Satgas
Penjaga Moralitas
Ahmad
Khoirul Fata, DOSEN
PADA JURUSAN POLITIK ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH IAIN SULTAN AMAI,
GORONTALO
SUMBER : REPUBLIKA, 16 Maret 2012
Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 2 Maret 2012 lalu menanda tangani Perpres
No 25 Tahun 2012 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan Pornografi sebagai tindak lan
jut dari amanat Pasal 42 UU No 44 Ta hun 2008 tentang Pornografi. Dalam Pasal 4
Perpres tersebut, gugus ini bertugas melakukan koordinasi upaya pencegahan dan
penanganan masalah pornografi, memantau pelaksanaan pencegahan dan penanganan
pornografi, melaksanakan sosialisasi, edukasi, kerja sama pencegahan dan
penanganan pornografi, serta melaksanakan evaluasi pelaporan.
Satgas
yang dipimpin oleh Menko Kesra Agung Laksono dan Menag Suryadharma Ali sebagai Ketua
Harian itu beranggotakan sejumlah menteri, Kapolri, Jaksa Agung, Ketua KPI, dan
Ketua Lembaga Sensor Film (LSF). Sesuai dengan Perpres tersebut, Satgas ini
dapat dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Kontan
pro kontra hadir mengiringi pembentukan Satgas tersebut. Ketua MUI Amidhan
mendukung langkah ter sebut. Sementara, politikus PDIP Pramono Anung menilai,
Perpres tersebut tidak produktif dan dapat mengundang kontroversi. Lebih dari
itu, rekan Pramono, Rieke Dyah Pitaloka, menuding pem bentukan Satgas
Antipornografi sebagai upaya mengalihkan isu kenaikan BBM belaka.
Urgensi Satgas
Terlepas dari
motif politik yang ditudingkan para politikus PDIP tersebut, pembentukan satgas
yang khusus menangani persoalan pornografi patut mendapat
sambutan. Mengingat, pertama, kepresidenan merupakan lembaga politik yang
memastikan setiap kebijakan yang diambilnya tidak lepas dari motif-motif
politik tertentu. Menuntut kebijakan presiden nirkepentingan, seperti berharap
matahari terbit di tengah malam. Yang terpenting adalah apakah kebijakan yang dikeluarkan tersebut
memberikan dampak positif bagi kemaslahatan umum atau tidak.
Kedua,
keberadaan Satgas tersebut akan semakin urgen jika menilik fenomena pornografi
dengan segala efek negatifnya yang begitu marak di negeri ini. Dalam
sosialisasi dan workshop “Sistem
Informasi, Perangkat Lunak, dan Konten” yang diadakan Departemen Komu nikasi
dan Informasi (Depkominfo) RI pada April 2009 terungkap, dari satu miliar
pengguna internet di dunia, Indonesia berada pada peringkat tujuh negara
pengakses situs porno.
Peringkat
pertama yang paling ba nyak mengakses adalah Pakistan, lalu disusul India,
Mesir, Turki, Aljazair, Maroko, dan Indonesia. Di bawahnya ada Vietnam, Iran,
dan Kroasia. Peringkat itu melompat tinggi ke urutan ketiga pada 2011.
Ironisnya, banyak pengakses internet porno itu masih berusia anak-anak. Survei
yang dilakukan Yayasan Kita dan Buah Hati pada Januari 2011 menyebutkan, 67
persen dari 2.818 siswa sekolah dasar (SD) mengaku pernah mengakses informasi
pornografi.
Fenomena
tersebut tentu sangat mem prihatinkan karena pornografi bisa menimbulkan efek
negatif terhadap kon sumennya dalam kehidupan sosial. Dalam laporan studi yang
berjudul “Sexual Deviation as Conditioned
Behavior”, McGuire (1965) menulis bahwa seiring dengan semakin seringnya seorang
laki-laki bermasturbasi sambil membayangkan fantasi seksual yang jelas (yang
diperoleh dari pengalaman nyata atau materi pornografi), pengalaman yang
mengandung kenikmatan semakin memaklumkan fantasi menyimpang (perkosaan,
memaksa anak mela ku kan kegiatan seksual, melukai pasangan ketika berhubungan
seksual, dsb) dengan disertai penambahan nilai erotis.
Kesimpulan
itu diperkuat dengan studi yang dilakukan Martino, Collins, Elliott, Strachman,
Kanousie, dan Berry (Agustus 2006) yang menemukan bahwa pornografi dan
mendengarkan musik dengan lirik seksual yang merendahkan berkaitan erat dengan
perluasan rentang aktivitas seksual di kalangan remaja.
Bahkan,
pakar adiksi pornografi dari USA, Dr Mark B Kastlemaan, menyatakan, efek
negatif pornografi lebih besar daripada narkoba dalam hal merusak otak.
Pornografi dapat menyebabkan kerusakan pada lima bagian otak, terutama pada Pre Frontal Corteks (bagian otak yang
tepat berada di belakang dahi). Sedangkan, kecanduan narkoba menyebabkan
kerusakan pada tiga bagian otak.
Kerusakan
bagian otak ini akan membuat prestasi akademik menurun, orang tidak bisa
membuat perencanaan, mengendalikan hawa nafsu dan emosi, mengambil keputusan,
dan mengendalikan berbagai peran eksekutif otak sebagai pengendali
impuls-impuls. Bagian inilah yang membedakan manusia dengan binatang.
Penjaga Moral
Memperhatikan
itu semua, adalah tidak arif sikap beberapa pihak yang begitu reaktif dan
tergesa-gesa menjustifikasi pembentukan Satgas Antipornografi sebagai sesuatu
yang tidak produktif atau berbagai negative
thinking lainnya.
Pembentukan
satgas tersebut seharusnya dipandang dengan kacamata jernih sebagai upaya
pemerintah menjaga kesehatan moral masyarakat, bukan dikaitkan dengan
motif-motif politik tertentu. Bahkan, semua pihak seharusnya memberikan
dukungan karena, seperti kesimpulan Durkheim, moralitas atau norma-norma sosial
diciptakan agar masyarakat dapat hidup teratur dan terciptanya soliditas
kelompok/masyarakat.
Dukungan semua pihak terhadap upaya
pemberantasan pornografi dapat menghindarkan Satgas tersebut terjatuh ke dalam
jurang yang sama. Seperti, yang dialami oleh satgas-satgas lain yang telah
dibentuk oleh presiden sebelumnya. Wallahu
a'lam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar