Kamis, 08 Maret 2012

Menyoal Ketahanan Energi Indonesia


Menyoal Ketahanan Energi Indonesia
Abdurrahman Abdullah, ANGGOTA DPR RI, KOMISI VI, FRAKSI PARTAI DEMOKRAT
SUMBER : KORAN TEMPO, 8 Maret 2012



Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada April 2012 adalah bagian dari strategi pemerintah untuk menopang pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Alasan utamanya adalah besaran subsidi yang terus membengkak akibat semakin meroketnya harga minyak dunia. Harga minyak dunia (ICP) pada APBN 2012 dipatok US$ 90 per barel, sementara tren kenaikannya sangat tinggi, tren rata-rata harian minyak dunia saat ini adalah US$ 105-110 per barel. Bahkan sangat besar kemungkinan angkanya akan menembus US$ 120 per barel karena dipengaruhi kondisi politik di Timur Tengah yang kurang kondusif.

Permasalahan kenaikan harga BBM merupakan persoalan rutin negara kita. Hal serupa pernah terjadi pada 2005, di mana pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 32 persen, dan pada 2008, ketika harga naik sangat signifikan sebesar 87 persen. Jika tak ada strategi untuk berdaulat secara energi, permasalahan harga BBM ini akan terus menghantui bangsa pada tahun-tahun berikutnya.

Importir Neto Minyak

Permasalahan mendasar ketahanan energi Indonesia adalah tidak mencukupinya produksi minyak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini menyebabkan pemerintah, melalui anak perusahaan Pertamina (dalam hal ini Petral), harus mengimpor minyak dalam jumlah besar. Tetapi, anehnya, Indonesia juga pada saat yang sama adalah pengekspor minyak. Di sini permasalahannya: kebutuhan nasional terus meningkat, sementara pada saat yang sama produksi nasional terus menurun.

Secara nasional kebutuhan akan minyak adalah sebesar 1,2 juta barel per hari. Sedangkan target produksi minyak nasional Indonesia pada 2012 adalah sebesar 950 ribu barel per hari. Meskipun meningkat dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 900, angka itu masih jauh dari kebutuhan. Ditambah lagi, realisasi produksi minyak sering kali tidak sesuai dengan target. Pada 2011, realisasi produksi minyak hanya menyentuh angka 902 ribu barel. Trennya menurun terus tiap tahun. Penurunan produksi tiap tahun berkisar 3-5 persen. Hal ini meleset dari ketentuan Perpres Nomor 2 Tahun 2012 bahwa ketahanan energi harus ditopang oleh peningkatan produksi minyak dalam negeri. Presiden menargetkan pencapaian produksi minyak bumi nasional paling sedikit rata-rata 1,01 juta barel per hari pada 2014 .

Permasalahan ditambah lagi dengan kenyataan bahwa produksi minyak dari BUMN Pertamina hanya 195 ribu barel per hari atau hanya 8 persen. Meskipun ada ekstensifikasi dan intensifikasi yang dilakukan Pertamina, paling tinggi hanya mencapai 12-15 persen dari total target produksi. Sisanya atau sekitar 707 ribu barel adalah dari KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama). Dari produksi KKKS tersebut, yang menjadi milik pemerintah adalah 60 persen atau sekitar 619 ribu barel per hari. Sisanya diekspor oleh KKKS yang mayoritas perusahaan asing, lalu dibeli lagi sebagian oleh Indonesia: diekspor lalu diimpor lagi. Maka, pantaslah kalau Indonesia disebut sebagai negara pengimpor neto minyak.

Atas besaran angka 619 ribu di atas, Pertamina sering mengklaim bahwa produksinya sebesar angka tersebut, padahal angka itu adalah gabungan dari hak pemerintah dari KKKS serta Pertamina sendiri. Di sini terlihat bahwa Pertamina lebih menempatkan diri sebagai broker atau istilahnya “tukang jahit”, hanya menjahit minyak-minyak dari KKKS dan mendapatkan margin.

Dari segi jenisnya, Indonesia mestinya berbangga karena minyak mentah Indonesia umumnya termasuk dalam jenis light crude (dengan API 31 ke atas) dan mengandung sulfur yang rendah. Jenis minyak mentah yang bagus secara kualitas. Tetapi, karena bagus, maka oleh KKKS diekspor. Untuk di Indonesia sendiri umumnya yang digunakan adalah minyak mentah Duri kualitas rendah (API 21) milik Chevron, dicampur dengan jenis Saudi Light (API 32) yang diimpor.

Indonesia juga bukan hanya pengimpor neto minyak mentah, namun sekaligus pengimpor minyak olahan. Bahkan Premium pun masih diimpor. Dari data Pertamina, kebutuhan nasional premium adalah 24,9 juta KL. Adapun produksi dari kilang pengolahan sebesar 10,69 KL (43 persen), sisanya dari impor sebesar 14,21 KL (57 persen).

Kedaulatan Energi

Dari data dan fakta di atas, ketahanan energi rupanya masih sebatas pengertian “bagaimana mencukupi kebutuhan minyak”, meskipun risikonya harus menjadi negara pengimpor neto minyak, padahal sumber daya alam kita sesungguhnya mampu memberdayakan sendiri bangsa ini tanpa ketergantungan yang tinggi pada minyak impor.

Presiden RI dalam pidatonya pada Hari Kebangkitan Nasional pernah menegaskan agar meninjau kembali kontrak kerja sama yang dilakukan dengan asing untuk kepentingan bangsa yang lebih luas. Kaitannya dengan masalah energi, hal ini memberikan sinyalemen bahwa harus ada upaya dari kementerian terkait untuk meninjau kembali kesepakatan-kesepakatan dalam masalah pertambangan minyak, di mana misi utamanya adalah agar Indonesia secara pelan tapi pasti dapat mewujudkan cita-citanya sebagai negara yang berdaulat dalam energi.

Selain itu, Pertamina harus mempersiapkan diri sebagai perusahaan yang benar-benar tangguh, bukan hanya perusahaan “penjahit” minyak, baik dari segi teknologi, manajerial, SDM, dan lainnya. Tak kalah penting adalah membangun pengolahan-pengolahan minyak baru agar kegiatan impor minyak olahan dapat dikurangi atau bahkan dihilangkan, digantikan dengan mengolah sendiri. Premium yang diimpor sebesar 57 persen jika diolah di unit pengolahan sendiri berpengaruh terhadap harga jual. Jika dikelola secara benar akan dihasilkan harga jual yang lebih rendah. Hal ini pun dapat memberikan multiplier effects yang lebih positif terhadap pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan kinerja perusahaan.

Langkah di atas perlu ditempuh, tetapi harus diingat juga bukan sebagai langkah “anti-asing”. Investor asing sudah banyak menanamkan modalnya di bidang perminyakan nasional. Ini pun harus tetap dijaga, tetapi porsinya lebih diutamakan untuk kepentingan dalam negeri (domestic market obligation).

Masih terkait dengan hal di atas, ada wacana akhir-akhir ini mengenai pembubaran Petral (Pertamina Energy Trading Limited), anak perusahaan PT Pertamina (Persero) yang menangani impor minyak dan berkantor di Singapura. Petral memiliki 53 rekanan impor minyak mentah, di antaranya BP, Shell, Chevron, ExxonMobil, StatOil, Total Trading, PTT Thailand, Itochu, dan lainnya. Selain masalah kantor di Singapura, juga dipermasalahkan mengenai peran strategisnya.

Pajak PPh memang lebih murah di Singapura sebesar 5 persen, karena Petral mendapatkan keringanan setelah memperoleh sertifikat Approved Oil Trading Firm. Tetapi hal ini bukan satu-satunya alasan. Pertamina dan semua anak perusahaannya harus diarahkan pada paradigma di atas, bukan diarahkan sebagai perusahaan “penjahit” atau broker minyak, melainkan sebagai perusahaan BUMN yang memiliki tugas mendukung kepentingan bangsa yang lebih besar, khususnya di bidang energi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar