Selasa, 06 Maret 2012

Mafia Senayan


Mafia Senayan
Reza Syawawi, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
SUMBER : KORAN TEMPO, 6 Maret 2012



Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan kembali merilis temuan 2.000 transaksi mencurigakan (suspicious transaction) milik anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Koran Tempo, 22 Februari). Temuan ini terungkap di tengah pengusutan berbagai kasus korupsi yang diduga melibatkan sebagian besar anggota DPR.

Sebut saja kasus Nazaruddin, yang mengungkap keterlibatan anggota DPR lainnya, termasuk rekan separtainya sendiri, Angelina Sondakh, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa waktu yang lalu. Keduanya diduga terlibat dalam kasus korupsi terkait dengan pengerjaan beberapa proyek yang dibiayai anggaran pendapatan dan belanja negara, misalnya Wisma Atlet dan Hambalang. Ditambah lagi kasus sana percepatan infrastruktur daerah di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang menyeret anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, ke kursi pesakitan.

Fenomena ini sebetulnya mulai menunjukkan titik terang keberadaan mafia anggaran yang selama ini agak sulit dibuktikan. Aktornya tentu saja sebagian besar anggota DPR. Jika dirunut kembali ke belakang, sejak 2009 kinerja DPR memang berbanding terbalik dengan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPR. Selain itu, DPR menjadi aktor utama dalam hal pemborosan anggaran publik.

Disfungsi Parlemen

Dalam banyak literatur sejarah demokrasi, kehadiran lembaga perwakilan rakyat (DPR) merupakan keniscayaan. Lembaga ini lahir sebagai wujud adanya kedaulatan rakyat atau sovereignty yang menggantikan kekuasaan raja yang absolut.

Awalnya perwujudan kedaulatan rakyat ini, menurut Plato (427-347 sebelum Masehi), tidak perlu dilembagakan, tapi diserahkan pada kebijaksanaan pemimpin negara. Namun pandangan ini ditentang oleh kaum pluralis, karena menggantungkan harapan pada kebijaksanaan pemimpin negara tampaknya sulit dipertahankan, apalagi pada era modernisasi saat ini. Maka muncul usulan untuk melembagakan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum (Charles Simabura, 2011: 15).

Dalam konteks fungsi, lembaga perwakilan secara umum dapat dikategorikan atas tiga fungsi, yakni fungsi penentu kebijakan (legislation), fungsi pengawasan atas lembaga eksekutif, dan fungsi lainnya (Miriam Budihardjo). Dalam prakteknya di beberapa negara, fungsi lainnya ini misalnya meliputi fungsi ratifikasi kovenan internasional. Di Amerika, fungsi pemakzulan pejabat tinggi, termasuk presiden, juga menjadi fungsi lembaga perwakilan.

Di Indonesia, selain ketiga fungsi di atas, terdapat fungsi lain yang dimiliki oleh DPR, yakni terkait dengan anggaran (budgeting). Pada fungsi inilah DPR berkontribusi besar dalam memunculkan dugaan korupsi ataupun pemborosan anggaran. Undang-Undang Dasar memang memberikan jaminan konstitusional kepada DPR terkait dengan pelaksanaan fungsi anggaran (pasal 20A ayat 1). Namun fungsi ini patut dikaji ulang untuk melihat sejauh mana kewenangan DPR masuk dalam konteks penganggaran, mengingat fungsi parlemen umumnya hanya terkait dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan.

Praktek yang terjadi dalam proses pembahasan anggaran, DPR justru menjadi aktor yang terlalu dominan dalam menentukan secara mendetail pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Proses pembahasan kerap dilakukan di tempat-tempat yang tidak mampu diakses oleh publik. Bahkan, dalam beberapa hal sangat tertutup walaupun pembahasannya di gedung DPR.

Di lingkup internal DPR sendiri dimunculkan alat kelengkapan tetap yang khusus membidangi masalah anggaran, yaitu Badan Anggaran. Posisi pada alat kelengkapan inilah yang paling diincar oleh setiap fraksi di DPR, karena fungsinya yang sangat strategis. Tidak mengherankan jika penempatan anggota fraksi pada alat kelengkapan ini memiliki akses kuat ke partai politik, misalnya yang bersangkutan memiliki posisi penting dalam kepengurusan partainya.

Sudah menjadi rahasia publik, dalam proses pembahasan anggaran yang terkait dengan pengadaan barang/jasa atau proyek pembangunan, selalu muncul dugaan adanya pembagian fee di awal jika proyek yang diminta oleh pihak tertentu diakomodasi dalam APBN.

Maka, dengan munculnya ribuan transaksi mencurigakan ini, setidaknya memang mengindikasikan telah terjadi disfungsi parlemen. Ada indikasi DPR telah menggunakan fungsinya secara melawan hukum dan mengkhianati fungsi-fungsi lain untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.

Sarang Mafia

Keberadaan DPR di Indonesia yang dihasilkan melalui pemilu agaknya mulai meninggalkan fungsi dasarnya sebagai lembaga perwakilan. Kehadiran lembaga perwakilan, menurut Aristoteles (384-322 SM), setidaknya dibentuk untuk memenuhi tiga unsur. Pertama, adanya prioritas pada kepentingan publik atau rakyat. Kedua, penyelenggaraan fungsi harus didasarkan pada hukum (rule of law). Dan ketiga, pelaksanaan fungsi lembaga perwakilan dilaksanakan atas kehendak rakyat.

Ketiga unsur ini hampir tidak bisa ditemui dalam pelaksanaan fungsi-fungsi DPR, baik di bidang legislasi, pengawasan, maupun anggaran. DPR seolah-olah menjadi institusi formal yang digunakan untuk melegalkan setiap tindakan mengeruk keuntungan dari pendanaan publik.

Fakta ini semakin menguatkan dugaan adanya konspirasi terencana yang begitu rapi di antara kelompok mafia anggaran. Ada upaya mencari dan memanfaatkan setiap celah dalam tiap pengambilan keputusan di DPR. Bahkan, dalam beberapa hal, terlihat vulgar dilakukan, misalnya, ketika anggota Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, fraksi membuat kebijakan memindahkan yang bersangkutan dari Komisi X ke Komisi III yang membidangi masalah hukum.

Tindakan fraksi ini kemudian digunakan dengan cara berlindung di balik argumentasi bahwa pemindahan tersebut kewenangan fraksi. Padahal ini mengindikasikan upaya perlindungan partai terhadap anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi. Bisa dibayangkan ketika Komisi III, yang merupakan mitra kerja KPK, melakukan pertemuan tertentu. Di sinilah terjadi pertentangan kepentingan antara fungsi pengawasan dan kasus hukum yang melibatkan individu anggota DPR.

Peristiwa ini hanyalah bagian kecil dari buruknya fungsi representasi publik yang dijalankan DPR. Di masa mendatang memang harus dipikirkan bagaimana memaksa DPR agar menjalankan fungsi representasi sesuai dengan kehendak dan aspirasi publik. Jika tidak, DPR tidak akan pernah menjadi lembaga perwakilan rakyat, tapi justru menjadi sarang mafia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar