Reformasi
Pajak Gagal?
Chandra Budi, BEKERJA
DI DIREKTORAT JENDERAL PAJAK, ALUMNUS PASCA-SARJANA IPB
SUMBER : KORAN TEMPO, 8 Maret 2012
Sebelumnya pernah
dimuat di Republika pada 6 Maret 2012
Kasus rekening gendut milik mantan pegawai
Direktorat Jenderal Pajak, DW, membuat sebagian pihak mengaitkannya dengan
kegagalan reformasi perpajakan. Pendapat ini memiliki hipotesis bahwa reformasi
perpajakan akan membuat Ditjen Pajak menjadi bersih, profesional, dan
bertanggung jawab. Ketika tujuan ini ternoda oleh kasus DW, yang sebelumnya
sempat juga terkotori oleh kasus Gayus Tambunan, maka hipotesis tersebut
berubah menjadi kesimpulan. Parahnya lagi, kegagalan reformasi perpajakan juga
dikaitkan dengan kebijakan memberikan remunerasi. Kebijakan remunerasi, yaitu
memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai Ditjen Pajak agar dapat hidup
layak, dipandang salah dan tidak memberikan efek dalam mewujudkan Ditjen Pajak
yang bersih.
Namun, apakah cukup adil memberikan vonis gagal kepada proses
reformasi di Ditjen Pajak tanpa menilainya secara lebih komprehensif?
Remunerasi
Ada tiga komponen pokok dalam proses
reformasi perpajakan, yaitu penerapan pengukuran kinerja, penegakan disiplin,
dan pemberian remunerasi. Wujud nyata dari pengukuran kinerja adalah
revitalisasi organisasi dengan mentransformasikan unit kerja di Ditjen Pajak
menjadi kantor dengan administrasi perpajakan modern, penyempurnaan proses
bisnis dan standard operating procedure (SOP), pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi, peningkatan kompetensi dan integritas sumber daya
manusia, serta pengembangan manajemen berbasis kinerja balanced score card
(BSC). Saat ini juga telah ditetapkan dan ditandatangani kontrak kinerja pada
semua level eselon dan pelaksana yang memuat Indikator Kinerja Utama (IKU) yang
harus dicapai.
Penegakan disiplin dimulai dengan penerapan
kode etik, budaya kerja, dan nilai-nilai sampai sistem deteksi pelanggaran
dini, whistle-blowing system. Bahkan penegakan disiplin telah dimulai
pada saat pegawai melakukan absensi finger print dengan skema pemotongan
tunjangan. Tentunya, setiap bentuk pelanggaran atau penyalahgunaan wewenang
tidak dapat ditenggang. Data empiris menunjukkan bahwa proses ini berjalan
efektif. Contohnya, pada 2011 telah dijatuhkan hukuman disiplin kepada 263
pegawai, 27 di antaranya diberhentikan tidak dengan hormat.
Remunerasi sebagai komponen pokok reformasi
perpajakan akan membuat dua komponen pokok lainnya, pengukuran kinerja dan
penegakan disiplin, berjalan sempurna. Namun remunerasi bukanlah cek kosong.
Pemberian remunerasi erat kaitannya dengan kinerja dan disiplin. Karena itu,
Ditjen Pajak menjalankan skema remunerasi berbasis kinerja dan grading.
Pegawai dengan kinerja baik otomatis masuk ke grading yang lebih tinggi
dengan remunerasi yang lebih besar.
Sebaliknya, pegawai dengan performa kinerja
kurang baik akan memiliki grading yang rendah. Belum lagi, hukuman
disiplin yang dikenakan sesuai dengan PP Nomor 53 Tahun 2010 tentang Hukuman
Disiplin Pegawai Negeri Sipil juga dikaitkan dengan pemotongan remunerasi.
Pegawai yang menerima sanksi hukuman berat akan kehilangan 100 persen
remunerasinya. Bahkan untuk pegawai yang masuk kerja tidak sesuai dengan jadwal
yang ditentukan akan dikenakan pemotongan remunerasi maksimal 5 persennya!
Indikator
Untuk menilai apakah reformasi perpajakan
berhasil atau tidak, perlu dilihat indikatornya terlebih dulu. Ada dua
indikator yang dapat digunakan, yaitu, pertama, evaluasi terhadap keberhasilan
Ditjen Pajak menggapai misinya; dan kedua, hasil survei yang dilakukan oleh
pihak eksternal.
Misi Ditjen Pajak adalah mengumpulkan
penerimaan pajak. Dus, sangat relevan apabila data perkembangan realisasi
penerimaan pajak per tahun dijadikan acuan untuk indikator pertama tadi. Pada
2008, saat dimulainya reformasi perpajakan, realisasi penerimaan pajak baru
mencapai Rp 658,7 triliun. Pada 2011, angka realisasi penerimaan pajak
meningkat 40 persen lebih, hingga diperkirakan tahun ini tembus di angka Rp
1.032 triliun. Di lain pihak, jumlah wajib pajak terdaftar terus meningkat
setiap tahun, dari sekitar 4 juta pada 2006 menjadi 22 juta lebih pada 2011.
Angka-angka ini mengandung arti bahwa fondasi pembayar pajak semakin kuat, karena
ditopang oleh jutaan wajib pajak.
Indikator hasil survei pihak eksternal akan
memperkuat jawaban bahwa reformasi perpajakan berhasil atau gagal. Setidaknya
ada beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga independen yang dapat dijadikan
acuan, dari survei kepuasan wajib pajak oleh AC Nielsen (2006, 2007, dan 2008),
penilaian inisiatif antikorupsi KPK (2010), survei integritas KPK (2011),
hingga survei kepuasan wajib pajak oleh IPB (2011).
Survei kepuasan wajib pajak terhadap
pelayanan perpajakan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak menunjukkan
hasil tinggi. Pada 2006, ketika survei dilaksanakan di Kantor Pajak Wajib Pajak
Besar, indeks kepuasan yang dihasilkan adalah 81 (skala 0-100). Nilai indeks
ini jauh di atas nilai indeks untuk sektor publik Australia, yang sebesar 74.
Kemudian, pada survei integritas KPK (2011), Ditjen Pajak memperoleh skor 7,65
di atas ambang batas yang ditetapkan 6,0. Pun, untuk urusan inisiatif promosi
antikorupsi, Ditjen Pajak memperoleh nilai tinggi 9,82 (skala 0-100).
Reformasi perpajakan merupakan proses panjang
dan terus-menerus karena harus mengubah cara pandang dan budaya kerja. Ketika
perubahan tersebut terjadi, segala bentuk penyalahgunaan wewenang akan semakin
sempit ruang geraknya. Namun, sistem yang diciptakan, sebagai wujud nyata
reformasi birokrasi, tentunya butuh penyempurnaan yang berkesinambungan. Adanya
kasus Gayus dan DW tidak berarti reformasi perpajakan telah gagal, tetapi malah
membuat reformasi perpajakan semakin sempurna. Kasus-kasus tersebut terlalu
kecil untuk menghilangkan semangat reformasi perpajakan, yang nyata-nyata telah
memberikan hasil positif. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar