Pendidikan
Cepat Saji
Udiansyah, ANGGOTA DEWAN RISET NASIONAL
SUMBER : KOMPAS, 15 Maret 2012
Inilah gejala ”penyakit ijazah” yang akan
mewabah di Indonesia jika tidak diantisipasi oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan.
Seorang profesor di satu perguruan tinggi
negeri (PTN) dipecat mengajar dan membimbing oleh ketua program studi.
Alasannya karena proses belajar- mengajar dan cara penilaian sang profesor
dianggap bermasalah.
Pemecatan didasarkan adanya surat kaleng
mahasiswa yang tak dapat dibuktikan kebenarannya. Dalam surat itu tak
disebutkan nama dan nomor induk mahasiswa. Hanya diterangkan bahwa sang
profesor pelit memberi nilai, petunjuk tugas tak jelas, tugas terlalu banyak,
dan kesempatan ujian perbaikan tidak ada.
Ketua program studi dan rektor PTN tersebut
langsung setuju dengan isi surat tanpa adanya usaha klarifikasi kepada sang
profesor sebelum memecatnya.
Fenomena di atas merupakan fakta teori yang
dikemukakan Rendall Collin (1979) tentang masyarakat kredensial (credentials). Masyarakat kredensial ini
menganggap ijazah salah satu hal yang sangat penting dalam usaha untuk
menduduki jabatan yang lebih tinggi, baik dalam pemerintahan maupun swasta.
Tuntutan masyarakat kredensial ini disambut
hangat oleh lembaga pendidikan yang berisi sumber daya masyarakat dari golongan
yang sama. Pada kondisi seperti inilah hukum ekonomi pasar yang berbicara.
Meningkatnya permintaan gelar oleh masyarakat
kredensial berdampak makin menjamurnya lembaga pendidikan untuk menawarkan
gelar-gelar tersebut. Pada awalnya tuntutan masyarakat kredensial tak ada
masalah karena proses pendidikan masih terjaga. Para pengelola dan dosen masih
punya idealisme. Namun, seiring meningkatnya ”inflasi” kredensial, segelintir
lembaga pendidikan menerapkan kebijakan yang mengarah ke kapitalis, pragmatis,
dan tak rasional lagi.
Penyakit Ijazah
Inflasi kredensial yang tinggi menggeser
tujuan dan motif pendidikan. Jika semula pendidikan adalah untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan dan mendapat gelar akademik yang lebih tinggi guna membuat
sesuatu perubahan, sekarang bergeser hanya untuk mendapatkan ijazah dan gelar
akademik. Ronald Dore menyebutnya dengan istilah penyakit ijazah (the diploma disease).
Penyakit ijazah ini dipicu pula oleh lembaga
pendidikan yang menyediakan menu cepat saji. Menu ini diimplementasikan dengan
melakukan restrukturisasi visi dan misi dalam lembaga pendidikan. Seyogianya,
fungsi lembaga pendidikan itu untuk memupuk untuk berkembangnya peradaban dan
pembangunan karakter. Namun, kini fungsi itu telah menyimpang dan cenderung
mengarah untuk mencari keuntungan finansial. Kualitas pendidikan dan tata nilai
serta penelitian dan publikasi ilmiah dikorbankan.
Proses belajar-mengajar lebih cenderung
seperti kursus atau pelatihan. Argumentasi mereka: jam tatap muka sama saja,
tidak ada yang kurang. Bahkan, ada yang ijazahnya sudah diterbitkan walaupun
skripsi, tesis, atau disertasi ”sang alumnus” belum juga rampung.
Aturan main yang telah ditetapkan, yaitu
selesai tepat waktu dan nilai tinggi, harus diikuti oleh dosen pengajar
dan/atau pembimbing. Apabila ada dosen dan/atau pembimbing skripsi, tesis,
dan/atau disertasi tidak dapat menyesuaikan diri dengan aturan main tersebut,
dosen tersebut harus dipecat. Mereka yang dipecat tidak dapat berbuat apa-apa
karena memang tak ada pelanggaran aturan dalam hal ini, kecuali pelanggaran
tata nilai.
Agar dampak menu cepat saji di lembaga
pendidikan dapat diminimalisasi, Dewan Kehormatan Dosen (DKD) perlu dibentuk.
Jika ada dosen yang menyimpang atau dosen dipecat sesuka hati oleh penguasa
lembaga pendidikan, DKD inilah yang memutuskan apakah sang dosen bersalah dan
layak dipecat mengajar dan membimbing. Keberadaan DKD juga dapat melindungi
martabat dosen yang masih punya idealisme, terutama untuk mengembalikan tujuan
pendidikan ke arah yang benar. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar