Reformasi
Pajak Gagal?
Chandra Budi, BEKERJA DI DITJEN PAJAK, ALUMNUS PASCASARJANA IPB
SUMBER : REPUBLIKA, 6
Maret 2012
Kasus
rekening gendut milik mantan pegawai Ditjen Pajak, Dhana Widyatmika, membuat sebagian
pihak mengaitkannya dengan kegagalan reformasi perpajakan. Pendapat ini
memiliki hipotesis bahwa reformasi perpajakan akan membuat Ditjen Pajak menjadi
bersih, profesional, dan bertanggung jawab.
Ketika
tujuan ini ternoda oleh kasus Dhana Widyatmika, yang sebelumnya sempat juga terkotori oleh kasus Gayus
Tambunan, hipotesis tersebut berubah menjadi kesimpulan. Parahnya lagi, kegagalan
reformasi perpajakan juga dikaitkan
dengan kebijakan memberikan remunerasi. Kebijakan remunerasi, yaitu memberikan
tambahan penghasilan kepada pegawai Ditjen Pajak agar dapat hidup layak,
dipandang salah, dan tidak memberikan efek dalam mewujudkan Dit jen Pajak yang
bersih. Namun, apakah cukup adil memberikan vonis gagal ke pada proses
reformasi di Ditjen Pajak tanpa menilainya secara lebih komprehensif?
Soal Remunerasi
Ada
tiga komponen pokok dalam proses reformasi perpajakan, yaitu penerapan
pengukuran kinerja, penegakan disiplin, dan pemberikan remunerasi. Wujud nyata
dari pengukuran kinerja adalah revitalisasi organisasi dengan
mentransformasikan unit kerja di Ditjen Pajak menjadi kantor dengan administasi
perpajakan modern, penyempurnaan proses bisnis, standard operating procedure (SOP), pemanfaatan teknologi informasi
dan komunikasi, peningkatan kompetensi, integritas sumber daya manusia, serta
pengembangan manajemen berbasis kinerja Balanced
Score Card (BSC). Saat ini, juga telah ditetapkan dan ditandatangani
kontrak kinerja pada semua level eselon dan pelaksana yang memuat indikator
kinerja utama (IKU) yang harus dicapai.
Penegakan
disiplin dimulai dengan penerapan kode etik, budaya kerja, dan nilai-nilai
sampai dengan sistem deteksi pelanggaran dini, whistle blowing system. Bahkan, penegakan disiplin telah dimulai
pada saat pegawai melakukan absensi finger
print dengan skema pemotongan tunjangan. Tentunya, setiap bentuk
pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang tidak dapat ditoleransi. Data empiris
menunjukkan bahwa proses ini berjalan efektif. Contohnya, pada 2011 telah
dijatuhkan hukuman disiplin kepada 263 pegawai, 27 di antaranya diberhentikan
dengan tidak hormat.
Remunerasi
sebagai komponen pokok reformasi perpajakan akan membuat dua komponen pokok
lainnya, pengukuran kinerja dan penegakan disiplin. Kedua komponen tersebut
berjalan sempurna. Namun, remunerasi bukanlah cek kosong. Pemberian remunerasi
erat kaitannya dengan kinerja dan disiplin.
Oleh karena itu, Ditjen Pajak menjalankan skema remunerasi berbasis kinerja dan grading. Pegawai dengan kinerja baik, otomatis masuk ke grading yang lebih tinggi dengan remunerasi yang lebih besar.
Oleh karena itu, Ditjen Pajak menjalankan skema remunerasi berbasis kinerja dan grading. Pegawai dengan kinerja baik, otomatis masuk ke grading yang lebih tinggi dengan remunerasi yang lebih besar.
Sebaliknya,
pegawai dengan performa kinerja kurang baik, akan memiliki grading yang rendah.
Belum lagi, hukuman disiplin yang dikenakan sesuai dengan PP Nomor 53 Tahun
2010 tentang Hukuman Disiplin Pegawai Negeri Sipil juga dikaitkan dengan
pemotongan remunerasi. Pegawai yang menerima sanksi hukuman berat akan
kehilangan 100 persen remunerasinya. Bahkan, untuk pegawai yang masuk kerja
tidak sesuai jadwal yang ditentukan, akan dikenakan pemotongan remunerasi
maksimal lima persennya.
Membaca Indikator
Untuk
menilai apakah reformasi perpajakan berhasil atau tidak maka perlu dilihat
indikatornya terlebih dahulu. Ada dua indikator yang dapat digunakan, yaitu
pertama adalah evaluasi terhadap keberhasilan Ditjen Pajak menggapai misinya
dan kedua, hasil survei yang dilakukan oleh pihak eksternal.
Misi
Ditjen Pajak adalah mengumpulkan penerimaan pajak. Sangat relevan apabila data
perkembangan realisasi penerimaan pajak per tahun dijadikan acuan untuk
indikator pertama tadi. Pada 2008, saat mulainya reformasi perpajakan,
realisasi penerimaan pajak baru mencapai Rp 658,7 triliun. Pada 2011, angka
realisasi penerimaan pajak meningkat 40 persen lebih hingga diperkirakan tahun ini tembus di angka Rp
1.032 triliun.
Di
lain pihak, jumlah wajib pajak terdaftar terus meningkat setiap tahunnya, dari
sekitar empat juta pada 2006 menjadi 22 juta lebih pada 2011. Angka-angka ini
mengandung arti bahwa fondasi pembayar pajak semakin kuat karena ditopang oleh
jutaan wajib pajak.
Indikator
hasil survei pihak eksternal akan memperkuat jawaban bahwa reformasi perpajakan
berhasil atau gagal. Setidaknya, ada beberapa survei yang dilakukan oleh
lembaga independen yang dapat dijadikan acuan, mulai dari survei kepuasan wajib
pajak oleh Nielsen (2006, 2007, dan 2008), penilaian inisiatif antikorupsi KPK
(2010), survei integritas KPK (2011), hingga survei ke puasan wajib pajak oleh
IPB (2011).
Hasil
survei kepuasan wajib pajak terhadap pelayanan perpajakan yang diberikan oleh
Kantor Pelayanan Pajak menunjukkan hasil tinggi. Pada 2006, ketika survei
dilaksanakan di Kantor Pajak Wajib Pajak Besar, indeks kepuasan yang dihasilkan
adalah 81 (skala 0100). Nilai indeks ini jauh di atas nilai indeks untuk sektor
publik Australia, yaitu 74. Kemudian, pada survei integritas KPK (2011), Ditjen
Pajak memperoleh skor 7,65 di atas ambang batas yang ditetapkan 6,0. Pun, untuk
urusan inisiatif promosi antikorupsi, Ditjen Pajak memperoleh nilai tinggi 9,82
(skala 0-100).
Reformasi
perpajakan merupakan proses panjang dan terus-menerus karena harus mengubah
cara pandang dan budaya kerja. Ketika perubahan tersebut terjadi maka segala
bentuk penyalahgunaan wewenang akan semakin sempit ruang geraknya.
Namun,
sistem yang diciptakan sebagai wujud nyata reformasi birokrasi tentunya butuh
penyempurnaan yang berkesinambungan. Adanya kasus Gayus dan Dhana Widyatmika
bukan berarti reformasi perpajakan telah gagal, melainkan malah membuat
reformasi perpajakan semakin sempurna. Kasus-kasus tersebut terlalu kecil untuk
menghilangkan semangat reformasi perpajakan yang nyata-nyata telah memberikan
hasil positif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar