Sebelum
Publikasi di Jurnal Ilmiah
Ginus Partadiredja, STAF PENGAJAR PROGRAM STUDI S2 ILMU KEDOKTERAN DASAR DAN
BIOMEDIS, FAKULTAS KEDOKTERAN UGM YOGYAKARTA
SUMBER : REPUBLIKA, 6
Maret 2012
Baru-baru
ini, Ditjen Dikti Kemendiknas mengeluarkan surat edaran (No 152/E/T/2012) yang
mewajibkan publikasi skripsi S1, tesis S2, dan disertasi S3 pada jurnal ilmiah
nasional maupun internasional. Sebagai sebuah langkah untuk memacu publikasi
ilmiah, kebijakan ini patut diparesiasi. Hanya saja, ada banyak catatan yang
perlu diperhatikan sebelum kebijakan ini diimplementasikan.
Beberapa
di antaranya sudah disuarakan oleh kalangan akademisi, seperti terbatasnya
jumlah jurnal ilmiah di Indonesia untuk menampung semua produk karya ilmiah
perguruan tinggi (PT). Selain itu, juga soal waktu tunggu penerbitan yang bisa
lebih dari satu tahun sejak makalah dikirim, di-review, diperbaiki, diserahkan
kembali, dinyatakan diterima, hingga dipublikasikan dalam sebuah jurnal ilmiah.
Hal ini dikhawatirkan akan menjadi penghambat kelulusan mahasiswa.
Titik Lemah
Sebenarnya,
sebuah publikasi ilmiah hanyalah merupakan ujung produk dari proses panjang
sebuah penelitian. Masalah publikasi dalam jurnal hanya merupakan masalah hilir
dari serangkaian masalah hulu dunia penelitian di perguruan tinggi (PT).
Apabila pemerintah berkomitmen untuk membenahi masalah publikasi ilmiah di PT,
seharus nya tidak memecahkan masalah tersebut secara parsial di muaranya saja,
tetapi juga berupaya mengurai masalah secara komprehensif mulai dari
pangkalnya.
Beberapa
masalah pokok di hulu yang dapat diinventarisasi adalah, pertama,
kebiasaan/budaya menulis yang tidak begitu menggembirakan di kalangan dosen
maupun mahasiswa. Bagaimanapun harus diakui bahwa kebiasaan menulis yang lemah
ini berakar dari pola pendidikan sejak pendidikan dasar yang tak banyak memberi
ruang untuk berlatih menulis atau mengarang.
Kedua,
dosen sangat sibuk mengurusi banyak hal administratif (di luar kegiatan utama
Tri Darma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat) serta mencari
penghasilan tambahan (untuk menutup kekurangan gaji). Hal ini menyebabkan waktu
yang didedikasikan dosen untuk menulis atau membimbing mahasiswa menulis pun
menjadi amat terbatas.
Ketiga,
jumlah dana penelitian yang terbatas serta birokrasi dana yang kompleks.
Kebanyakan skema bantuan dana penelitian hanya berjumlah terbatas dan tidak
memungkinkan dosen peneliti (khususnya di bidang ilmu-ilmu alam) leluasa
menerapkan teknik penelitian berbiaya tinggi.
Memang
ada skema bantuan dana penelitian dengan jumlah nominal sedang atau besar.
Tetapi, pola pengelolaan dananya kadang dirasakan amat birokratik, kaku, dan
kurang bersahabat dengan kebutuhan riil/praktik penelitian. Misalnya, pengadaan
bahan-bahan kimiawi harus dilakukan melalui lelang, dengan segala macam
kepelikan masalahnya, proses yang bertele-tele ataupun hasil pengadaan yang tak
sesuai dengan kebutuhan peneliti (dan menjadi pemubaziran uang negara).
Dana
penelitian juga tidak diperbo lehkan dipakai untuk membeli peralatan
penelitian. Padahal, kebutuhan akan alat penelitian ini merupakan keharusan dan
tidak mudah pula untuk mendapat kannya dari alokasi anggaran lain.
Keempat,
minimnya ketersediaan alat penelitian dan reagen kimiawi. Sebuah penelitian
yang bagus memang tidak selalu membutuhkan alat ataupun bahan kimiawi mahal.
Tetapi, juga tidak sedikit penelitian (apalagi penelitian dengan tuntutan
publikasi internasional) yang mengharuskan pemakaian peralatan dan bahan kimiawi
mahal, yang pengadaannya pun sering kali sukar.
Kesulitannya
dapat bersumber dari ketiadaan dana yang memadai untuk membeli atau proses impor yang menyusahkan.
Kendala dalam proses impor dapat disebabkan oleh waktu pemesanan dan pengiriman
yang lama (sementara peneliti dikejar tenggat waktu untuk segera menyelesaikan
penelitiannya), atau aturan pajak bea cukai yang dirasakan membuat harga alat
atau bahan penelitian menjadi jauh berlipat kali mahalnya.
Kelima,
akses ke jurnal ilmiah internasional yang terbatas. Untuk membuat sebuah desain
penelitian yang baik, akses ke referensi jurnal-jurnal ilmiah internasional
merupakan keharusan. Kebanyakan jurnal ilmiah internasional yang bagus harus
dilanggan dengan biaya mahal dan kebanyakan PT kita tak sanggup membayarnya.
Dengan demikian, peneliti sering kali hanya dapat mengandalkan akses ke artikel
ilmiah gratis (yang notabene berjumlah terbatas) atau terpaksa meminta salinan
PDF dari naskah penelitian langsung ke penulisnya.
Keenam,
batas waktu penelitian yang pendek, sering kali hanya dalam hitungan bulan.
Kegiatan penelitian dipandang dan dipatok secara kaku sebagai proyek—disamakan
dengan proyek peme rintah lainnya—yang harus selesai dilaporkan pada akhir
tahun anggaran yang tengah berjalan. Setelah seorang dosen peneliti menguras
energi untuk berakrobat dan bergulat dengan berbagai tetek bengek nonteknis
penelitian di atas, sejak menyiapkan sarana dan prasarana penelitian (yang amat
mungkin serba lambat), hingga menyiasati bantuan dana yang juga turun lambat,
dicicil, serta serbabirokratik. Menyimak hal-hal di atas, sudah seharusnyalah
jika tuntutan publikasi pada jurnal ilmiah menjadi satu paket tak terpisahkan
dengan pemecahan (minimal) enam permasalahan tersebut oleh pemerintah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar