Mafia
Senayan
Reza Syawawi, PENELITI HUKUM DAN KEBIJAKAN TRANSPARENCY INTERNATIONAL INDONESIA
SUMBER : KORAN TEMPO, 6
Maret 2012
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi
Keuangan kembali merilis temuan 2.000 transaksi mencurigakan (suspicious
transaction) milik anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Koran Tempo, 22
Februari). Temuan ini terungkap di tengah pengusutan berbagai kasus korupsi
yang diduga melibatkan sebagian besar anggota DPR.
Sebut saja kasus Nazaruddin, yang mengungkap
keterlibatan anggota DPR lainnya, termasuk rekan separtainya sendiri, Angelina
Sondakh, yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi beberapa waktu yang lalu. Keduanya diduga terlibat dalam kasus korupsi
terkait dengan pengerjaan beberapa proyek yang dibiayai anggaran pendapatan dan
belanja negara, misalnya Wisma Atlet dan Hambalang. Ditambah lagi kasus sana
percepatan infrastruktur daerah di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
yang menyeret anggota Badan Anggaran DPR, Wa Ode Nurhayati, ke kursi pesakitan.
Fenomena ini sebetulnya mulai menunjukkan
titik terang keberadaan mafia anggaran yang selama ini agak sulit dibuktikan.
Aktornya tentu saja sebagian besar anggota DPR. Jika dirunut kembali ke
belakang, sejak 2009 kinerja DPR memang berbanding terbalik dengan kasus
korupsi yang melibatkan anggota DPR. Selain itu, DPR menjadi aktor utama dalam
hal pemborosan anggaran publik.
Disfungsi Parlemen
Dalam banyak literatur sejarah demokrasi,
kehadiran lembaga perwakilan rakyat (DPR) merupakan keniscayaan. Lembaga ini
lahir sebagai wujud adanya kedaulatan rakyat atau sovereignty yang
menggantikan kekuasaan raja yang absolut.
Awalnya perwujudan kedaulatan rakyat ini,
menurut Plato (427-347 sebelum Masehi), tidak perlu dilembagakan, tapi
diserahkan pada kebijaksanaan pemimpin negara. Namun pandangan ini ditentang
oleh kaum pluralis, karena menggantungkan harapan pada kebijaksanaan pemimpin
negara tampaknya sulit dipertahankan, apalagi pada era modernisasi saat ini.
Maka muncul usulan untuk melembagakan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum
(Charles Simabura, 2011: 15).
Dalam konteks fungsi, lembaga perwakilan
secara umum dapat dikategorikan atas tiga fungsi, yakni fungsi penentu
kebijakan (legislation), fungsi pengawasan atas lembaga eksekutif, dan
fungsi lainnya (Miriam Budihardjo). Dalam prakteknya di beberapa negara, fungsi
lainnya ini misalnya meliputi fungsi ratifikasi kovenan internasional. Di
Amerika, fungsi pemakzulan pejabat tinggi, termasuk presiden, juga menjadi
fungsi lembaga perwakilan.
Di Indonesia, selain ketiga fungsi di atas,
terdapat fungsi lain yang dimiliki oleh DPR, yakni terkait dengan anggaran (budgeting).
Pada fungsi inilah DPR berkontribusi besar dalam memunculkan dugaan korupsi
ataupun pemborosan anggaran. Undang-Undang Dasar memang memberikan jaminan
konstitusional kepada DPR terkait dengan pelaksanaan fungsi anggaran (pasal 20A
ayat 1). Namun fungsi ini patut dikaji ulang untuk melihat sejauh mana
kewenangan DPR masuk dalam konteks penganggaran, mengingat fungsi parlemen
umumnya hanya terkait dengan fungsi legislasi dan fungsi pengawasan.
Praktek yang terjadi dalam proses pembahasan
anggaran, DPR justru menjadi aktor yang terlalu dominan dalam menentukan secara
mendetail pengerjaan proyek-proyek pemerintah. Proses pembahasan kerap dilakukan
di tempat-tempat yang tidak mampu diakses oleh publik. Bahkan, dalam beberapa
hal sangat tertutup walaupun pembahasannya di gedung DPR.
Di lingkup internal DPR sendiri dimunculkan
alat kelengkapan tetap yang khusus membidangi masalah anggaran, yaitu Badan
Anggaran. Posisi pada alat kelengkapan inilah yang paling diincar oleh setiap
fraksi di DPR, karena fungsinya yang sangat strategis. Tidak mengherankan jika
penempatan anggota fraksi pada alat kelengkapan ini memiliki akses kuat ke
partai politik, misalnya yang bersangkutan memiliki posisi penting dalam
kepengurusan partainya.
Sudah menjadi rahasia publik, dalam proses
pembahasan anggaran yang terkait dengan pengadaan barang/jasa atau proyek
pembangunan, selalu muncul dugaan adanya pembagian fee di awal jika
proyek yang diminta oleh pihak tertentu diakomodasi dalam APBN.
Maka, dengan munculnya ribuan transaksi
mencurigakan ini, setidaknya memang mengindikasikan telah terjadi disfungsi
parlemen. Ada indikasi DPR telah menggunakan fungsinya secara melawan hukum dan
mengkhianati fungsi-fungsi lain untuk kepentingan rakyat yang diwakilinya.
Sarang Mafia
Keberadaan DPR di Indonesia yang dihasilkan
melalui pemilu agaknya mulai meninggalkan fungsi dasarnya sebagai lembaga
perwakilan. Kehadiran lembaga perwakilan, menurut Aristoteles (384-322 SM),
setidaknya dibentuk untuk memenuhi tiga unsur. Pertama, adanya prioritas pada
kepentingan publik atau rakyat. Kedua, penyelenggaraan fungsi harus didasarkan
pada hukum (rule of law). Dan ketiga, pelaksanaan fungsi lembaga
perwakilan dilaksanakan atas kehendak rakyat.
Ketiga unsur ini hampir tidak bisa ditemui
dalam pelaksanaan fungsi-fungsi DPR, baik di bidang legislasi, pengawasan,
maupun anggaran. DPR seolah-olah menjadi institusi formal yang digunakan untuk
melegalkan setiap tindakan mengeruk keuntungan dari pendanaan publik.
Fakta ini semakin menguatkan dugaan adanya
konspirasi terencana yang begitu rapi di antara kelompok mafia anggaran. Ada
upaya mencari dan memanfaatkan setiap celah dalam tiap pengambilan keputusan di
DPR. Bahkan, dalam beberapa hal, terlihat vulgar dilakukan, misalnya, ketika
anggota Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, ditetapkan sebagai tersangka
oleh KPK, fraksi membuat kebijakan memindahkan yang bersangkutan dari Komisi X
ke Komisi III yang membidangi masalah hukum.
Tindakan fraksi ini kemudian digunakan dengan
cara berlindung di balik argumentasi bahwa pemindahan tersebut kewenangan
fraksi. Padahal ini mengindikasikan upaya perlindungan partai terhadap
anggotanya yang terlibat dalam kasus korupsi. Bisa dibayangkan ketika Komisi
III, yang merupakan mitra kerja KPK, melakukan pertemuan tertentu. Di sinilah
terjadi pertentangan kepentingan antara fungsi pengawasan dan kasus hukum yang
melibatkan individu anggota DPR.
Peristiwa ini hanyalah bagian kecil dari
buruknya fungsi representasi publik yang dijalankan DPR. Di masa mendatang
memang harus dipikirkan bagaimana memaksa DPR agar menjalankan fungsi
representasi sesuai dengan kehendak dan aspirasi publik. Jika tidak, DPR tidak
akan pernah menjadi lembaga perwakilan rakyat, tapi justru menjadi sarang
mafia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar