Selasa, 20 Maret 2012

Republik Multinakhoda

Republik Multinakhoda
Jede Kuncoro, Ketua Umum Lembaga Pengawas Kebijakan Publik (LPKaP)
SUMBER : SUARA MERDEKA, 20 Maret 2012



NEGARA ini ibarat republik tanpa nakhoda, demikian Donny Gahral Adian menulis di Kompas, 31 Januari 2012. Saya justru melihatnya terbalik, republik ini memiliki terlalu banyak nakhoda. Bermula dari lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah (Otda), kini republik ini dikendarai oleh 497 nakhoda kecil (www.depdagri.go.id).

Atas nama otonomi, bisa saja nakhoda kecil tak segaris dengan tujuan nakhoda utama. Demikian pula UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Parpol, jelas merefleksikan dendam terhadap pemandulan partai oleh rezim Orba. Namun sekarang baru terlihat bahwa dua paket regulasi itu diputus, tanpa didalami implikasinya.

Kini, kita hanya terpana, ketika paket UU tersebut menghasilkan gugus-gugus kekuasaan yang mengancam republik ini. Secara vertikal, bupati/ wali kota sulit dijangkau gubernur atau presiden. Sementara secara horizontal, gugus-gugus kekuasaan partai menyulitkan agenda kerja republik. Ada gugusan bupati partai A, gugusan wali kota partai B, dan seterusnya, yang alih-alih mematuhi presiden, mereka lebih taat ke induk partainya. Sejak itulah, diakui atau tidak, perahu republik ini dikendalikan multinakhoda.

Petinggi negeri ini perlu berbenah, untuk memutuskan desain terbaik republik ini: sistem presidensiil kabinet atau parlementer. Tidak bisa setengah-setengah seperti kuasi parlementer misalnya. Apabila memilih sistem presidensiil, ia memerlukan dukungan konstitusi. Karena semutlak apa pun kemenangan seorang presiden dalam pemilu, ia tidak akan efektif, manakala untuk urusan-urusan yang seharusnya merupakan kewenangan eksekutif, memerlukan persetujuan parlemen. Mulai pembahasan anggaran di Banggar DPR yang menukik hingga satuan tiga, hingga pemilihan kapolri dan duta besar.

Solusi Berbeda

Dari aspek kualifikasi para nakhoda kecil, tidak kurang pula masalahnya. Persyaratan kecakapan calon kepala daerah terdistorsi oleh syarat kekayaan. Padahal kekayaan tidak menjamin kecakapan,  apalagi moralitas. Riuh pembangunan adalah satu hal, sementara kesejahteraan rakyat adalah hal lain. Seolah berbatas jurang nan curam membentang, keduanya musykil didekatkan.

Rakyat berjibaku menjaga asap dapur, pejabat bersenda-gurau dengan angka-angka. Jelas, ada yang salah di negeri ini. Persyaratan menjadi pemimpin tak pelak harus diperbaiki. Syarat kecakapan mesti diperluas, rekam jejak diuji, belanja suara dibatasi. Para pengambil kebijakan harus berpihak pada unsur kecakapan dan moralitas calon kepala daerah. Aturan main yang menguntungkan si kaya, harus diamputasi.

Undang-undang harus mampu menyentuh hulu dari rezim pilkada, yakni rekomendasi partai. Di sinilah investasi korupsi sejatinya berawal, melalui aktivitas jual beli surat izin menjadi calon. Sudah barang tentu kita semua keberatan dengan praktik semacam ini. Rekomendasi partai tidak selayaknya diperjualbelikan. Perbaikan sistem ketatanegaraan, harus mampu menyentuh wilayah yang selama ini merupakan hak eksklusif partai.

Melalui sudut pandang itu, tentu solusinya juga berbeda. Tidak cukup mencari nakhoda baru yang lebih baik tetapi juga PERLU memperbaiki perahu agar lebih solid. Semata-mata demi efektivitas kerja republik. Ironis, bila negeri ini tidak mampu menaikkan strata sosial rakyatnya, gara-gara kita menyandera nakhoda atas nama demokrasi (baca: liberalisme).

Jargon baru seharusnya siapa pun nakhodanya, perahu harus tetap bergerak. Kita merindukan nakhoda baru, tetapi juga perahu baru, yang lebih perkasa, dan siap mengarungi lautan. Undang-undang yang mengatur kewenangan presiden dan parlemen harus dibenahi, berpijak pada sistem presidensiil yang jelas, tegas, dan tidak banci. Saatnya kita memilih: sekarang atau tidak sama sekali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar