Minimalisasi
Hukuman bagi Koruptor?
Siti
Marwiyah, DEKAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS
DR SOETOMO SURABAYA
SUMBER : SUARA KARYA, 20 Maret 2012
Menteri hukum dan hak asasi manusia (HAM), Amir Syamsudin,
baru-baru ini mengusulkan agar hukuman pidana bagi koruptor ditetapkan minimal
lima tahun. Gagasan ini akan dimasukkan dalam rancangan revisi Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
Siapa pun yang peduli dengan penyakit kronis bangsa bernama
korupsi, gagasan Kemenkumham itu pantas disambut baik. Pasalnya, selama ini
hukuman terhadap koruptor terlalu ringan. Dalam banyak kasus, koruptor hanya
dihukum penjara 1-3 tahun, padahal uang ratusan juta hingga miliran rupiah
sudah 'dijarahnya'. Ironisnya lagi, saat berada di lembaga pemasyarakatan (LP),
mereka masih bisa leluasa menempatkan dirinya sebagai 'raja' yang mendapatkan
pelayanan secara eksklusif.
Narapidana koruptor juga menikmati remisi (yang rencananya hendak
dihapuskan oleh pemerintah). Tak heran, di tengah masyarakat sempat muncul
anekdot, "Koruptor di China, dipotong lehernya (dihukum mati), di Arab
dipotong tangannya, di Indonesia dipotong masa tahanannya."
Itu artinya, selama ini para koruptor di Indonesia merupakan
golongan manusia istimewa dan pemain hebat, yang oleh pilar-pilar yudisial,
mulai dari penyidik, penuntut umum, hakim hingga aparat LP, mendapatkan
perlakuan layaknya majikan atau elitis. Mereka tidak diperbolehkan menjadi
warga kelas dua dan menjalani pesakitan layaknya orang-orang kecil yang
bersamasalah dengan hukum berkategori kriminal konvensional.
Logis jika koruptor tetap merasa nyaman berhadapan dengan
aparat-aparat penegak hukum. Pasalnya, selain prosesnya memedulikan
kebebasannya, juga sanksi hukumannya tidak tergolong memberatkan meski praktik
korupsi sempat disebut-sebut termasuk extra
ordinary crime.
Faktanya, selama ini hukuman yang dijatuhkan oleh hakim terhadap
koruptor di negeri ini tidak membuat jera para koruptor. Mereka yang sudah
terbiasa bersahabat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) pun tetap melanjutkan korupsinya. Sedangkan yang
sebelumnya hanya melihat atau pasif dalam menyikapi maraknya praktik korupsi,
akhirnya ikut-ikutan melakukan korupsi secara kolektif (berjamaah).
Hukuman terhadap koruptor yang ringan sangat mencederai rasa
keadilan. Apalagi, jika divonis bebas, itu lebih menyakitkan. Boleh jadi,
karena tuntutan yang lemah atau memang hakim yang bermain mata. Apa pun
alasannya, masyarakat kecewa dengan berbagai putusan kasus korupsi yang tidak
memberikan efek jera secara fisik maupun psikologis.
Ketua KPK Busyro Muqoddas menyebut, rendahnya putusan hakim
terhadap koruptor merupakan jenis putusan yang kehilangan roh, karena putusan
ini berhubungan dengan kesejatian kepentingan rakyat. Oleh Busyro, terdakwa
kasus suap Wisma Atlet Mindo Rosalina Manulang dan M El Idris yang divonis
masing-masing 2,5 tahun dan 2 tahun penjara dianggapnya sebagai tren baru rendahnya
putusan hakim terhadap koruptor.
Jika nantinya dirumuskan aturan yang berisi penetapan hukuman
minimal lima tahun bagi koruptor yang melakukan korupsi Rp 50 juta, maka
idealnya korupsi di atas satu miliar rupiah akan jauh lebih lama dari itu.
Stratifisikasi hukuman ini justru berpihak pada prinsip keadilan, di mana
masing-masing orang dihukum sesuai dengan tingkat kerugian yang ditimbulkannya.
Keadilan memperlakukan para penjahat negara dalam koridor prinsip
egalitarianisme atau kesamaan derajat di depan hukum (equality before the law).
Dalam pasal 3 ayat (2) UU Nomor 39 tahun 1999 disebutkan bahwa
setiap orang berhak atas pegakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.
Ketentuan ini menjadi 'kritik radikal' terhadap kinerja hakim yang suka
menjatuhkan vonis berdasarkan alasan keberpihakan pada seseorang atau sejumlah
terdakwa korupsi dari kalangan elitisme.
Selain itu, standarisasi minimal hukuman bagi koruptor juga tidak
perlu disikapi oleh hakim sebagai pola pereduksianisasi terhadap kreativitasnya
dalam menggali dan menemukan hukum di masyarakat. Tetapi, sebagai pola
perlakuan khusus pada koruptor, yang telah mengakibatkan kerugian komplikatif
dan akumulatif di tengah masyarakat.
Hakim memang mempunyai hak independensi dalam menjalankan
profesinya dan bukan mulut undang-undang (la
bauche de laloi). Tetapi, hak yang secara yuridis melekat ini tidak lantas
disikapinya sebagai modal untuk memutus perkara korupsi dengan sesuka hatinya
atau sekedar memenuhi dan memuaskan kepentingan individual, keluarga, dan
kelompok tertentu. Hakim macam ini termasuk sosok hakim yang tidak berbeda
dengan para koruptor, bahkan layak digolongkan sebagai koruptor kelas utama.
Pasalnya, akibat malapraktik profesi yang dijalaninya, para koruptor
mendapatkan jaminan kepastian hukum dan dukungan politik yuridis untuk
melakukan dan memperluas zona-zona korupsi.
Rencana peminimalisasian hukuman bagi koruptor selayaknya dibaca
oleh hakim sebagai bentuk dukungan berbasis progresivitas terhadap kinerja
hakim. Peran hakim dalam melawan koruptor dipersanjatai dengan model baru
penghukuman yang sangat ditakuti oleh koruptor, kecuali pola peminimalisasian
ini dieliminasi oleh hakim dengan pola putusan pembebasan. Regulasi
peminimalisasian tidak akan ada gunanya kalau dengan arogan dan sesuka hati,
hakim menjatuhkan opsi putusan bebas untuk koruptor.
Dalam ranah itulah, KY (Komisi Yudisial) ditantang untuk
membuktikan sikap militansi dan kecerdasannya dalam menghadapi arogansi dan
liberalisasi hakim dalam menggunakan hak tafsirnya terhadap barang bukti. Tanpa
campur tangan KY, apa yang distigma pakar bahwa hakim merupakan aktor utama
tirani peradilan, benar-benar terbukti adanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar