divonis penjara, Kamis lalu, ada lagi pegawai Ditjen Pajak yang diperiksa
Kejaksaan Agung karena kasus yang hampir sama dengan Gayus, yang kekayaannya
lebih dari Rp 100 miliar. Nama pegawai itu Dhana Widyatmika Merthana. Ia
diketahui memiliki rekening bernilai miliaran rupiah dan harta lain yang tidak
wajar. Dhana antara lain memiliki rekening senilai Rp 60 miliar, padahal gaji
Dhana sesuai golongan kepegawaiannya (III C) kurang dari Rp 5 juta per bulan.
Proses pemeriksaan terhadap Dhana masih berlangsung.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan (PPATK) pun mengingatkan publik bahwa masih ada ”gayus-gayus lain” di
negeri ini. Pada pertengahan 2011, PPATK melaporkan kepada penegak hukum adanya
294 orang yang dicurigai melakukan pencucian uang. Dari jumlah itu, 174 orang
atau 59,6 persen terindikasi korupsi.
PPATK meminta komitmen dari penegak hukum,
seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, kejaksaan, dan kepolisian, untuk
menindaklanjuti laporan itu.... ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar