Sasaran
Tepat Program Raskin
Wahyu Siswanti, KABAG PEREKONOMIAN SETDA KABUPATEN KEBUMEN
SUMBER : SUARA MERDEKA, 8 Maret 2012
"Untuk
menertibkan administrasi, terutama pelunasan hasil penjualan beras, sudah
saatnya menerapkan sistem cash and carry"
BERAS sebagai komoditas strategis yg
dilindungi oleh UUD 1945 adalah salah satu hak asasi manusia. Dipertegas dalam
kesepakatan Millennium Development Goals bahwa dunia internasional menargetkan
pada 2015 semua negara, termasuk Indonesia, sepakat menurunkan angka kemiskinan
dan kelaparan sampai separonya.
Upaya memerangi angka kemiskinan dan
kelaparan baru berhasil menurunkan 16,66% pada 2004, menjadi 12,5% pada 2011.
Belum lagi permasalahan lain yang krusial menyangkut tingginya angka
pengangguran, dan jumlah daerah tertinggal di berbagai wilayah, memerlukan
perhatian khusus. Untuk menjawab permasalahan itu, rencana kerja pemerintah
2012 mengang-kat tema
’’Percepatan dan Perluasan Pertumbuhan
Ekonomi Inklusif dan Ber-keadilan bagi Peningkatan Kesejahteraan Rakyat’’.
Konsumsi beras sebagai pangan utama di
Indonesia, dengan rata-rata konsumsi 113,7 kg/ jiwa/ tahun (BPS, 2011), di atas
rata-rata konsumsi dunia dan negara te-tangga seperti Malaysia, Thailand, dan
Jepang. Inilah salah satu alasan bahwa beras merupakan komoditas strategis,
sehingga perlu kepastian stabilitas perberasan nasional agar kondusivitas
terwujud.
Bantuan beras bersubsidi untuk rakyat miskin
(biasanya disebut raskin) merupakan program strategis yang dikelola secara
lintas sektor antara pemerintah daerah dan pusat. Sasaran program itu adalah
berkurangnya beban pengeluaran rumah tangga sasaran (RTS) dalam mencukupi
kebutuhan pangan beras melalui pendistribusian beras bersubsidi 180 kg/ RTS/
tahun atau setara 15 kg/ RTS/ bulan dengan harga tebus Rp 1.600/ kg.
Sistem
yang Tepat
Filosofi negara kesejahteraan untuk memenuhi
kebutuhan pokok rakyat dengan mengucurkan subsidi untuk rakyat miskin merupakan
kebijakan yang tepat. Dalam perjalanannya program raskin menimbulkan ragam
masalah; seperti salah sasaran atau ’’bagita’’ (bagi rata) yang sering
menimbulkan protes warga, keterlambatan pelunasan hasil penjualan beras, data
program pendataan perlindungan sosial dianggap tidak valid, dan kualitas
berasnya.
Hal ini terjadi hampir di seluruh wilayah
Indonesia yang merepotkan berbagai pihak. Kondisi yang sama dialami Pemkab
Kebumen, dan hasil monitoring menunjukkan beberapa desa dan kecamatan
mengondisikan sasaran raskin dengan pola bagi rata dan tidak tepat sasaran.
Banyak dijumpai orang atau rumah tangga yang seharusnya tidak menerima, karena
dengan berbagai alasan merasa wajar ikut menikmati raskin itu.
Salah satu penyebab kegagalan suatu kebijakan
karena tidak dipahaminya atau adanya kesalahan persepsi dari para aktor. Aktor
di tingkat pemda terbagi atas level atau layer (lapis pemerintahan). Solusi
beras dibagi rata yang dilakukan aktor di level terbawah menunjukkan adanya
kelemahan persepsi terhadap tujuan kebijakan dan sebagai upaya meredam konflik
sosial. Im-plikasi lain adalah munculnya moral hazard kelompok masyarakat
tidak miskin untuk memiskinkan diri supaya mendapatkan bantuan tersebut.
Belajar dari masalah raskin, menyamakan
persepsi akan tujuan program merupakan hal yang penting. Selain itu, sudah
saatnya Pemkab Kebumen merevisi juknis pendistribusian.
Harus dipertegas bahwa raskin merupakan beras
bersubsidi khusus untuk warga miskin, dan melalui sosialisasi di media
memberikan penyadaran kritis kepada masyarakat yang mampu, PNS, anggota TNI/
Polri agar ’’malu’’ menerima raskin.
Untuk menertibkan administrasi,
terutama pelunasan hasil penjualan beras, sudah saatnya menerapkan sistem
cash and carry, yakni ada uang ada barang, untuk mengeliminasi
penyalahgunaan hasil pembelian beras oleh oknum. Tidak kalah penting penegakan
hukum harus ditempuh untuk oknum yang nakal, melalui ketentuan yang berlaku. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar