Selasa, 06 Maret 2012

Sebelum Publikasi di Jurnal Ilmiah


Sebelum Publikasi di Jurnal Ilmiah
Ginus Partadiredja, STAF PENGAJAR PROGRAM STUDI S2 ILMU KEDOKTERAN DASAR DAN BIOMEDIS, FAKULTAS KEDOKTERAN UGM YOGYAKARTA
SUMBER : REPUBLIKA, 6 Maret 2012



Baru-baru ini, Ditjen Dikti Kemendiknas mengeluarkan surat edaran (No 152/E/T/2012) yang mewajibkan publikasi skripsi S1, tesis S2, dan disertasi S3 pada jurnal ilmiah nasional maupun internasional. Sebagai sebuah langkah untuk memacu publikasi ilmiah, kebijakan ini patut diparesiasi. Hanya saja, ada banyak catatan yang perlu diperhatikan sebelum kebijakan ini diimplementasikan.

Beberapa di antaranya sudah disuarakan oleh kalangan akademisi, seperti terbatasnya jumlah jurnal ilmiah di Indonesia untuk menampung semua produk karya ilmiah perguruan tinggi (PT). Selain itu, juga soal waktu tunggu penerbitan yang bisa lebih dari satu tahun sejak makalah dikirim, di-review, diperbaiki, diserahkan kembali, dinyatakan diterima, hingga dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah. Hal ini dikhawatirkan akan menjadi penghambat kelulusan mahasiswa.

Titik Lemah

Sebenarnya, sebuah publikasi ilmiah hanyalah merupakan ujung produk dari proses panjang sebuah penelitian. Masalah publikasi dalam jurnal hanya merupakan masalah hilir dari serangkaian masalah hulu dunia penelitian di perguruan tinggi (PT). Apabila pemerintah berkomitmen untuk membenahi masalah publikasi ilmiah di PT, seharus nya tidak memecahkan masalah tersebut secara parsial di muaranya saja, tetapi juga berupaya mengurai masalah secara komprehensif mulai dari pangkalnya.

Beberapa masalah pokok di hulu yang dapat diinventarisasi adalah, pertama, kebiasaan/budaya menulis yang tidak begitu menggembirakan di kalangan dosen maupun mahasiswa. Bagaimanapun harus diakui bahwa kebiasaan menulis yang lemah ini berakar dari pola pendidikan sejak pendidikan dasar yang tak banyak memberi ruang untuk berlatih menulis atau mengarang.

Kedua, dosen sangat sibuk mengurusi banyak hal administratif (di luar kegiatan utama Tri Darma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, pengabdian            masyarakat) serta mencari penghasilan tambahan (untuk menutup kekurangan gaji). Hal ini menyebabkan waktu yang didedikasikan dosen untuk menulis atau membimbing mahasiswa menulis pun menjadi amat terbatas.

Ketiga, jumlah dana penelitian yang terbatas serta birokrasi dana yang kompleks. Kebanyakan skema bantuan dana penelitian hanya berjumlah terbatas dan tidak memungkinkan dosen peneliti (khususnya di bidang ilmu-ilmu alam) leluasa menerapkan teknik penelitian berbiaya tinggi.

Memang ada skema bantuan dana penelitian dengan jumlah nominal sedang atau besar. Tetapi, pola pengelolaan dananya kadang dirasakan amat birokratik, kaku, dan kurang bersahabat dengan kebutuhan riil/praktik penelitian. Misalnya, pengadaan bahan-bahan kimiawi harus dilakukan melalui lelang, dengan segala macam kepelikan masalahnya, proses yang bertele-tele ataupun hasil pengadaan yang tak sesuai dengan kebutuhan peneliti (dan menjadi pemubaziran uang negara).

Dana penelitian juga tidak diperbo lehkan dipakai untuk membeli peralatan penelitian. Padahal, kebutuhan akan alat penelitian ini merupakan keharusan dan tidak mudah pula untuk mendapat kannya dari alokasi anggaran lain.

Keempat, minimnya ketersediaan alat penelitian dan reagen kimiawi. Sebuah penelitian yang bagus memang tidak selalu membutuhkan alat ataupun bahan kimiawi mahal. Tetapi, juga tidak sedikit penelitian (apalagi penelitian dengan tuntutan publikasi internasional) yang mengharuskan pemakaian peralatan dan bahan kimiawi mahal, yang pengadaannya pun sering kali sukar.

Kesulitannya dapat bersumber dari ketiadaan dana yang memadai untuk      membeli atau proses impor yang menyusahkan. Kendala dalam proses impor dapat disebabkan oleh waktu pemesanan dan pengiriman yang lama (sementara peneliti dikejar tenggat waktu untuk segera menyelesaikan penelitiannya), atau aturan pajak bea cukai yang dirasakan membuat harga alat atau bahan penelitian menjadi jauh berlipat kali mahalnya.

Kelima, akses ke jurnal ilmiah internasional yang terbatas. Untuk membuat sebuah desain penelitian yang baik, akses ke referensi jurnal-jurnal ilmiah internasional merupakan keharusan. Kebanyakan jurnal ilmiah internasional yang bagus harus dilanggan dengan biaya mahal dan kebanyakan PT kita tak sanggup membayarnya. Dengan demikian, peneliti sering kali hanya dapat mengandalkan akses ke artikel ilmiah gratis (yang notabene berjumlah terbatas) atau terpaksa meminta salinan PDF dari naskah penelitian langsung ke penulisnya.

Keenam, batas waktu penelitian yang pendek, sering kali hanya dalam hitungan bulan. Kegiatan penelitian dipandang dan dipatok secara kaku sebagai proyek—disamakan dengan proyek peme rintah lainnya—yang harus selesai dilaporkan pada akhir tahun anggaran yang tengah berjalan. Setelah seorang dosen peneliti menguras energi untuk berakrobat dan bergulat dengan berbagai tetek bengek nonteknis penelitian di atas, sejak menyiapkan sarana dan prasarana penelitian (yang amat mungkin serba lambat), hingga menyiasati bantuan dana yang juga turun lambat, dicicil, serta serbabirokratik. Menyimak hal-hal di atas, sudah seharusnyalah jika tuntutan publikasi pada jurnal ilmiah menjadi satu paket tak terpisahkan dengan pemecahan (minimal) enam permasalahan tersebut oleh pemerintah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar