Sekarang,
atau Tidak Sama Sekali
James
Luhulima, WARTAWAN
KOMPAS
SUMBER : KOMPAS, 17 Maret 2012
Pemerintah saat ini telah mengusulkan untuk
menaikkan harga bahan bakar minyak sebesar Rp 1.500, dari Rp 4.500 menjadi Rp
6.000 per liter. Usul pemerintah itu diajukan ke DPR dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan Tahun Anggaran 2012.
Kini, giliran DPR yang harus memberikan
sikap. Kita harapkan DPR dapat mengedepankan kepentingan yang lebih besar
daripada sekadar kepentingan partai dengan menyetujui usulan pemerintah untuk
menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Menaikkan harga BBM adalah kebijakan yang
tidak populer dan selalu mendapat tentangan dari masyarakat. Sebab, kenaikan
harga BBM akan memicu naiknya harga kebutuhan pokok, biaya transportasi, dan
harga barang-barang lain. Hal itu terlihat ketika pemerintah mengusulkan untuk
menaikkan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 1.500, dari Rp 4.500
menjadi Rp 6.000 per liter dalam rapat kerja dengan DPR, 6 Maret lalu.
Mahasiswa di sejumlah kota langsung turun ke jalan untuk memprotesnya.
Bukan itu saja, para pedagang pun segera
menaikkan harga-harga bahan kebutuhan pokok. Bahkan, di sejumlah daerah ada
orang-orang yang menimbun BBM dengan harapan dapat mengambil keuntungan apabila
pemerintah jadi menaikkan harga BBM pada 1 April mendatang.
Soal penimbunan BBM itu lebih mudah
ditangani. Saat ini, di sejumlah daerah telah dilakukan penangkapan terhadap
pelaku penimbunan oleh aparat kepolisian. Dan, setelah harga BBM jadi dinaikkan
pada 1 April, tak ada lagi gunanya menimbun BBM.
Masalah yang menetap adalah kenaikan harga
bahan pokok, biaya transportasi, dan barang-barang lain. Situasi seperti itu
sangat rawan digunakan oleh partai politik untuk mengambil keuntungan dari
usulan pemerintah menaikkan harga BBM.
Dengan menentang naiknya harga BBM, partai
politik dapat meningkatkan posisi tawar mereka di mata masyarakat, yang dapat
digunakan untuk memperoleh suara dalam Pemilihan Umum 2014. Namun, kita
harapkan perwakilan partai politik, terutama di DPR, dapat menunjukkan sikap
kenegarawanannya dengan tidak asal menentang usul kenaikan harga BBM.
Jangan
Sampai Ditunda
Harapan kita, jika DPR telah menyetujui usul
pemerintah untuk menaikkan harga BBM, jangan sampai pemerintah (dalam hal ini
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) ragu-ragu dan menunda kenaikan harga BBM
atas alasan apa pun. Sebab, jika sampai itu terjadi, kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintahan ini habis sama sekali. Pilihannya, sekarang, atau tidak
sama sekali. Jangan sampai kebijakan menaikkan harga BBM yang akan dilaksanakan
pada 1 April itu menjadi April Mop.
Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan.
Sesungguhnya, dari hitung-hitungan ekonomi, kenaikan harga BBM itu semestinya
sudah harus dilakukan dua tahun lalu. Namun, pemerintah selalu menunda-nunda
karena tidak ingin mengambil kebijakan yang menyurutkan popularitas.
Banyak analis yang menyatakan, jika saja
pemerintah menaikkan harga BBM dua tahun lalu, dampak yang diberikan terhadap
masyarakat tidak seberat pada saat ini, mengingat situasi ekonomi dua tahun
lalu lebih baik ketimbang saat ini. Namun, sayangnya, sejarah tidak mengenal
pengandaian.
Tahun lalu, ketika ada tuntutan untuk
menaikkan harga BBM, pemerintah memilih membatasi penggunaan BBM bersubsidi
dengan mendorong pemilik mobil pribadi untuk membeli BBM nonsubsidi. Sementara
BBM bersubsidi hanya diperuntukkan bagi pengguna sepeda motor dan kendaraan
umum. Suatu hal yang mudah dibicarakan, tetapi sangat sulit dilaksanakan.
Jika harga BBM tidak dinaikkan, di dalam
RAPBN-P, subsidi BBM bakal naik dari Rp 96 triliun menjadi Rp 121 triliun dan
subsidi listrik membengkak dari Rp 41 triliun menjadi Rp 66 triliun. Dengan
demikian, subsidi energi melonjak dari Rp 137 triliun menjadi Rp 187 triliun.
Dengan kata lain, pemerintah tidak mempunyai pilihan
lain kecuali menaikkan harga BBM. Jika pemerintah tetap menunda untuk menaikkan
harga BBM, beban subsidi yang ditanggung pemerintah akan semakin besar dan
akhirnya tidak tertanggungkan.
Dengan menaikkan harga BBM, sesungguhnya
tidak berarti pemerintah menghapuskan subsidi yang diberikan. Pemerintah masih
memberikan subsidi BBM sebesar Rp 3.325 per liter.
Untuk mengantisipasi dampak yang diakibatkan
oleh kenaikan harga BBM itu, pemerintah menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT)
sebagai program kompensasi. Namun, banyak kalangan tidak menyetujui pemberian
BLT karena menganggap hal tersebut hanya sebagai memberi ikan dan bukan kail.
Sesungguhnya ada yang lebih penting daripada
sekadar BLT, yakni bagaimana pemerintah menjaga agar kenaikan harga-harga, terutama
harga bahan pokok, dan biaya transportasi menjadi tidak terkendali. Jika
kenaikan harga bahan pokok dan biaya transportasi tidak dikendalikan, rakyat
kecillah yang paling terkena. Dan, jika itu yang terjadi, akan terjadi aksi
unjuk rasa di mana-mana.
Kita berharap para rektor lebih aktif dalam
mengingatkan para mahasiswa agar pada saat melakukan aksi unjuk rasa tidak
melakukan tindakan anarkistis. Mengeluarkan aspirasi tidak dilarang di negeri
ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar