Selasa, 06 Maret 2012

Cincin Api Konflik Sosial

Cincin Api Konflik Sosial
Amirudin al Rahab, DIREKTUR THE RESEARCH INSTITUTE FOR DEMOCRACY AND PEACE
SUMBER : KORAN TEMPO, 6 Maret 2012


Konflik dengan kekerasan antara masyarakat dan polisi yang terjadi di Mesuji, Bima, dan sebelumnya di Timika menunjukkan gejala yang sama, yaitu derasnya intervensi kapital ke seluruh pelosok Indonesia. Kapital lapar tanah yang kini merajalela memaksa masyarakat berjibaku menghadapinya. Masalah pelanggaran hak asasi manusia kerap terjadi dalam situasi seperti itu.

Manusia Indonesia secara sosial-politik seperti hidup di atas cincin api (ring of fire) dari tumbukan antar-ratusan suku/etnik dan agama. Konfigurasi dan komposisi suku/etnik dan agama selalu menghadirkan ketegangan ketika bertemu dengan gejolak atau gesekan kepentingan ekonomi-politik. Karena itu, mudah meledak. Rancangan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (PKS) yang saat ini dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat sama sekali tidak memakai perspektif itu. Akibatnya, RUU PKS tersebut terasa hambar. Agar RUU PKS itu berguna, beberapa hal berikut ini perlu dikaji secara mendalam.

Karakter Demografi Konflik

Paling tidak, saat ini ada 700 etnik grup di Indonesia dengan lima agama besar serta puluhan kelompok sempalan dan keyakinan tradisional (Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1996). Dari ratusan etnik itu, hanya sembilan etnik yang besar (populasi dan pengaruh politik), selebihnya kecil-kecil. Etnik-etnik kecil secara geografis bersebaran di wilayah timur. Sebanyak delapan etnik yang besar ada di wilayah barat, yaitu Jawa, Sunda, Minang, Batak, Melayu, Aceh, Madura, dan Bali. Satu etnik besar di timur adalah Bugis, Makassar.

Dari ratusan etnik di Indonesia, hanya 15 etnik yang memiliki populasi di atas 1 juta jiwa, yaitu Jawa; Sunda; Melayu; Madura; Batak; Minang; Betawi; Bugis, Makassar; Banten; Banjar; Bali; Sasak; Cirebon; dan Tionghoa. Etnik-etnik inilah yang berimigrasi ke berbagai daerah dan membentuk komunitas di daerah tujuan, sekaligus mewarnai situasi politik serta perkembangan ekonomi wilayah tujuan tersebut (Leo Suryadinata, Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape, 2003).

Di wilayah barat Indonesia terdapat bongkahan besar, di mana etnik dan agama bertindihan, yaitu Islam dan etnik sebangun. Komunitas yang berbeda agama sangat kecil dan berada di tengah komunitas Islam. Sementara itu, wilayah timur terdiri atas serpihan kecil-kecil komunitas etnik dan agama yang saling silang dalam ketegangan yang kronis sepanjang waktu.

Dengan karakter etnik dan agama yang demikian, konflik vertikal dengan dukungan yang kuat kemungkinan besar bisa pecah di wilayah barat. Aceh adalah contohnya. Adapun konflik horizontal lebih berpeluang terjadi di wilayah timur Indonesia. Maluku dan Poso adalah faktualnya.

Ranah Konflik

Beberapa karakter dasar sosial-politik dan komposisi demografi Indonesia di atas belum menjadi pertimbangan dalam RUU Penanganan Konflik Sosial. Karena itu, perlu diberi beberapa catatan agar tidak jauh panggang dari api.

Pertama, ranah konflik dalam RUU PKS ini terlalu direduksi sekadar menjadi persoalan teknik-mekanis. Seakan-akan konflik bisa diterka terlebih dulu. Padahal konflik terbuka dengan melibatkan gelombang massa selalu mengandung pendadakan. Gelombang massa yang ikut dalam konflik sangat ditentukan oleh kemampuan para propagandis konflik itu dalam menjalin komunikasi dan memperkuat identitas kelompok di dalamnya. Karena itu, konflik terbuka tidak pernah terjadi dengan pola, modus, dan karakter yang sama.

Kedua, RUU ini terlalu bernafsu memposisikan diri menjadi undang-undang sapu jagat dalam mengelola dan menangani konflik. Hal itu tampak dari hendak diaturnya cara-cara penanganan konflik mulai fase pra-konflik, saat konflik, dan pasca-konflik. Sayangnya, dalam pasal-pasal pendukungnya tidak ada pasal terperinci mengenai bagaimana penggunaan sumber daya untuk setiap fase itu. Akibatnya, RUU ini lebih merupakan sejenis curah pikir para pemerhati konflik ketimbang sebuah RUU yang matang.

Ketiga, RUU ini juga tidak jelas menempatkan penanganan konflik antara penegakan hukum dan rekayasa sosial (social engineering). Akibat kerancuan mengenai dua hal itu, cara penyelesaian konflik dalam RUU ini juga menjadi rancu. Hal itu tampak dari adanya pengaturan ulang hal-hal yang telah menjadi kewajiban instansi pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola serta menghadapi konflik. Misalnya, pengaturan mengenai fungsi dan tugas pemerintah daerah, Kepolisian RI, TNI, serta intelijen.

Keempat, mengenai Komisi Penanganan Konflik Sosial (KPKS). Inti dari RUU PKS ini adalah pembentukan komisi ini. KPKS ini sepertinya beranjak dari cara pandang yang sembrono tentang konflik karena terlalu menekankan faktor pranata adat dalam menangani konflik. Hal itu tampak dari penempatan KPKS sebagai alat penyelesai konflik di luar pengadilan, dan KPKS bekerja secara ad hoc serta bertingkat-tingkat mulai nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Bagaimana mungkin lembaga ad hoc bisa dibentuk secara bertingkat hierarkis.

Rombak RUU PKS

Jika DPR dan pemerintah tetap ingin membahas RUU PKS ini, perombakan total perlu dilakukan. Untuk itu, beberapa usul ini perlu dipertimbangkan. Dari kacamata ekonomi-politik, ada empat faktor utama penyebab konflik di Indonesia. Pertama, terjadinya reposisi dan rekonfigurasi elite serta struktur politik Indonesia pascareformasi. Hal itu tampak dari hadirnya kekuatan-kekuatan politik baru dan menyurutnya kekuatan politik lama.

Kedua, terjadinya negosiasi dan renegosiasi antar-kekuatan ekonomi di sekujur Indonesia. Dalam konteks ini, seluruh proses ekonomi dan penguasaan kekayaan sumber daya alam memicu konflik terbuka di mana-mana. Sengketa agraria adalah simtomnya. Selanjutnya, terjadi perubahan konfigurasi dan sekaligus pertarungan antarkomposisi kelas dalam masyarakat.

Ketiga, kian besarnya urbanisasi dan migrasi antarpulau. Susunan demografi di beberapa provinsi berubah dan terjadi pelepasan tanah yang sangat luas yang diiringi oleh proletarisasi di pedesaan. Gambaran populasi demografi saat ini adalah 78,5 persen penduduk menghuni Jawa dan Sumatera. Sementara itu, Papua, Kalimantan, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi diisi oleh 21,5 persen penduduk. Arus manusia dari barat Indonesia ke timur menjadi gelombang besar setiap tahun.

Keempat, terus berlangsungnya perubahan struktur dan infrastruktur lembaga kenegaraan dan kepemerintahan. Pemekaran provinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa menunjukkan hal ini. Implikasinya adalah terjadi pergumulan politik dan ekonomi yang sangat keras di tengah masyarakat dalam upaya bertahan atau terpental dari seluruh proses perubahan struktur itu. Pada 1999-2011 telah hadir 205 daerah otonom baru, tentu dengan pelakon-pelakon politik dan ekonomi baru versus lama dalam prosesnya.

Maka ahli sosiologi politik Charles Tilly dalam buku The Politics of Collective Violence (2003) mencatat konflik komunal bisa pecah dan membesar ketika wibawa pemerintah rendah (lemah). Namun, ketika wibawa pemerintah kuat, konflik cenderung mengecil. Pemerintahan yang korup dapat dipastikan tidak akan bisa menangani konflik, sekecil apa pun konflik itu, karena aparaturnya tidak berwibawa. Pemerintah yang tidak berwibawa akan selalu menyalakan "cincin api" konflik itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar