Republik
Multinakhoda
Jede
Kuncoro, Ketua Umum Lembaga Pengawas Kebijakan Publik
(LPKaP)
SUMBER : SUARA MERDEKA, 20 Maret 2012
NEGARA ini ibarat republik tanpa nakhoda,
demikian Donny Gahral Adian menulis di Kompas, 31 Januari 2012. Saya justru melihatnya
terbalik, republik ini memiliki terlalu banyak nakhoda. Bermula dari lahirnya
UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Otonomi Daerah (Otda), kini republik ini dikendarai oleh 497 nakhoda
kecil (www.depdagri.go.id).
Atas nama otonomi, bisa saja nakhoda kecil
tak segaris dengan tujuan nakhoda utama. Demikian pula UU Nomor 2 Tahun 1999
tentang Parpol, jelas merefleksikan dendam terhadap pemandulan partai oleh
rezim Orba. Namun sekarang baru terlihat bahwa dua paket regulasi itu diputus,
tanpa didalami implikasinya.
Kini, kita hanya terpana, ketika paket UU
tersebut menghasilkan gugus-gugus kekuasaan yang mengancam republik ini. Secara
vertikal, bupati/ wali kota sulit dijangkau gubernur atau presiden. Sementara
secara horizontal, gugus-gugus kekuasaan partai menyulitkan agenda kerja
republik. Ada gugusan bupati partai A, gugusan wali kota partai B, dan
seterusnya, yang alih-alih mematuhi presiden, mereka lebih taat ke induk
partainya. Sejak itulah, diakui atau tidak, perahu republik ini dikendalikan
multinakhoda.
Petinggi negeri ini perlu berbenah, untuk
memutuskan desain terbaik republik ini: sistem presidensiil kabinet atau
parlementer. Tidak bisa setengah-setengah seperti kuasi parlementer misalnya. Apabila
memilih sistem presidensiil, ia memerlukan dukungan konstitusi. Karena semutlak
apa pun kemenangan seorang presiden dalam pemilu, ia tidak akan efektif,
manakala untuk urusan-urusan yang seharusnya merupakan kewenangan eksekutif,
memerlukan persetujuan parlemen. Mulai pembahasan anggaran di Banggar DPR yang
menukik hingga satuan tiga, hingga pemilihan kapolri dan duta besar.
Solusi
Berbeda
Dari aspek kualifikasi para nakhoda kecil,
tidak kurang pula masalahnya. Persyaratan kecakapan calon kepala daerah
terdistorsi oleh syarat kekayaan. Padahal kekayaan tidak menjamin
kecakapan, apalagi moralitas. Riuh pembangunan adalah satu hal, sementara
kesejahteraan rakyat adalah hal lain. Seolah berbatas jurang nan curam
membentang, keduanya musykil didekatkan.
Rakyat berjibaku menjaga asap dapur, pejabat
bersenda-gurau dengan angka-angka. Jelas, ada yang salah di negeri ini.
Persyaratan menjadi pemimpin tak pelak harus diperbaiki. Syarat kecakapan mesti
diperluas, rekam jejak diuji, belanja suara dibatasi. Para pengambil kebijakan
harus berpihak pada unsur kecakapan dan moralitas calon kepala daerah. Aturan
main yang menguntungkan si kaya, harus diamputasi.
Undang-undang harus mampu menyentuh hulu dari
rezim pilkada, yakni rekomendasi partai. Di sinilah investasi korupsi sejatinya
berawal, melalui aktivitas jual beli surat izin menjadi calon. Sudah barang
tentu kita semua keberatan dengan praktik semacam ini. Rekomendasi partai tidak
selayaknya diperjualbelikan. Perbaikan sistem ketatanegaraan, harus mampu menyentuh
wilayah yang selama ini merupakan hak eksklusif partai.
Melalui sudut pandang itu, tentu solusinya
juga berbeda. Tidak cukup mencari nakhoda baru yang lebih baik tetapi juga
PERLU memperbaiki perahu agar lebih solid. Semata-mata demi efektivitas kerja
republik. Ironis, bila negeri ini tidak mampu menaikkan strata sosial
rakyatnya, gara-gara kita menyandera nakhoda atas nama demokrasi (baca:
liberalisme).
Jargon baru seharusnya siapa pun nakhodanya,
perahu harus tetap bergerak. Kita merindukan nakhoda baru, tetapi juga perahu
baru, yang lebih perkasa, dan siap mengarungi lautan. Undang-undang yang
mengatur kewenangan presiden dan parlemen harus dibenahi, berpijak pada sistem
presidensiil yang jelas, tegas, dan tidak banci. Saatnya kita memilih: sekarang
atau tidak sama sekali. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar